Paparan Hoaks Mengaburkan Sisi Baik Penggunaan Vaksin Covid-19
Sebagian kalangan mengkhawatirkan penyebaran hoaks Covid-19 mengurangi penerimaan masyarakat terhadap vaksin yang saat ini sedang dikembangkan.
JAKARTA, KOMPAS — Sejalan dengan persetujuan penggunaan vaksin Covid-19 oleh sejumlah negara, kabar bohong (hoaks) mengenai vaksin pun meningkat. Tanpa antisipasi, hal ini bisa menjadi persoalan di masa yang akan datang.
Data Masyarakat Antifitnah Indonesia atau Mafindo, vaksin menjadi salah satu topik hoaks yang populer dalam beberapa hari ini di Indonesia. Dalam jajaran hoaks terpopuler, Jumat (4/12/2020), terdapat kabar bohong mengenai kandungan aluminium pada vaksin berbahaya bagi otak.
Hal ini telah dibantah pakar bahwa semua vaksin yang sudah mendapat izin edar berarti telah lolos uji klinis dan kandungan garam aluminium dalam vaksin kecil sekali sehingga tidak berbahaya bagi otak.
Ketua Presidium Mafindo Septiaji Eko Nugroho mengungkapkan, pihaknya mencatat bahwa berkembangnya hoaks mengenai vaksin di Indonesia mulai terasa sejak Juli 2020. Hal ini diyakini seiring dengan kesepakatan Pemerintah Indonesia untuk menguji klinis bakal vaksin buatan Sinovac di Indonesia.
Baca juga: Menanti Efikasi Vaksin Covid-19
Isi hoaks tersebut pun bermacam-macam, tetapi semua bernada mengajak pembacanya menolak vaksin. Melalui hoaks tersebut, vaksin Covid-19 diklaim berbahaya untuk kesehatan, tidak halal, dan dituduh sebagai settingan dari negara asing, seperti Amerika Serikat dan China.
Berdasarkan pengamatannya, kelompok masyarakat yang resisten terhadap vaksin ada dua macam. Pertama, kelompok antivaksin tradisional (antivax) yang jumlahnya cenderung kecil.
Kedua, adalah kelompok masyarakat yang sebenarnya mau menerima vaksin—misalnya vaksin BCG untuk anak bayi mereka—tetapi menolak vaksin Covid-19 karena telah terpapar dan percaya bahwa pandemi ini adalah hoaks atau teori konspirasi. Septiaji meyakini banyak masyarakat yang masuk dalam kategori kelompok kedua ini. ”Ini yang patut diwaspadai dan lebih banyak jumlahnya. Karena ini berpotensi untuk menggagalkan cakupan vaksinasi Covid-19,” kata Septiaji saat dihubungi dari Jakarta.
Baca juga: Wujudkan Keadilan Akses terhadap Vaksin Covid-19
Hoaks bakal semakin subur
Proliferasi hoaks vaksin Covid-19 di Indonesia dipercaya akan semakin subur ketika pertama, kelak vaksin mulai hadir di Indonesia dan kedua, saat menimbulkan efek samping ringan pada penerimanya. Septiaji khawatir, momentum semacam itu akan digeneralisasi oleh masyarakat dan membuat gelombang penolakan vaksin Covid-19.
Oleh karena itu, menurut Septiaji, selain pemerintah perlu menyiapkan strategi komunikasi untuk mengantisipasi hal ini, pemerintah perlu juga berlaku transparan mengenai vaksin Covid-19. ”Supaya ada trust antara masyarakat dan pemerintah terkait upaya vaksinasi,” kata Septiaji.
Sosiolog Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, I’im Halimatusa’diyah, menyatakan pendapat yang sama. Ia bahkan meyakini bahwa ajakan dari sesama masyarakat juga dapat menyadarkan kelompok antivaksin untuk dapat menerima vaksin. Menurut dia, masyarakat perlu membuka dialog dengan kelompok ini namun tidak dengan semangat konfrontatif.
”Ujungnya, malah bisa memperkeras pandangan (antivaksin) mereka,” kata I\'im beberapa waktu lalu. Menurut dia, masyarakat antivaksin perlu diberikan sumber-sumber informasi otoritatif yang belum pernah mereka baca.
Penerimaan masih rendah
Seperti yang diketahui, dalam beberapa pekan terakhir, sejumlah kisah sukses pengembangan bakal vaksin Covid-19 ramai diberitakan. Vaksin yang dikembangkan perusahaan farmasi besar Pfizer bersama firma biotek Jerman BioNTech mencapai efikasi sekitar 95 persen. Pada Rabu (2/12/2020) Pemerintah Inggris menyetujui penggunaan vaksin tersebut dan akan segera dibagikan ke jaringan rumah sakit di negara tersebut.
Dua vaksin lain, seperti yang dikembangkan AstraZeneca-Universitas Oxford Inggris dan Moderna pun telah masuk dalam proses persetujuan penggunaan darurat. Kesuksesan eradikasi sebuah penyakit ditentukan oleh seberapa besar proporsi populasi yang menerima vaksinasi.
Beberapa waktu lalu, pakar biostatistik dan epidemiolog Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) Iwan Ariawan mengatakan, vaksin Covid-19 minimal harus memilik iefikasi lebih dari 50 persen. Jika sebuah vaksin memiliki efikasi 70 persen artinya, 70-80 persen masyarakat harus bersedia divaksinasi.
Baca juga: Efikasi 94,5 Persen, Kabar Baik dari Vaksin Covid-19 Buatan Moderna
Padahal, penerimaan vaksin di Indonesia dinilai masih rendah, berdasarkan survei yang dilakukan Laporcovid-19 menunjukkan bahwa hanya 31 persen yang menyatakan bersedia menerima vaksin Sinovac-Biofarma dan 44 persen yang bersedia menerima vaksin Merah Putih (Kompas.id, 14/10/2020).
Survei yang merupakan hasil kerja sama dengan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (UI), Magister Manajemen Bencana UPN Veteran Yogyakarta, dan Forum Perguruan Tinggi untuk Pengurangan Risiko Bencana (FPT PRB) pada Oktober lalu tersebut menghimpun pendapat dari 2.109 responden daring.
Kekhawatiran ini juga membuat raksasa media sosial Facebook memutuskan untuk meningkatkan proses moderasi pada platformnya terkait hoaks Covid-19, khususnya mengenai vaksin.
Head of Health Facebook Kang-Xing Jin mengatakan, atas dasar perkembangan pemberitaan bahwa vaksin Covid-19 mulai digunakan, perusahaannya akan menurunkan postingan yang menyampaikan klaim tidak benar terkait dengan vaksin.
Baca juga: Penerimaan terhadap Vaksin Covid-19 Masih Rendah
”Contohnya, kami akan mulai menurunkan postingan yang menyebut bahwa vaksin Covid-19 mengandung microchip, atau apa pun yang sebetulnya tidak terdapat dalam komposisi vaksin tersebut,” kata Jin dalam keterangan resminya Kamis malam.
Jin mengatakan, pihaknya juga akan melarang penyebaran teori konspirasi vaksin Covid-19 yang sudah dipastikan sebagai hoaks seperti pengujicobaan kandidat vaksin Covid-19 tanpa sepengetahuan masyarakat.
Meski demikian, kebijakan ini tidak akan langsung berjalan dan akan diterapkan secara bertahap sesuai dengan perkembangan fakta mengenai vaksin Covid-19. ”Karena saat ini semua masih di masa awal (proses vaksinasi Covid-19) dan fakta mengenai vaksin terus berkembang, kami akan terus memperbarui kebijakan kami sesuai dengan panduan dari otoritas kesehatan," kata Jin.
Mengubah DNA manusia
Selain hoaks kandungan garam aluminium pada vaksin, hoaks mengenai vaksin lain yang telah populer di masyarakat, menurut Mafindo, adalah pesan berantai WhatsApp yang mengklaim bahwa vaksin Covid-19 mengandung zat berbahaya. Disebut hal ini sampai menyebabkan Pemerintah Korea Selatan ”kelabakan”.
Pesan itu mengimbau pemimpin organisasi masyarakat mengajak masyarakat tidak mengikuti program vaksinasi Covid-19. ”Karena itu, tolong firalkan (dengan ’f’) video penjelasan tentang dampak bahayanya setelah orang disuntik dengan vaksin Covid-19, justru akan mengakibatkan semakin mengganasnya virus Covid-19 yang ujungnya akan bisa mengakibatkan kematian kepada orang yang telah disuntik vaksin,” bunyi pesan tersebut.
Lalu juga ada hoaks yang mengklaim vaksin berbasis mRNA, seperti yang dikembangkan Moderna dan Pfizer, dapat mengubah rangkaian DNA manusia. Sejumlah pakar dari dalam maupun luar negeri telah membantah klaim tanpa dasar tersebut.
Mengutip keterangan Mafindo, dari Pusat Penelitian Federal untuk Vaksin dan Biomedis Jerman hingga lembaga Alliance for Science dari Cornell University AS, menyebut bahwa vaksin mRNA tidak dapat mengubah susunan kode genetik DNA manusia.