Masyarakat diimbau agar tetap menerapkan protokol kesehatan dan berada di rumah selama libur panjang akhir tahun. Itu bertujuan menekan mobilitas warga antarkota yang bisa memicu lonjakan kasus penularan Covid-19.
Oleh
Ahmad Arif
·2 menit baca
Penularan Covid-19 meluas di masyarakat. Membanjirnya pasien penyakit yang disebabkan virus korona tipe baru itu membuat rumah sakit semakin penuh. Karena itu, masyarakat diharapkan menegakkan protokol kesehatan dan tetap berada di rumah selama libur panjang mendatang.
”Kami meminta dukungan dari kepala keluarga dan tokoh masyarakat untuk terus mengingatkan anggota keluarga dan masyarakat agar disiplin jaga jarak dan menghindari kerumunan. Terutama menjelang libur panjang, sebaiknya di rumah saja,” kata Kepala Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Doni Monardo, di Jakarta, Selasa (15/12/2020).
Menurut dia, situasi penularan saat ini meningkat. Data Satgas Penanganan Covid-19, kasus harian di Indonesia bertambah 6.120 dalam sehari sehingga total menjadi 629.429 kasus. Sementara korban jiwa bertambah 155 orang sehingga total menjadi 19.111 orang.
Penambahan kasus baru didapatkan dari pemeriksaan terhadap 38.849 orang sehingga rasio kasus positif sebanyak 15,7 persen, jauh lebih tinggi dari ambang yang disarankan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebesar 5 persen. Sementara rasio kasus positif dalam sepekan 18,2 persen. Tingginya rasio kasus positif menandai tingginya penularan dan kurangnya jumlah pemeriksaan.
DKI Jakarta masih mendominasi jumlah pemeriksaan, yakni mencapai 11.536 orang atau 30 persen dari total orang yang diperiksa di Indonesia. Dengan jumlah pemeriksaan ini, tingkat rasio positif di Jakarta dalam sepekan 9,8 persen.
Keterbatasan tes
Doni mengatakan, jumlah tes di Jakarta saat ini rata-rata sudah delapan kali lipat dari ambang minimal yang disarankan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) 1 per 1.000 orang per minggu atau sekitar 38.500 orang per hari. Namun, di sisi lain, banyak daerah lain belum memenuhi standar minimal.
Menjelang libur panjang, sebaiknya di rumah saja.
Menurut Doni, pemeriksaan dibutuhkan dalam penanggulangan pandemi ini. Namun, biaya tes sangat mahal. Oleh karena itu, menurut Doni, daerah sebaiknya menetapkan standar minimal pemeriksaan dan menetapkan standar maksimalnya.
”Kita harus berhemat tes. Kalau semua daerah menggunakan standar Jakarta, akan sulit dilakukan karena kita mengalami keterbatasan dana. Untuk satu kali tes swab biayanya Rp 900.000, APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) serta APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Dareah) tidak akan cukup. Kecuali tes dilakukan secara mandiri,” katanya.
Untuk mendukung pemeriksaan, saat ini kemungkinan penggunaan tes cepat antigen sedang dievaluasi. ”Tes antigen hanya untuk skrining, misalnya sarat perjalanan untuk menggantikan tes antibodi. Namun, tes antigen belum bisa dipakai untuk diagnosa,” ujarnya.
Epidemiolog Griffith University, Dicky Budiman, mengatakan, jumlah pemeriksaan 1 per 1.000 orang per minggu hanya jika rasio kasus positif kita 5 persen. Namun, karena rasio kasus positif di Indonesia amat tinggi, target pemeriksaan harus ditingkatkan sehingga seharusnya tidak ada alasan untuk mengurangi atau menghemat tes.