Pembukaan kembali sekolah di zona kuning dinilai berisiko tinggi menularkan Covid-19 kepada anak-anak. Padahal, menurut sejumlah studi, anak-anak di Indonesia rentan terhadap penularan penyakit itu.
Oleh
Ahmad Arif
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Keputusan pembukaan sekolah dengan sistem tatap muka di wilayah zona kuning meningkatkan risiko penularan Covid-19 pada anak. Data menunjukkan, anak-anak di Indonesia memiliki tingkat penularan dan mortalitas karena Covid-19 yang lebih tinggi dibandingkan negara lain karena buruknya kondisi kesehatan.
Setelah pembukaan sekolah di zona hijau, pemerintah akhirnya juga mengizinkan belajar mengajar tatap muka di zona kuning, Jumat (7/8/2020). Data terbaru di peta risiko Satuan Tugas Penanganan Covid-19 menunjukkan, jumlah kabupaten/kota yang berada di zona hijau sebanyak 94, sedangkan yang berada di zona kuning sebanyak 182. Ini berarti sekitar 53,67 persen sekolah di Indonesia akan dilangsungkan dengan tatap muka.
Hal itu ditandai revisi surat keputusan bersama (SKB) tentang panduan penyelenggaraan pembelajaran di masa pandemi Covid-19 oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Kesehatan, Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian Agama yang terbit pada 13 Juli 2020.
”Diperbolehkan, tidak diwajibkan. Apabila kepala daerah dan dinas pendidikan/kantor wilayah Kemenag di zona kuning Covid-19 memberikan izin, tetapi kepala/komite sekolah dan orangtua tidak siap, kelas tatap muka di sekolah tidak akan buka dan lanjut pembelajaran jarak jauh (PJJ). Pemerintah harus mengutamakan hak prerogatif mereka,” ujar Mendikbud Nadiem Anwar Makarim dalam taklimat media, kemarin, di Jakarta.
Dia menjelaskan, keputusan itu diambil dengan mempertimbangkan potensi efek negatif PJJ berkepanjangan, antara lain ancaman putus sekolah, risiko penurunan capaian belajar, peningkatan kasus kekerasan, dan efek psikologis.
Sejauh ini, pemerintah menerima berbagai keluhan PJJ. Dari sisi guru, mereka kesulitan mengelola PJJ, cenderung fokus menuntaskan kurikulum, dan waktu pembelajaran berkurang. Dari sisi orangtua, umumnya mereka sulit memahami pelajaran dan memotivasi anak. Banyak anak kesulitan berkonsentrasi belajar dari rumah.
Tahapan pembelajaran tatap muka di zona hijau dan zona kuning Covid-19 akan mendahulukan jenjang pendidikan dasar dan menengah. Adapun jenjang pendidikan anak usia dini bisa memulai pembelajaran tatap muka paling cepat dua bulan setelah dasar-menengah.
Untuk madrasah dan sekolah berasrama di zona hijau dan kuning Covid-19, pembukaan kembali sekolah dilakukan bertahap. Pada transisi bulan pertama, asrama hanya boleh diisi 50 persen siswa dan bulan kedua baru 100 persen.
Dalam pembelajaran tatap muka di sekolah saat pandemi, sekolah di zona kuning wajib mengisi daftar periksa kesiapan menjalankan protokol kesehatan ketat dan pembatasan siswa di kelas. ”Peserta didik di zona oranye dan merah Covid-19 wajib PJJ,” ujar Nadiem.
Pelaksana Tugas Sekretaris Jenderal Kementerian Dalam Negeri Muhammad Hudori menambahkan, kepala daerah, dinas pendidikan, sekolah, dan orangtua diberi keleluasaan menerapkan kelas tatap muka kembali di sekolah. ”Sesuai Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, kepala daerah dilarang membuat kebijakan yang meresahkan masyarakat,” ujarnya.
Siapkan rencana darurat
”Keputusan (pembukaan sekolah di zona kuning) bisa diduga sebelumnya. Sekarang yang penting siapkan rencana darurat, bagaimana memonitor peningkatan kasus baru? Apakah anak-anak akan di tes usap massal kalau terjadi lonjakan kasus? Apakah fasilitas kesehatan sudah siap atau belum?” kata Ketua Satuan Tugas Covid-19 Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Yogi Prawira.
Yogi mengingatkan, anak-anak di Indonesia rentan tertular Covid-19 dan tingkat kematiannya juga relatif tinggi dibandingkan negara lain. Tingginya tingkat kematian ini karena adanya banyak masalah kesehatan pada anak-anak di Indonesia sejak sebelum pandemi.
Menurut data Satuan Tugas Penanganan Covid-19, jumlah anak usia 0-5 tahun yang positif Covid-19 di Indonesia sebanyak 2,4 persen dan usia 6-18 tahun 6,8 persen. Total anak-anak usia 0-18 tahun yang terinfeksi 9,2 persen. Dengan jumlah kasus di Indonesia sebesar 121.226 orang, artinya ada 14.547 anak yang positif Covid-19.
Siapkan rencana darurat, bagaimana memonitor peningkatan kasus baru? Apakah anak-anak akan dites usap massal kalau terjadi lonjakan kasus?
Sementara data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan, dari 9.300 anak-anak usia 0-18 tahun di Indonesia yang positif Covid-19, sebanyak 105 anak di antaranya meninggal. Ini berarti tingkat kematiannya 1,1 persen.
Laporan Unicef yang dikumpulkan dari 42 negara pada 15 Juli 2020 menyebutkan, anak-anak dan remaja di bawah 20 tahun yang terinfeksi Covid-19 sebesar 8,1 persen. Ada penyebaran yang sangat luas di antara proporsinya, mulai dari Paraguay yang memiliki kasus Covid-19 pada anak-anak hingga 23 persen hingga Spanyol yang hanya 0,82 persen.
Adapun data kematian anak secara global sejauh ini belum ditemukan. Namun, sejumlah negara, seperti dilaporkan Ourworldindata.org yang dibangun oleh Oxford Univerity dan tim, di Korea Selatan, China, Spanyol, hingga Italia tidak ada anak usia 0-9 tahun yang meninggal karena Covid-19. Sementara anak usia 10-19 tahun yang meninggal di empat negara tersebut berkisar 0-0,2 persen.
Dicky Budiman, epidemiolog dari Griffith University, Australia, mengatakan, tingginya kasus Covid-19 dan tingkat kematiannya di Indonesia menjadi sinyal buruk. Ini bisa menandai bahwa skala penularan di komunitas sebenarnya lebih besar, selain juga menunjukkan kerentanan anak-anak Indonesia terhadap Covid-19 yang lebih tinggi dibandingkan negara lain.
”Masalah klasik gizik anak dan cakupan imunisasi yang belum optimal menjadi salah satu penyebab tingginya angka kematian anak di Indonesia akibat Covid-19,” kata Dicky.
Mengacu pada data WHO, proporsi kasus gizi buruk anak balita di Indonesia berada di atas batas, yakni 20 persen populasi. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar 2018, proporsi status gizi anak balita dengan indikator tinggi badan sangat pendek atau tengkes masih berada di angka 30,8 persen pada 2018.
Selain itu, WHO pun menempatkan Indonesia sebagai negara ketiga dengan kasus tertinggi di Asia. Tengkes merupakan kondisi gagal tumbuh pada anak balita akibat kekurangan gizi kronis terutama dalam 1.000 hari pertama kehidupan (HPK). Dampak buruk pada jangka panjang adalah penurunan prestasi belajar, penurunan kekebalan tubuh, serta risiko tinggi diabetes, kegemukan, penyakit jantung, kanker, serta stroke pada usia tua.
Hak sehat
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Retno Listyarti, menyayangkan keputusan pemerintah merevisi SKB empat menteri dengan mengizinkan pembelajaran tatap muka di zona kuning Covid-19 karena hal itu berisiko bagi anak-anak. Hak sehat bagi anak lebih utama saat pandemi.
”Menilai risiko penularan Covid-19 di Indonesia dengan memakai zonasi tak efektif. Meski suatu wilayah di zona hijau, itu tak bisa membuktikan wilayah itu aman karena pemeriksaan minim. Jangan sampai anak kita dikorbankan,” kata Ketua Umum IDAI Aman Bhakti Pulungan. Anak sulit memakai masker dalam waktu lama. Di sisi lain, kapasitas layanan kesehatan terbatas.
Kepala Dinas Pendidikan Jawa Barat Dedi Supandi mengatakan, ada 228 kecamatan di provinsi itu yang termasuk zona hijau. Namun, pembukaan pembelajaran tatap muka tak hanya berdasarkan status zona hijau, tetapi ada indikator lain yang juga diverifikasi, termasuk jaringan internet. (MED/TAN/TAM)