Perubahan iklim terus melaju dan suhu Bumi kembali mencapai rekor tertinggi. Belajar dari pandemi kali ini, upaya untuk mencegah wabah berikutnya, seharusnya bisa sejalan dengan langkah menekan emisi global.
Oleh
Ahmad Arif
·5 menit baca
Perubahan iklim terus melaju dan suhu Bumi kembali mencapai rekor tertinggi. Belajar dari pandemi kali ini, upaya untuk mencegah wabah berikutnya, seharusnya bisa sejalan dengan langkah menekan emisi global yang menjadi pemicu perubahan iklim.
Pencatatan oleh National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) Amerika Serikat, yang dikeluarkan pekan lalu menunjukkan, September tahun ini menjadi rekor terpanas sepanjang pencatatan sejak 1880. Suhu permukaan laut dan darat global pada September 2020 mencapai 15 derajat celcius, atau 0,97 derajat celcius di atas rata-rata abad ke-20. Nilai ini melampaui suhu tertinggi kedua di September 2015 dan 2016 sebesar 0,04 dan 0,02 derajat celcius.
Suhu permukaan laut dan darat global dalam bulan terakhir tahun ini juga menjadi yang tertinggi kedua dalam rekor 141 tahun, yaitu mencapai 14,1 derajat celcius atau 1,02 derajat di atas rata-rata abad ke-20. Rekor suhu terpanas Januari-September terjadi di sebagian besar Asia utara dan di bagian tenggara China, Eropa, Afrika bagian utara, Amerika Selatan bagian utara, Amerika Tengah, serta Samudra Atlantik, Hindia, dan Pasifik.
Tak hanya itu, penyimpangan suhu permukaan laut dan daratan di belahan Bumi selatan pada September 2020 juga menjadi yang tertinggi dalam catatan. Sementara itu, Belahan Bumi utara mengalami rekor terpanas ketiga pada September. Luas es laut Arktik menjadi yang terendah kedua dalam catatan, sementara es laut Antartika berada di atas rata-rata.
Peneliti perubahan iklim Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika BMKG Siwanto mengatakan, data-data di Indonesia juga menunjukkan tahun 2020 ini lebih panas dari tren tahunannya, walaupun masih lebih panas pada 2016. "Anomali tertinggi terjadi di bulan Mei untuk rata-rata seluruh Indonesia," kata dia.
Data-data ini menggarisbawahi kesimpulan utama dari laporan United in Science baru-baru ini, yang dikoordinasikan oleh Organisasi Meteorologi Dunia (WMO), bahwa perubahan iklim tidak berhenti selama Covid-19. Konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer yang sempat menurun, kembali berada pada tingkat rekor dan terus meningkat. Emisi kini menuju ke arah tingkat pra-pandemi menyusul penurunan sementara yang disebabkan oleh penguncian dan perlambatan ekonomi.
“2016-2020 ditetapkan sebagai periode lima tahun terhangat yang pernah tercatat. Sementara banyak aspek kehidupan kita telah terganggu pada tahun 2020, perubahan iklim terus berlanjut, ”kata Sekretaris Jenderal WMO, Profesor Petteri Taalas dalam laporan United in Science.
Dengan situasi ini, Taalas khawatir, dunia tidak berada di jalur yang tepat untuk memenuhi target yang disepakati untuk menjaga kenaikan suhu global jauh di bawah 2 derajat celcius. Apalagi bisa mencapai di bawah 1,5 derajat celcius di atas tingkat pra-industri seperti yang direkomendasikan para ahli perubahan iklim
Terus Meningkat
Laporan United in Science yang diluncurkan bulan lalu menyebutkan, konsentrasi karbon dioksida (CO2) di atmosfer terus meningkat ke rekor baru. Stasiun iklim di jaringan WMO Global Atmosphere Watch (GAW) melaporkan konsentrasi CO2 di atas 410 bagian per juta (ppm) selama paruh pertama tahun 2020, dengan stasiun Mauna Loa (Hawaii) dan Cape Grim (Tasmania) masing-masing pada 414,38 ppm dan 410,04 ppm pada Juli 2020, naik dari 411,74 ppm dan 407,83 ppm pada Juli 2019.
Pandemi Covid-19 memang mampu mengurangi laju penambahan emisi tahun ini. Selama puncak penguncian pada awal April 2020, emisi harian CO2 di tingkat global turun sebesar 17 persen dibandingkan dengan 2019. Pada awal Juni 2020, emisi harian CO2 di tingkat global sebagian besar telah kembali ke dalam 5 persen di bawah level 2019, yang mencapai rekor baru 36,7 Gigaton (Gt) tahun lalu. Emisi pada 2019 itu 62 persen lebih tinggi dibandingkan awal dilakukannya negosiasi perubahan iklim pada tahun 1990.
Dengan tren ini, diperkirakan, total emisi CO2 akan turun sekitar 4 persen hingga 7 persen pada akhir tahun 2020. Total emisi ini masih setara dengan tingkat tahun 2006. Jadi, berkurangnya mobilitas global selama pandemi tidak cukup memadai jika dibandingkan dengan pertumbuhan tajam emisi karbon selama 15 tahun terakhir akibat ketergantungan yang terus berlanjut pada sumber energi fosil.
Jika pandemi ini tidak cukup menyadarakan pengambil kebijakan untuk lebih ramah lingkungan, penambahan emisi global bakal semakin melaju ke depannya. Apalagi, bejalar dari tahun-tahun sebelumnya, upaya untuk memulihkan aktivitas setelah krisis diikuti dengan pembangunan yang masif dan boros emisi.
Saling Berhubungan
Penelitian Harvard Chan "C-CHANGE" menunjukkan, motivasi untuk memerangi perubahan iklim seharusnya sama dengan upaya untuk mencegah beban besar pada kesehatan kita akibat obesitas, penyakit jantung, dan kanker. Ini adalah soal kesadaran terhadap mitigasi.
Kita perlu berbuat lebih banyak untuk berbicara tentang “beban bencana” yang dapat dikurangi risikonya, dan hal-hal yang dapat kita lakukan sekarang untuk mencegahnya. Langkah untuk mengurangi bencana perubahan iklim, ternyata juga saling terkait dengan upaya mencegah pandemi berikutnya.
Misalnya, dengan mencegah deforestasi dan perambahan hutan, yang menjadi akar penyebab perubahan iklim, kita dapat membantu membendung hilangnya keanekaragaman hayati serta memperlambat migrasi hewan yang dapat meningkatkan risiko penyebaran penyakit menular.
Epidemi Ebola baru-baru ini di Afrika Barat jelas terjadi sebagian karena kelelawar, yang membawa penyakit, terpaksa pindah ke habitat baru karena hutan tempat mereka tinggal telah ditebang untuk menanam pohon kelapa sawit. Demikian halnya, wabah Covid-19 dipicu oleh migrasi virus kelelawar ke manusia, yang dipicu oleh perambahan dan penangkapan satwa liar.
Berikutnya, memperbaiki praktik pertanian kita, yang terlalu mengandalkan pemeliharaan puluhan juta hewan dalam jarak dekat, dapat mencegah penularan antar hewan dan meluas ke populasi manusia. Di sisi lain, hal ini, peternakan skala besar juga juga menjadi sumber emisi terbesar, melalui cemaran gas metana.
Sedangkan mengurangi polusi udara akibat pembakaran bahan bakar fosil seperti batu bara, minyak, dan gas alam juga membantu menjaga kesehatan paru-paru, yang dapat melindungi kita dari infeksi saluran pernapasan seperti virus corona baru ini.
Untuk memerangi perubahan iklim, kita juga perlu menurunkan emisi gas rumah kaca secara drastis. Menghasilkan listrik dari sumber energi rendah karbon seperti angin dan matahari mengurangi polutan udara berbahaya seperti nitrogen oksida, sulfur dioksida, dan karbon dioksida yang selama ini menyebabkan lebih banyak serangan jantung dan stroke, dan kematian dini.
Baik pandemi maupun perubahan iklim jelas terjadi karena ulah kita sendiri. Maka, ketika Covid-19 mereda, kita harus menciptakan norma hidup baru yang lebih ramah lingkungan yang menjadi kunci keberlanjutan kehidupan.