Jangan Paksakan Penggunaan Darurat Vaksin Covid-19
Penerimaan publik terhadap vaksinasi Covid-19 ditentukan oleh kepercayaan terhadap pemerintah dalam penanganan pandemi. Dari survei di 19 negara, tingkat penerimaan publik terhadap vaksin itu 72 persen.
Ketidakpercayaan terhadap pemerintah menjadi penyebab utama penolakan publik terhadap vaksin Covid-19 di sejumlah negara. Tingkat penerimaan vaksin di Indonesia yang kurang dari 50 persen seharusnya menjadi peringatan agar pemerintah lebih hati-hati dan memperbaiki komunikasi terkait vaksin.
”Pemerintah jangan memaksakan vaksin impor dengan penggunaan darurat (emergency use authorization). Tunggu dulu uji klinik di Indonesia dan evaluasinya. Aspek keamanan publik harus menjadi yang diutamakan, seperti telah diamanatkan dalam Undang-Undang tentang Kesehatan Nomor 32 Tahun 2009,” kata epidemiolog Indonesia di Griffith University, Dicky Budiman, Rabu (21/10/2020).
Permintaan agar vaksin yang digunakan setelah melalui uji klinis pada populasi di Indonesia juga diutarakan Ketua Umum Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) Agus Dwi Susanto dalam keterangan tertulis. ”PDPI mengimbau agar setiap vaksin yang digunakan di Indonesia sudah mendapat persetujuan dari Badan Pengawas Obat dan Makanan,” kata Agus.
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (Papdi) menegaskan, vaksin Covid-19 yang digunakan harus terbukti efektivitas, keamanan, dan imunogenitas atau respons imunnya terhadap patogen atau virus SARS-CoV-2 melalui uji klinis sesuai tahapan pengembangan vaksin baru. ”Untuk mencapai itu, dibutuhkan waktu cukup sehingga tidak perlu tergesa-gesa sambil terus mengingatkan masyarakat agar menjalankan protokol kesehatan,” ujar Ketua Umum Papdi Sally A Nasution.
Menurut Dicky, risiko penggunaan vaksin secara terburu-buru sangat besar. ”Apalagi, katanya mau diberikan untuk tenaga kesehatan dulu. Bagaimana jika ada dampak buruk, padahal kita kekurangan nakes (tenaga kesehatan) dan sudah banyak yang jadi korban,” ujarnya.
Penggunaan darurat membutuhkan syarat ketat. Selain ada pandemi yang mengancam kematian, harus ada bukti awal ilmiah yang kuat, termasuk hasil uji klinis fase tiga. ”Jadi, setelah penyuntikan lengkap, kalau sekarang untuk Covid-19 dua kali, minimal hasilnya dipantau selama dua bulan. Bahkan, WHO (Organisasi Kesehatan Dunua) menganjurkan tiga bulan setelah penyuntikan," ujarnya.
Baca juga : Vaksin Covid-19 Dipastikan Lulus Semua Tahapan Uji
Dicky mengingatkan, pada tahun 1955, ada skandal dalam pemberian vaksin polio. Mereka yang disuntik dengan vaksin dari virus yang dilemahkan justru mengalami kelumpuhan, bahkan meninggal. ”Beberapa tahun lalu juga ada skandal vaksin antraks dengan penggunaan darurat kepada tentara. Justru banyak tentara yang terinfeksi sehingga pemerintahnya dituntut,” katanya.
Jadi, setelah penyuntikan lengkap, kalau sekarang untuk Covid-19 dua kali, minimal hasilnya dipantau selama dua bulan.
China sudah menerapkan penggunaan darurat vaksin ini untuk warga mereka sejak Juli 2020. Seharusnya hasilnya bisa dipublikasikan sehingga bisa dikaji secara ilmiah. ”Perwakilan yang mau impor seharusnya melihat ini, apa benar vaksin yang sudah diterapkan aman dan efikasinya tinggi. Apakah ada jaminan tidak akan berdampak buruk bagi masyarakat kita?” katanya.
Menurut Dicky, sejumlah negara maju, seperti Jerman, tidak memilih penggunaan darurat. Sebaliknya, mereka menambah jumlah orang yang diuji klinis dari sebelumnya 30.000 menjadi 40.000 orang guna melihat keamanan dan efikasinya sambil menunggu vaksin yang terbaik. ”Kemungkinan Jerman baru akan memberikan vaksin pada pertengahan tahun depan,” ujarnya.
Ia juga tidak setuju dengan upaya pemaksaan kepada masyarakat agar menerima vaksin Covid-19. Selama belum ada jaminan keamanan, hal itu justru akan jadi bumerang yang akan menurunkan kepercayaan publik terhadap program vaksinasi lain. ”Kita tidak bisa meniru China atau Rusia, yang sistem pemerintahannya berbeda. Untuk meningkatkan penerimaan terhadap vaksin harus dengan meningkatkan kepercayaan publik,” katanya.
Kepercayaan publik
Survei di 19 negara menunjukkan, rata-rata hanya 72 persen yang kemungkinan akan menggunakan vaksin. Kajian oleh tim peneliti dari CUNY School of Public Health and Health Policy (CUNY SPH), Barcelona Institute for Global Health (ISGlobal), Vaccine Confidence Project at the London School of Hygiene and Tropical Medicine (LSHTM), dan Georgetown University Law School ini dipublikasikan di jurnal Nature Medicine pada Rabu (21/10/2020).
Responden penelitian ini berasal dari China, Brasil, Afrika Selatan, Meksiko, Amerika Serikat, India, Spanyol, Ekuador, Inggris, Italia, Kanada, Jerman, Singapura, Swedia, Nigeria, Perancis, Polandia, dan Rusia.
Berdasarkan data yang dikumpulkan dengan survei Covid-Score terhadap lebih dari 13.400 orang di 19 negara, para peneliti menemukan bahwa 72 persen responden kemungkinan akan menggunakan vaksin. Dari 28 persen sisanya, 14 persen akan menolak dan 14 persen ragu-ragu. Hal itu berarti ada puluhan juta orang yang berpotensi menghindari vaksin.
Baca juga : Perbaiki Komunikasi Terkait Vaksin
”Kami menemukan, masalah keraguan terkait vaksin amat terkait kurangnya kepercayaan kepada pemerintah. Penerimaan vaksin selalu lebih tinggi di negara-negara di mana kepercayaannya lebih tinggi,” kata Jeffrey V Lazarus, peneliti dan koordinator studi ISGlobal.
Negara dengan skor penerimaan tertinggi untuk menggunakan vaksin yang terbukti aman dan efektif adalah China, sebesar 87 persen. China juga memiliki persentase tanggapan negatif terendah, yaitu 0,7 persen. Di sisi lain, Polandia memiliki tanggapan negatif tertinggi, sebesar 27 persen. Sementara responden Rusia memberikan tanggapan positif paling sedikit, 55 persen. Di Singapura, yang menyatakan menerima vaksin 67,94 persen dan India 74,53 persen.
Ketika ditanya apakah akan menerima vaksin jika direkomendasikan oleh pemberi kerja serta disetujui secara aman dan efektif oleh pemerintah, 32 persen responden sepenuhnya setuju, sedangkan 18 persen agak atau sama sekali tidak setuju. China juga memiliki persentase tanggapan positif tertinggi, 84 persen, dan persentase tanggapan negatif terendah, 4 persen.
Rusia memiliki persentase tanggapan negatif tertinggi, 41 persen, dan persentase terendah responden, 27 persen, yang cenderung menerima rekomendasi atasan mereka. Di Amerika Serikat, 52 persen percaya pada rekomendasi pemberi kerja dan 25 persen tidak percaya.
Ayman El-Mohandes, anggota tim peneliti, mengatakan, data ini menunjukkan pentingnya meningkatkan kepercayaan publik terhadap vaksin dan pemahaman tentang bagaimana mereka dapat membantu mengendalikan penyebaran Covid-19 di keluarga dan komunitas mereka.
Baca juga : Kolaborasi Perkuat Penanganan Pandemi Covid-19
Penerimaan vaksin juga bervariasi menurut usia. Penerimaan lebih tinggi terjadi di kalangan orang tua dibandingkan dengan mereka yang berusia di bawah 22 tahun. Mereka dengan pendapatan juga lebih menerima vaksin. Namun, orang-orang yang jatuh sakit karena Covid-19 atau yang kerabatnya jatuh sakit cenderung tidak merespons secara positif.
”Akan tragis jika kita mengembangkan vaksin yang aman dan efektif, orang-orang menolak untuk memakainya. Kita perlu mengembangkan upaya yang kuat dan berkelanjutan untuk mengatasi keraguan akan vaksin dan membangun kembali kepercayaan publik terhadap manfaat vaksin untuk pribadi, keluarga, dan komunitas,” kata Scott C Ratzan, anggota tim.
Dalam kajian ini, peneliti juga menunjukkan, keputusan orang tentang vaksinasi bergantung pada banyak faktor dan dapat berubah seiring waktu. Faktanya, sejak survei ini dilakukan pada akhir Juni 2020, isu terkait vaksin semakin dipolitisasi dan gerakan antivaksin menjadi lebih agresif. Hal ini menunjukkan bahwa keraguan akan vaksin mungkin menjadi ancaman yang lebih besar saat ini.
Penerimaan di Indonesia
Studi terpisah oleh Laporcovid19, Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, dan Forum Perguruan Tinggi untuk Pengurangan Risiko Bencana yang dirilis baru-baru ini juga menemukan, penerimaan terhadap vaksin Covid-19 di Indonesia lebih rendah dari 19 negara di atas.
Dari 2.109 responden di semua provinsi di Indonesia, hanya 31 persen yang bersedia menerima vaksin Biofarma-Sinovac. Adapun 69 persen responden ragu-ragu hingga tidak bersedia. Terhadap vaksin Merah Putih, 44 persen responden bersedia menerima dan 56 persen responden ragu-ragu hingga tidak bersedia menerima.
Irma Hidayana, peneliti kesehatan publik dari Laporcovid19, mengatakan, rendahnya penerimaan vaksin di Indonesia menandai lemahnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dalam penanganan pandemi ini. Selain komunikasi yang tepercaya, pemerintah diharapkan tidak tergesa-gesa memberikan vaksin.
Menurut Irma, promosi terhadap vaksin yang belum pasti keamanan dan efikasinya justru akan semakin menimbulkan keraguan publik. ”Sebaiknya menunggu hasil uji klinis selesai dan selama itu harus berupaya menanggulangi wabah ini dengan tes, pelacakan, dan isolasi. Ini bagian dari membangun kepercayaan,” tuturnya.