Jepang Setelah Delapan Tahun Diterjang Tsunami…
Masao Takeda, lelaki berusia 70 tahun itu, menangis saat mengenang sang istri yang tewas diterjang tsunami di Kota Higashi Matsushima, Prefektur Miyagi, Jepang, 11 Maret 2011 silam. “Sekarang saya merasa kesepian,” ujar Takeda sembari menyeka air mata.
Takeda masih trauma dengan tsunami yang meluluhlantakkan Kota Higashi Matsushima. Tempat tinggalnya di Distrik Nobiru, Higashi Matsushima, turut dilumat gelombang setinggi lebih dari 10 meter. Tsunami yang menghantam bagian utara Jepang itu dipicu gempa berkekuatan 9.0 magnitudo yang mengguncang Samudera Pasifik dengan episentrum sekitar 129 kilometer bagian timur dari Prefektur Miyagi.
Memori tentang sang istri selalu membayangi benak Takeda. Bertahun-tahun sejak tsunami melanda, Takeda masih kerap menyisihkan sebagian hidangan makanan untuk diletakkan depan foto istrinya. Dia teringat masakan sang istri yang selalu memanjakan lidah.
Ketika terjadi gempa besar yang mengguncang Higashi Matsushima, Takeda dan istrinya bergegas lari menyelamatkan diri menuju sebuah pusat kegiatan masyarakat di Nobiru yang letaknya menjauhi pantai. Mereka khawatir gempa besar itu akan disusul terjangan tsunami.
Namun, istri Takeda malah kembali lagi ke rumah untuk mengambil anjing peliharaan mereka. Tak lama, tsunami memporakporandakan Higashi Matsushima dan istri Takeda tak persah terlihat lagi. “Saya menyesal tidak menghentikan dia. Jika ada bencana seperti tsunami dan anda sudah menyelamatkan diri, jangan pernah kembali ke rumah dengan alasan apapun,” kata Takeda berpesan.
Cuplikan wawancara dengan Masao Takeda itu ditayangkan di sebuah layar lebar di lantai dua Museum Peringatan Pemulihan Bencana Tsunami di Nobiru, Kota Higashi Matsushima, akhir April 2019. Museum dua lantai itu dibangun berdampingan dengan Stasiun Higashi Matsushima lama, yang sudah tidak beroperasi dan beralih fungsi untuk memperingati tsunami.
Ketika Jepang bagian utara dilanda tsunami 11 Maret 2011, setidaknya 19.667 orang tewas dan 2.566 orang hilang. Di Higashi Matsushima, terdapat 1.109 orang meninggal dan 24 orang hilang. “Sekitar 65 persen dari wilayah kota terendam air akibat tsunami,” ujar Takafumi Kawaguchi, Kepala Rekonstruksi Bencana Higashi Matsushima, dalam wawancara dengan Kompas di Balai Kota Higashi Matsushima, akhir April lalu.
Pemerintah daerah dan masyarakat bergerak cepat. Relawan dan otoritas bahu membahu mencari dan menyelamatkan korban, membangun lokasi pengungsian, dan menyingkirkan puing-puing reruntuhan. Solidaritas atas nama kemanusiaan menguat akibat bencana.
Berbasis mitigasi
Sebulan pascatsunami, Higashi Matsushima mulai berbenah dengan melakukan rekonstruksi. Kota seluas 101,86 kilometer persegi tersebut ditata ulang dengan berbasis mitigasi bencana. Mereka benar-benar belajar dari bencana yang mereka alami.
Pada pertengahan April 2011, Pemerintah Kota Higashi Matsushima mencanangkan pembangunan kembali dengan slogan “Build Back Better” atau membangun kota kembali dengan kondisi lebih baik. Segala aspek kebencanaan dipertimbangkan dengan matang.
Pemerintah membuat rencana rekonstruksi dengan mengumpulkan masyarakat di balai-balai desa, terutama terkait dengan rencana relokasi warga. “Proses ini harus kami lalui agar tidak ada masalah ke depan,” tutur Wali Kota Higashi Matsushima Iwao Atshumi.
Warga korban bencana direlokasi ke tempat yang lebih tinggi menjauhi garis pantai dengan diberikan tanah cuma-cuma. Atas kesepakatan bersama, tanah lama milik warga yang masuk zona rawan bencana dibeli negara sehingga warga dapat membangun rumah di kawasan relokasi.
Pada Desember 2011, pemerintah menetapkan kebijakan rekonstruksi bencana untuk pembangunan Higashi Matsushima selama 10 tahun atau hingga 2020. Perumusan rekonstruksi tersebut melibatkan 2.000 warga setempat dengan memfokuskan pada kebijakan dasar, bidang kajian, dan wilayah terdampak. Rencana tata ruang disusun ulang dengan berorientasi pada mitigasi bencana.
Kini, tidak lagi tampak puing-puing yang berserakan, bangunan mangkrak, atau vegetasi yang mati. Jejak kehadiran tsunami di kota ini hanya dapat dilihat di museum peringatan tsunami dan stasiun kereta api lama yang dipugar.
Kini, tidak lagi tampak puing-puing yang berserakan, bangunan mangkrak, atau vegetasi yang mati.
Kawaguchi mengakui, ada beberapa hal yang menjadi dasar kebijakan untuk membangun kembali Higashi Matsushima yakni, kota yang nyaman dihuni dan kuat terhadap bencana alam, kota yang tenteram dan damai, serta kota yang membesarkan industri dan menciptakan lapangan pekerjaan. “Rekonstruksi kami canangkan selama lima tahun dan pengembangan kota pada lima tahun berikutnya,” kata Kawaguchi.
Tidak hanya di Higashi Matsushima, pemerintah daerah lain yang berada di Prefektur Miyagi juga berjuang untuk membangun kembali wilayahnya yang tersapu tsunami, seperti Kota Onagawa dan Sendai. Pembangunan kota yang sebelumnya porak poranda berorientasi pada mitigasi tsunami.
Berkaca dari Jepang
Atas undangan Japan International Cooperation Agency (JICA), sejumlah perumus kebijakan di Indonesia dan dua jurnalis, termasuk Kompas, diajak menyaksikan bagaimana kota-kota di Jepang yang terdampak tsunami tersebut telah terbangun kembali dengan mengedepankan mitigasi.
Lembaga yang diundang antara lain, dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Kementerian Agraria dan Tata Ruang, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Pemerintah Kota Palu, Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah, dan akademisi. Harapannya, upaya rekonstruksi di daerah yag terdampak bencana di Indonesia dapat berkaca dari Jepang.
Di Onagawa misalnya, kota ditata lebih menawan dengan memisah antara permukiman warga, pusat ekonomi, dan perkantoran pemerintah. ”Rencana tata kota yang baru berbasis pada mitigasi. Kami menentukan desain dan tata ruang kemudian mendengarkan aspirasi masyarakat,” ujar Wali Kota Onagawa Yoshiaki Suda.
Tingkat kerusakan di wilayah seluas 65,8 kilometer persegi tersebut mencapai 85 persen akibat tsunami. Sebanyak 4.300 bangunan hancur dan 827 orang meninggal. Usai bencana, masyarakat yang tinggal di kawasan terdampak bencana direlokasi ke tempat yang lebih tinggi. Kawasan permukiman berada di ketinggian melebihi 15 meter dari permukaan laut, sedangkan area komersial dan jalanan kota berada sekitar 5,4 meter dari permukaan laut.
Pemerintah Kota Onagawa membutuhkan delapan tahun untuk membangun kembali wilayahnya secara utuh. Berdasarkan data Divisi Rekonstruksi dan Promosi Kota Onagawa, penataan kota dibagi dalam tiga tahap, yaitu pembangunan kawasan perumahan, perkantoran pemerintah dan area komersial, serta pelabuhan.
Pembangunan di Kota Sendai juga tak jauh berbeda. Ibu Kota Prefektur Miyagi tersebut mengosongkan lima kilometer dari garis pantai untuk permukiman. Hunian warga dan bangunan bisnis dipindahkan. Hanya sebuah sekolah dasar yang dijadikan sebagai monumen peringatan tsunami yang dibiarkan berdiri di dekat pesisir.
Seusai melihat apa yang dilakukan Jepang, Direktur Daerah Tertinggal, Transmigrasi, dan Pedesaan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Velix Wanggai mengatakan, sebagai negara yang sama-sama rawan bencana alam, Indonesia dan Jepang menjalin kerja sama untuk rekonstruksi bencana alam.
“Kita belajar dari Jepang tentang bagaimana penataan kerangka perencanan wilayah dengan berorientasi pada mitigasi kebencanaan. Itu menjadi hal yang penting,” tutur Velix.
Kita belajar dari Jepang tentang bagaimana penataan kerangka perencanan wilayah dengan berorientasi pada mitigasi kebencanaan.
Wali Kota Palu Hidayat pun terkesima dengan cara kota-kota di Jepang bangkit dari bencana. Ibu Kota Sulawesi Tengah yang juga dihantam bencana gempa, tsunami, dan likuefaksi pada akhir September 2018 silam kini memasuki fase rekonstruksi.
Hidayat berharap dapat memperoleh banyak pengetahuan melalui kunjungan ke Jepang tersebut. Dalam upaya rehabilitasi dan rekonstruksi bencana di Palu, Hidayat mengakui masih terkendala masalah sosial, seperti warga yang menolak untuk direlokasi. ”Direncanakan, ada 6.000 keluarga yang harus direlokasi dari lokasi terdampak bencana. Namun, saat ini sebagian besar masih menolak,” ujar Hidayat.
Staf Ahli Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Bidang Keterpaduan Pembangunan Achmad Gani Ghazaly Akman mengatakan, cara Jepang dalam melindungi kota dari tsunami dengan pertahanan berlapis juga akan diterapkan di Palu, Sulawesi Tengah.
Lebih elok
Delapan tahun pasca tsunami, Higashi Matsushima, Onagawa, dan Sendai tidak hanya sekadar kembali terbangun tetapi menjelma menjadi lebih elok. Pepohonan menghijau, bunga Sakura kembali bermekaran saat musim semi, dan detak ekonomi warga menggeliat.
”Kami bahkan membangun jalan dengan memperhitungkan arah matahari terbit karena dapat menarik wisatawan saat pergantian tahun,” ucap Yoshiaki Suda dalam mempertimbangkan penataan Onagawa.
Permukiman, perkantoran, ruang publik, hingga pusat ekonomi ditata dengan berdasarkan sistem zonasi mempertimbangkan gempa dan kehadiran tsunami. Tidak hanya itu, untuk menahan terpaan tsunami dengan ketinggian hingga 15 meter yang sewaktu-waktu bisa datang kembali, tanggul laut dan tanggul alami dibangun dengan sistem pertahanan berlapis.
Dengan sejumlah proses rekonstruksi yang dilalui, kota-kota yang awalnya terdampak tsunami paling parah ini benar-benar bertransformasi menjadi kota yang aman dari bencana dan layak huni. Jepang membuktikan telah mempersiapkan diri.
Para pembuat kebijakan di Jepang menyadari bahwa penanggulangan bencana tidak sekadar mengevakuasi korban, menyediakan shelter, atau membangun kembali daerah yang rusak terpapar bencana. Lebih dari itu, tata ruang pun perlu berorientasi pada mitigasi.
Ketika berbicara dalam diskusi di Higashi Matsushima, Direktur Perwakilan JICA di Indonesia Shinichi Yamanaka berkelakar. Penanggulangan bencana tidak seperti tokoh kartun Doraemon yang memiliki pintu kemana saja. Sebab, tidak ada jalan pintas dalam menanggulangi bencana.
Jepang sudah membuktikan kata-kata itu. Delapan tahun pascatsunami, kota-kota di Jepang telah berbenah diri dan menunjukkan keseriusan dalam mitigasi bencana. Tak pelak, mitigasi bencana adalah kunci untuk meminimalkan jatuhnya korban jiwa dan kerusakan ekonomi.