RUU Cipta Kerja Dinilai Melenceng dari Tujuan Awal
Daya tawar buruh yang rendah memang bisa meningkatkan investasi dari segi kuantitas. Namun di sisi lain, pertumbuhan investasi tidak bisa dilihat semata-mata dari kuantitas, melainkan kualitas.
Oleh
Agnes Theodora/Nikolaus Harbowo
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja yang disusun pemerintah dikhawatirkan tidak dapat memenuhi cita-cita awal untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi. Daya beli buruh yang direduksi dalam regulasi sapu jagat itu justru akan menurunkan konsumsi rumah tangga sebagai faktor yang paling menentukan laju perekonomian nasional.
Jika dibandingkan dengan Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang saat ini berlaku, draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja yang disusun pemerintah memuat sejumlah pasal yang mereduksi upah, hak dan perlindungan pekerja. Padahal, pertumbuhan investasi yang tidak diiringi dengan peningkatan kesejahteraan pekerja justru dapat memperlambat laju pertumbuhan ekonomi.
Direktur Eksekutif Core Indonesia Mohammad Faisal, Jumat (14/2/2020), di Jakarta, mengatakan, cita-cita awal RUU Cipta Kerja untuk menjawab tumpang-tindih regulasi yang menghambat investasi sebenarnya sudah benar. Namun, substansi RUU yang disusun pemerintah itu tidak seimbang dengan tujuan pertumbuhan ekonomi yang ingin dicapai.
Pasalnya, RUU Cipta Kerja memuat banyak pasal yang mengorbankan hak-hak buruh. Di satu sisi, daya tawar buruh yang rendah memang bisa meningkatkan investasi dari segi kuantitas. "Namun di sisi lain, pertumbuhan investasi tidak bisa dilihat semata-mata dari kuantitas, melainkan kualitas," kata dia.
Pertumbuhan investasi tidak bisa dilihat semata-mata dari kuantitas, melainkan kualitas.
Menurut Faisal, untuk benar-benar berdampak signifikan terhadap laju perekonomian nasional, investasi yang masuk harus menghasilkan dampak pengganda (multiplier effect), yakni menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan pendapatan pekerja. Kedua hal itu akan mendorong laju konsumsi rumah tangga dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
“Dengan klausul di RUU yang tidak seimbang ini, bisa jadi memang banyak investor mau masuk karena tergiur nilai tawar buruh Indonesia yang rendah. Namun, akhirnya, kita hanya punya investasi banyak, lapangan kerja banyak, tetapi kualitasnya rendah. Lantas, kalau begitu, apa dampaknya terhadap pertumbuhan industri dalam negeri?” kata Faisal.
Badan Pusat Statistik mencatat, perekonomian Indonesia tumbuh 5,02 persen pada 2019 dengan ditopang pertumbuhan investasi dan konsumsi rumah tangga kendati melambat. Pertumbuhan investasi melambat dari 6,64 persen pada 2018 menjadi 4,45 persen pada 2019. Kontribusi investasi dalam struktur pertumbuhan ekonomi mencapai 32 persen.
Pertumbuhan konsumsi rumah tangga dan konsumsi pemerintah melambat cukup dalam. Laju pertumbuhan konsumsi rumah tangga melambat dari 5,05 persen pada 2018 menjadi 5,04 persen pada 2019. Pertumbuhan konsumsi pemerintah melambat dari 4,8 persen menjadi 3,25 persen.
Selain faktor pertumbuhan investasi, pertumbuhan konsumsi rumah tangga masih menjadi mesin kuat yang paling memengaruhi iklim perekonomian nasional, yakni sebesar 56,82 persen. Laju konsumsi rumah tangga itu sangat ditentukan oleh faktor pendapatan dan daya beli pekerja.
Meski demikian, dalam RUU Cipta Kerja yang diserahkan pemerintah ke DPR pada 12 Februari 2020, terdapat sejumlah pasal problematik yang justru bisa menurunkan daya beli pekerja. Antara lain, pengurangan pendapatan buruh dari segi upah minimum dan pesangon saat buruh diputus hubungan kerja (PHK).
Skema penghitungan upah minimum di RUU berubah. Awalnya ikut memperhitungkan upah minimum kabupaten/kota (UMK) dan upah minimum sektoral kabupaten/kota (UMSK), kini hanya menjadikan upah minimum provinsi (UMP) sebagai acuan tunggal besaran upah.
Formula baru kenaikan upah juga hanya memperhitungkan pertumbuhan ekonomi, tidak lagi mempertimbangkan inflasi, sebagaimana sebelumnya diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. Formula baru ini akan menurunkan standar upah minimum bagi Karyawan.
Di sisi lain, penghapusan Pasal 169 Ayat (2) dan Pasal 172 UU Ketenagakerjaan, juga meniadakan perlindungan finansial bagi pekerja yang di-PHK atau ingin mengajukan PHK. Awalnya, kedua pasal itu mengatur, dalam beberapa kondisi tertentu, buruh yang di-PHK bisa mendapat uang pesangon dua kali dari standar pesangon yang diatur.
Pesangon dua kali itubisa diberikan jika dalam sengketa perselisihan hubungan industrial, pengusaha terbukti menganiaya, mengancam buruh, tidak membayar upah tepat waktu selama tiga bulan berturut-turut, atau tidak melakukan kewajiban yang dijanjikan ke buruh. Buruh juga bisa mendapat pesangon dua kali jika ia sakit berkepanjangan dan cacat akibat kecelakaan kerja.
Ketidakpastian
Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar menyatakan, jika ingin meningkatkan pertumbuhan ekonomi, daya beli pekerja seharusnya ditingkatkan untuk menumbuhkan konsumsi. Namun, RUU Cipta Kerja justru mau mereduksi upah minimum dan pesangon pekerja, yang akan sangat berdampak pada daya beli buruh.
Jika ingin meningkatkan pertumbuhan ekonomi, daya beli pekerja seharusnya ditingkatkan untuk menumbuhkan konsumsi.
Ia turut menyoroti prinsip easy hire easy fire atau \'buruh mudah direkrut mudah dipecat\' yang tampak di RUU Cipta Kerja. Proses PHK dibuat kabur dan dipermudah.
Peran serikat buruh untuk memediasi perundingan PHK antara pengusaha dan pekerja juga ditiadakan. Selain itu, PHK untuk kesalahan ringan juga bisa dilakukan tanpa adanya tiga kali surat peringatan.
“Ini memunculkan ketidakpastian bagi pekerja. Di tengah ketidakpastian bekerja itu, bagaimana pekerja mau konsumsi? Pemerintah memberi kompensasi atau bonus ‘pemanis’ (sweetener) dan jaminan kehilangan pekerjaan yang salah satunya pemberian uang tunai (cash benefit), tetapi apakah itu cukup?” kata Timboel.
Timboel mengkhawatirkan, RUU Cipta Kerja akan bernasib serupa dengan UU Pengampunan Pajak pada 2017. Dengan memberi amnesti ke para pengemplang pajak, UU itu awalnya diharapkan bisa meningkatkan pendapatan dari sektor pajak secara signifikan.
Namun, ketika sudah berlaku, UU itu tidak berhasil menggenjot pemasukan pajak secara signifikan. Melihat klausulnya, RUU Cipta Kerja ini juga ditakutkan bisa bernasib serupa.
"Apa yang dikorbankan, dalam hal ini daya tawar dan kesejahteraan buruh, belum tentu sebanding signifikan dengan hasilnya nanti. Jadi, proses ini seolah hanya menguntungkan sekelompok orang saja,” kata dia.
Adapun proses pembahasan RUU Cipta Kerja di parlemen akan segera dimulai. RUU yang ditargetkan rampung pada pertengahan Mei 2020 ini sedang dikaji oleh sejumlah fraksi partai politik di DPR.
Ketua Kelompok Fraksi (Kapoksi) Badan Legislasi Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Al Muzammil Yusuf mengatakan, fraksinya masih mendalami RUU tersebut.
“RUU Cipta Kerja ini lintas komisi sehingga akan dikaji terlebih dahulu oleh anggota kami di seluruh komisi yang terkait,” katanya.
Anggota Komisi IX dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Netty Prasetiyani mengatakan, Fraksi PKS berkomitmen untuk tetap memanusiakan hak-hak pekerja. Sejauh ini, ada sejumlah organisasi pekerja yang mendatangi PKS untuk memberi masukan substansi.
“RUU ini memang inisiatif pemerintah, tetapi kami akan menggunakan fungsi pengawasan kami untuk mencermati tiap pasal yang disusun,” katanya.
Fraksi PKS berkomitmen untuk tetap memanusiakan hak-hak pekerja.
Menurutnya, RUU Cipta Kerja jangan sampai bertentangan dengan UU Nomor 2 Tahun 2004 tentang Perselisihan Hubungan Industrial yang sudah cukup memadai dalam menjamin kepastian hukum dan perlindungan untuk para pekerja.
“Jadi tentu kami akan perhatikan juga harmonisasi antara RUU Cipta Kerja ini dengan UU lain, jangan sampai menghasilkan kebingungan, pengusaha berlindung ke RUU Cipta Kerja, lalu pekerja ke UU PHI,” katanya. (KARINA ISNA IRAWAN)