Para demonstran mengubah cara melancarkan protes dan unjuk rasa dengan menggelar aksi budaya. Lapangan Tahrir, salah satu lokasi utama unjuk rasa, kini mendadak berubah menjadi seperti pusat seni di Irak.
Oleh
ELOK DYAH MESSWATI
·4 menit baca
Unjuk rasa antipemerintah di Baghdad dan kota-kota di wilayah selatan Irak memasuki bulan ketiga. Para demonstran tak hanya berunjuk rasa dengan cara turun ke jalan. Mereka pun mengubah cara melancarkan protes. Kali ini, mereka menggelar aksi budaya, seperti drama, lukisan, puisi, dan sastra, seperti terlihat pada Selasa (3/12/2019) di Lapangan Tahrir di Baghdad, Irak.
Lapangan Tahrir, salah satu lokasi utama unjuk rasa, kini mendadak berubah menjadi seperti pusat seni di Irak. Di Negeri Seribu Satu Malam ini, unjuk rasa dengan cara seperti itu tidak lazim. Kebebasan berekspresi merupakan hal langka di Irak. Masih banyak suku konservatif, pasukan paramiliter, dan politisi yang berusaha memadamkan aksi demonstrasi dan kritikan terhadap pemerintah.
”Ini kementerian kebudayaan mini,” kata Muslim Habib, sutradara muda asal Baghdad.
Setiap hari menjelang senja, Habib memasang proyektor kecil di sebuah tenda yang didirikannya di Lapangan Tahrir. Tendanya ditandai dengan spanduk besar bertuliskan ”Teater Revolusi”.
Di dalam tenda, Habib memutar film-film dokumenter, film pendek, dan karya-karya seniman Irak, baik di dalam maupun luar negeri. Dia berharap juga bisa segera menampilkan film-film revolusi di Ukraina, Mesir, atau Suriah.
Barisan kursi di tenda Habib meluber hingga keluar tenda dan mencapai trotoar. Setiap malam, area tendanya pun penuh sesak oleh kaum tua dan muda, laki-laki dan perempuan, pengunjuk rasa, dan penonton yang ingin menonton film-film yang diputar Habib di tendanya.
Drama teatrikal
Selain dengan pemutaran film, aksi budaya itu juga diisi dengan drama teatrikal yang menampilkan demontrasi dan penanganan represif oleh aparat keamanan. Dalam drama itu digambarkan suasana suara tembakan di seluruh kamp aksi demonstrasi. Tubuh-tubuh berlumuran darah bergelimpangan di trotoar jalan. Ban-ban dibakar, mengeluarkan asap yang membuat pedih mata.
Drama teatrikal itu merupakan salah satu bentuk perlawanan warga Irak melalui budaya.
Drama teatrikal itu merupakan salah satu bentuk perlawanan warga Irak melalui budaya. Mereka sudah muak terhadap pemerintah yang dinilai korup, buruk dalam pelayanan publik, dan tak mampu menciptakan lapangan pekerjaan hingga banyak pengangguran muda di negeri itu.
Mereka mengekspresikan kemarahan karena aksi demonstrasi selama tiga bulan terakhir di Baghdad dan kota-kota di wilayah Selatan Irak telah mengakibatkan 430 orang tewas dan 20.000 orang cedera. Lewat drama tersebut, mereka merekonstruksi bagaimana korban-korban dalam demontrasi berjatuhan.
Sebagian dari pemain drama berperan sebagai demonstran yang menentang korupsi dan kurangnya lapangan pekerjaan di Irak. Sebagian merekam aksi budaya itu dengan video dan menyiarkannya secara langsung di media sosial.
Tiba-tiba, para aktor pun terjerembap ke tanah, tak bergerak di bawah tembakan gas air mata dan desingan peluru. Para aktor itu secara bergiliran menceritakan kisah ”martir” masing-masing. Mereka meliuk-liuk di antara para penonton yang terpana. Di tangan mereka terbentang kain tiga warna bendera Irak yang berlabel nama-nama kota tempat ratusan warga Irak tewas dalam unjuk rasa selama tiga bulan.
Untuk menjawab tewasnya ratusan demonstran Irak tersebut, salah satu aktor drama kolosal bernama Ali Issam (30) mengatakan bahwa seni adalah jawaban atas kekerasan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap para demonstran. ”Seni akhirnya memainkan peran yang sebenarnya: membawa suara Irak,” kata Issam.
Aksi penyair dan pelukis
Di seberang Lapangan Tahrir, para penyair tak ketinggalan beraksi. Mereka membacakan puisi-puisi revolusioner terbaru karya mereka, sementara kelompok-kelompok kecil terpisah memperdebatkan politik dan filsafat. Para musisi atau pengamen meramaikan jalan-jalan dengan nyanyian mereka, sedangkan para pelukis melukis dinding-dinding dengan mural-mural ukuran besar dan ”kaligrafi”, perpaduan grafiti dan kaligrafi Arab.
Aksi budaya juga digelar di ”restoran Turki” yang terletak di sebuah gedung berlantai 18. Gedung ini sudah dikuasai pengunjuk rasa selama dua bulan terakhir. Selama puluhan tahun, gedung itu dibiarkan kosong.
Perpustakaan 24 jam juga dibuka di garasi lantai dasar gedung itu. Ini merupakan pemandangan langka di Irak. Saat ini hanya 50 persen orang dewasa Irak yang bisa membaca. Sisanya masih belum melek baca. Data ini cukup ironis jika mengingat masa lalu Irak sebagai pusat sastra.
Perpustakaan tersebut penuh dengan puluhan buku-buku bekas, mulai dari novel Amerika yang diterjemahkan, esai politik, hingga novel roman dan karya-karya teologis. ”Inilah budaya,” kata Mustafa, manajer sukarelawan berusia 20 tahun yang mengaku menyukai novel-novel Dan Brown.
Dengan sebuah buku di tangannya, Mustafa mengatakan bahwa dia berhenti bersekolah pada usia muda karena saat itu dia harus bekerja memenuhi kebutuhan orangtuanya. Sekarang dia sudah menikah dan sempat bekerja di sebuah percetakan. Namun, sekarang Mustafa menjajakan botol-botol air dingin di jalanan Baghdad.
”Membaca adalah cara saya melanjutkan pendidikan saya. Ini adalah bukti bahwa kita terjaga, kita memahami apa yang terjadi, dan kita berusaha untuk berhasil,” kata Mustafa. (AFP)