Pangeran Mohammed bin Salman dan Arah Kebijakan Baru Arab Saudi
Wawancara Putra Mahkota Arab Saudi Pangeran Mohammed bin Salman dengan stasiun televisi Amerika Serikat, CBS, Minggu (29/9/2019), serta-merta menjadi deklarasi arah kebijakan baru Arab Saudi yang lebih kompromis.
Dalam wawancara itu, menanggapi serangan terhadap kilang minyak Aramco di Abqaiq dan Khurais, 14 September, Pangeran Mohammed bin Salman atau biasa disebut MBS, di luar dugaan, lebih memilih opsi politik daripada opsi militer atas Iran. Padahal, Arab Saudi terang-terangan menuduh Iran di balik serangan itu.
MBS dalam wawancara tersebut secara mengejutkan juga menyambut positif tawaran gencatan senjata dari kelompok Houthi di Yaman. MBS mengatakan, tawaran kelompok Houthi merupakan langkah positif menuju dialog politik yang lebih serius, dan Arab Saudi terbuka terhadap semua usulan solusi politik di Yaman.
Dalam kasus tewasnya Jamal Khashoggi, MBS mengklaim tidak mengeluarkan perintah untuk membunuh wartawan senior asal Arab Saudi itu. Namun, ia sebagai pemimpin menyatakan bertanggung jawab secara moral atas kasus pembunuhan itu dan berjanji kasus seperti itu tidak terulang lagi.
MBS melalui wawancara itu ingin memberi pesan kepada keluarga besar Al-Saud yang berkuasa, publik Arab Saudi, komunitas regional, dan internasional bahwa ia adalah pemimpin yang layak memimpin Arab Saudi saat ini dan di masa depan. Ia ingin meyakinkan, Arab Saudi di masa datang akan menerapkan kebijakan yang akomodatif, kompromis, dan tidak konfrontatif.
Baca juga: Arab Saudi Tidak Mau Perang
Citra lama
Selama ini opini yang berkembang adalah MBS berada di balik serangan koalisi Arab pimpinan Arab Saudi atas Yaman pada Maret 2015 dan kasus pembunuhan Khashoggi di konsulat Arab Saudi di Istanbul, Turki, 2 Oktober 2018.
Akibat perang Yaman dan kasus tewasnya Khashoggi, citra Arab Saudi terpuruk dan posisi MBS pun sangat sulit. Posisinya semakin sulit setelah serangan pesawat nirawak dan rudal jelajah atas kilang Aramco. Keluarga besar Al-Saud pun disinyalir mulai cemas atas masa depan Arab Saudi di bawah kepemimpinan MBS.
Pasalnya, Aramco adalah sumber pendapatan utama Arab Saudi sekaligus keluarga besar Al-Saud yang berkuasa. Bagi mereka, ancaman terhadap Aramco adalah ancaman terhadap masa depan sumber pendapatan dan kekuasaan keluarga Al-Saud di Arab Saudi.
Karena itu, bagi keluarga besar Al-Saud, keamanan Aramco adalah harga mati yang harus dijaga berapa pun harganya. Bahkan, setelah serangan atas Aramco itu, sebagian dari keluarga besar Al-Saud menggulirkan wacana Pangeran Ahmed bin Abdulaziz (77) bisa menggantikan MBS sebagai putra mahkota.
Ahmed bin Abdulaziz kini adalah satu-satunya saudara Raja Salman yang masih hidup. Dalam kesepahaman tidak tertulis di keluarga besar Al-Saud, suksesi kekuasaan di Arab Saudi dilakukan di antara putra pendiri negara Arab Saudi, Raja Abdulaziz. Namun, Raja Salman menyimpang dari kesepahaman itu dengan menunjuk putranya, MBS, sebagai putra mahkota sekaligus pewaris takhtanya.
Baca juga: Suksesi di Arab Saudi Jadi Perhatian
Catatan MBS
MBS tampaknya mendeteksi keresahan di lingkungan keluarga besar Al-Saud tersebut. Ia pun mengambil langkah cerdas dengan memilih opsi politik melawan Iran untuk meredam keresahan di lingkungan keluarga besar Al-Saud itu.
MBS rupanya sudah memiliki kalkulasi, masa depan kekuasaannya ditentukan model kebijakan dalam melawan Iran dan kaukusnya. Bagi MBS, perang melawan Iran berisiko besar. Selain bisa membuyarkan megaproyek visi Arab Saudi 2030, perang melawan Iran juga menggagalkan impiannya menggantikan Raja Salman.
MBS sudah memiliki kalkulasi, masa depan kekuasaannya ditentukan model kebijakan dalam melawan Iran dan kaukusnya. Selain bisa membuyarkan megaproyek visi Arab Saudi 2030, perang melawan Iran juga menggagalkan impiannya menggantikan Raja Salman.
MBS membaca, serangan atas kilang Aramco memunculkan keresahan di lingkungan keluarga besar Al-Saud. Jika terjadi perang melawan Iran, situasi itu bisa mempertaruhkan kekuasaan Al-Saud. Selain itu, MBS membaca, komunitas regional dan internasional, khususnya AS, juga tidak menginginkan perang melawan Iran dan cenderung memilih opsi politik.
Arab Saudi tergantung pada AS jika mengobarkan perang melawan Iran. Sejauh ini AS tidak memberi reaksi apa-apa atas serangan terhadap Aramco. Presiden AS Donald Trump tampak tidak mau mengambil risiko besar dengan mengobarkan perang terhadap Iran sebelum pemilihan presiden AS pada akhir 2020. Negara-negara Arab Teluk, kecuali Bahrain, juga tidak menghendaki perang melawan Iran.
Uni Emirat Arab yang merupakan sahabat terdekat Arab Saudi justru makin dekat dengan Iran. Di Yaman, Uni Emirat Arab justru pecah kongsi dengan Arab Saudi. Sementara itu, Kuwait dan Kesultanan Oman dikenal dekat dengan Iran. Qatar setelah konflik dengan Arab Saudi menyusul blokade total kuartet Arab (Arab Saudi, UEA, Bahrain, dan Mesir) praktis masuk dalam barisan Iran.
Baca juga: Pangeran Bin Salman Galang Dukungan Kawasan
Arab Saudi pun kini merasa sendirian atau terisolasi dalam menghadapi Iran, tanpa dukungan regional dan internasional. Selain itu, Arab Saudi juga terus mengalami tekanan psikologis akibat kasus tewasnya Khashoggi. Menjelang akhir tahun ini, Arab Saudi tampak semakin terjepit. Kasus Khashoggi menghangat lagi jelang peringatan satu tahun tewasnya wartawan senior itu.
Media internasional dan pegiat hak asasi manusia di sejumlah negara pekan ini menggemakan kembali kasus tewasnya Khashoggi. Tentu hal itu sangat memukul posisi Arab Saudi. Sosok Khashoggi seakan-akan terus memburunya.
Arah baru
Kondisi-kondisi seperti itulah yang memaksa Arab Saudi kini seperti berbalik arah. Secara politis, MBS memilih meredakan ketegangan dengan membuka peluang dialog dengan Iran dan kaukusnya. Latar belakang itulah yang memicu beredarnya berita tentang keinginan Arab Saudi mencari mediator untuk membuka perundingan dengan Iran dan kaukusnya.
Wakil Menteri Pertahanan Arab Saudi Pangeran Khaled bin Salman melalui akun Twitter-nya, Kamis (3/10/2019), menyambut positif tawaran Houthi melakukan gencatan senjata di Yaman. Perdana Menteri Pakistan Imran Khan di sela Sidang Umum PBB di New York pekan lalu secara mengejutkan mengungkapkan telah mendapat permintaan dari MBS dan Presiden Trump agar Pakistan bisa menjadi mediator antara Arab Saudi dan Iran.
PM Irak Adil Abdul-Mahdi yang mengunjungi Arab Saudi pada 25 September juga mengungkapkan telah mendapat respons positif dari Raja Salman dan MBS untuk kemungkinan Irak menjadi mediator antara Iran dan Arab Saudi. Jubir Pemerintah Iran, Ali Rabiei, mengklaim, Teheran telah mendapat pesan positif dari MBS melalui negara ketiga. Kemungkinan besar, negara ketiga yang dimaksud Ali Rabiei adalah Irak atau Pakistan.
Itulah gambaran perubahan dramatis dalam kebijakan Arab Saudi yang digalang MBS dalam upaya keluar dari posisi sulitnya saat ini.