Banyak penderita Covid-19 di ibu kota Jakarta adalah pelajar dan mahasiswa. Meski tingkat kematian mereka rendah, penderita bisa mengalami dampak permanen pada organ tubuh.
Oleh
Ahmad Arif/Deonisia Arlinta
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penularan Covid-19 meluas dengan pertumbuhan kluster perkantoran dan keluarga yang makin mengkhawatirkan. Data di Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta menunjukkan, sebagian besar yang tertular adalah pelajar dan mahasiswa dengan tanpa gejala. Untuk memutus rantai penularan, pemeriksaan lebih masif dan pelacakan kontak intensif harus dilakukan.
Menurut data Satuan Tugas Covid-19 pada Kamis (13/8/2020), terdapat penambahan 2.098 kasus baru dalam sehari. Penambahan kasus ini didapatkan dari pemeriksaan terhadap 14.850 orang, di mana 5.049 atau 34 persennya ada di Jakarta. Sementara secara nasional, Indonesia telah memeriksa 1.026.954 orang. Itu membuat total sudah ada 132.816 kasus Covid-19 di Tanah Air dengan 5.968 orang meninggal dan 87.558 pasien sembuh.
Dengan data ini, rasio positif dari yang diperiksa sebesar 12,9 persen. Sekalipun jumlah pemeriksaan yang dilakukan cenderung naik, rasio positif ikut naik dibandingkan 10 hari lalu yang hanya 12,6 persen.
”Rasio positif yang meningkat walaupun pemeriksaan bertambah menunjukkan, penularan di komunitas meningkat, selain jumlah tes kurang dan jangkauannya terbatas,” kata Iwan Ariawan, epidemiolog dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Kamis (13/8/2020), di Jakarta.
Skala penularan Covid-19 di Indonesia masih sulit diketahui karena hampir semua daerah belum memenuhi syarat minimal jumlah tes 1 per 1.000 per minggu. Hanya Jakarta yang konsisten bisa memenuhi jumlah tes ini. "Kebetulan Jakarta cukup terbuka dengan datanya dan tim kami di FKM UI diminta bantu analalisis," kata Iwan.
Salah satu data DKI Jakarta yang perlu mendapat perhatian, menurut Iwan, adalah banyak pelajar dan mahasiswa tertular Covid-19. Analisis terhadap 6.416 kasus atau 29 persen total kasus positif di Jakarta, 1.446 orang di antaranya belum atau tidak bekerja, 1.302 merupakan pelajar dan mahasiswa, 928 tenaga kesehatan, 696 karyawan swasta, dan 611 pekerja di sektor perdagangan.
”Ini menunjukkan, anak-anak muda, khususnya pelajar dan mahasiswa yang paling banyak bergerak atau keluar dan mungkin relatif abai dengan protokol kesehatan,” kata Iwan.
Selain di kalangan pelajar dan mahasiswa, kluster penularan dalam satu keluarga menunjukkan peningkatan. Itu mengindikasikan adanya keterlambatan dalam pemeriksaan dan pelacakan kontak.
Ini menunjukkan, anak-anak muda, khususnya pelajar dan mahasiswa, yang paling banyak bergerak atau keluar dan mungkin relatif abai dengan protokol kesehatan.
Epidemiolog dari Griffith University, Dicky Budiman, mengatakan, anak-anak dan mahasiswa ini juga bisa tertular dari orangtua mereka karena masih dibukanya perkantoran. Apalagi, banyak perkantoran telah menjadi kluster penularan.
”Ini harusnya menjadi peringatan juga. Sebelum sekolah dibuka saja, anak-anak yang tertular mendominasi, apalagi nanti kalau sekolah dibuka, risiko ledakan kasus bisa jauh lebih besar,” kata Dicky.
Anak-anak muda ini kemungkinan tanpa gejala atau bergejala ringan sehingga tingkat kematiannya relatif rendah. ”Tetapi, sejumlah riset menunjukkan sekalipun bisa pulih, banyak orang yang terinfeksi mengalami dampak permanen pada organ tubuh mereka sehingga akan menjadi beban kesehatan sepanjang hidup,” ungkapnya.
Data di DKI Jakarta menunjukkan, tingkat kematian pelajar dan mahasiswa relatif rendah. Sebagaimana data nasional, jumlah korban meninggal terbanyak berada dalam rentang 51-60 tahun dan 61 tahun ke atas.
Dicky menambahkan, sekalipun tingkat kematiannya rendah, anak-anak muda yang tertular ini bisa menularkan kepada kelompok rentan. ”Kalau mau memutus rantai penularan, kita harus fokus pada anak-anak muda yang kebanyakan jadi OTG (orang tanpa gejala) ini,” katanya.
Menurut Dicky, banyaknya anak muda yang tertular di Indonesia ini juga yang menjadi salah satu faktor yang mengurangi tingkat kematian karena Covid-19 di Indonesia. ”Namun, ke depan sangat mungkin berubah. Sebab, kalau penularannya tidak dikendalikan, penyebarannya akan sampai juga ke kelompok umur lebih tua dan kelompok lebih rentan,” ungkapnya.
Kluster perkantoran
Selain tren penularan Covid-19 di kalangan siswa dan mahasiswa, data di Jakarta juga menunjukkan terus melonjaknya kluster penularan di perkantoran. Sejak 4 Juni hingga 9 Agustus 2020 terdapat 1.081 karyawan di 166 kantor yang positif Covid-19. Dalam sepekan terakhir, yaitu pada 3-9 Agustus saja terdapat 173 orang di perkantoran yang positif terinfeksi virus korona baru.
Dari jumlah ini, kasus positif terbanyak dari kantor swasta sebanyak 285 orang di 54 kantor, kementerian 268 orang di 24 kantor, 141 orang di Pemda DKI Jakarta, sisanya di badan usaha milik negara (BUMN), badan usaha milik daerah (BUMD), serta kepolisian.
”Jumlah karyawan yang terinfeksi di perkantoran ini bisa lebih banyak lagi karena sebagian tidak terbuka. Saya mendapat informasi di salah satu BUMN dalam seminggu terkahir saja ada 30 orang yang positif,” kata Dicky.
Menurut Iwan, perkantoran sangat rentan menjadi kluster penularan, terutama karena karakter gedung-gedungnya tertutup. ”Selain itu, ada banyak kasus karyawan begitu di dalam gedung cenderung membuka masker. Padahal, risiko penularan di ruang tertutup sangat tinggi,” katanya.
Dengan kondisi ini, masyarakat dianjurkan selalu mematuhi protokol kesehatan. ”Begitu keluar dan ketemu orang lain, baik teman maupun keluarga besar yang tidak serumah harus pakai masker dan jaga jarak. Kita harus selalu beranggapan, orang lain bisa menularkan, dan kita sendiri bisa menulari orang lain,” katanya.
Adapun pemerintah harus memperkuat tes, lacak, dan isolasi orang yang kontak dengan pasien. ”Begitu ada kasus positif, orang yang memiliki kontak harus dilacak dan dites segera. Harusnya dalam 24 jam sudah dites sambil menunggu hasil harus isolasi mandiri,” kata Iwan.
Selain itu, untuk mencegah meluasnya kluster pekantoran, pemerintah harus membuat kebijakan yang tegas untuk membatasi jam kerja dan jumlah orang yang bekerja di luar rumah. ”Harus optimalkan kembali bekerja dari rumah. Jangan memaksa kerja di kantor karena yang akan jadi korban adalah karyawan,” ungkapnya.
Sementara itu, setidaknya 800 orang meninggal karena kesalahan informasi Covid-19 pada tiga bulan pertama tahun 2020. Banyak korban meninggal karena mengikuti anjuran keliru mengobati penyakit ini. Indonesia menempati peringkat paling banyak menyebarkan informasi keliru ini.
Hasil kajian ini ditulis Md Saiful Islam dari Program for Emerging Infections, Infectious Diseases Division, Bangladesh, dan para peneliti lain dari sejumlah negara di American Journal of Tropical Medicine and Hygiene edisi 10 Agustus 2020. Tim peneliti menemukan 5.800 orang dirawat di rumah sakit akibat informasi palsu terapi Covid-19 di media sosial.
Peneliti mengidentifikasi 2.311 infodemik atau informasi keliru terkait Covid-19 dalam 25 bahasa dari 87 negara dalam periode 21 Januari hingga 5 April 2020. Dari jumlah itu, 2.049 atau 89 persen laporan termasuk rumor, 182 atau 7,8 persen, yakni teori konspirasi, dan 82 atau 3,5 persen adalah stigma.
Meski menempatkan Indonesia dalam urutan keempat negara paling banyak terdapat infodemik terkait Covid-19, laporan ini tak memerinci spesifik.
Direktur Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Kementerian Kesehatan Rizkiyana Sukandhi Putra mengatakan, edukasi terkait pencegahan Covid-19 harus konsisten dan terus-menerus.