China Sulit Hapus Pola Konsumsi Satwa Liar, Mungkinkah Covid-19 Dikendalikan?
Sejak Januari, Pemerintah China menutup semua pasar yang menjual satwa liar dan memperingatkan risiko konsumsi satwa liar pada kesehatan. Namun, itu tak akan mampu mengubah kebiasaan warga China mengonsumsi satwa liar.
Oleh
Luki Aulia
·5 menit baca
Selama dua pekan terakhir, aparat kepolisian di seluruh wilayah China sibuk merazia segala jenis pasar, restoran, warung makan, sampai ke rumah-rumah warga. Hasilnya, sekitar 700 orang ditahan karena melanggar aturan sementara yang melarang penangkapan, penjualan, atau konsumsi satwa liar. Kepolisian juga menyita sedikitnya 40.000 satwa liar, termasuk di antaranya tupai, musang, dan babi hutan.
Kalau dilihat dari banyaknya satwa liar yang disita, sulit rasanya menghilangkan kebiasaan masyarakat China mengonsumsi satwa liar sebagai obat. Padahal, satwa liar atau bagian dari tubuh satwa liar itulah yang diduga ada kaitan dengan virus korona jenis baru (Covid-19).
Selama ini di China satwa liar bisa dibeli dengan mudah di pasar. Apa saja ada dan boleh. Mulai dari buaya, rusa, keledai, anjing, sampai tikus juga ada. Pedagang yang menjual satwa itu di pasar tidak kapok disita dagangannya. Mereka akan tetap kembali jualan setelah pemerintah mencabut larangan sementara itu.
”Saya tetap akan jualan lagi. Orang senang beli satwa liar. Biasanya untuk dimakan sendiri atau diberikan ke orang lain sebagai hadiah,” kata Gong Jian yang berjualan satwa liar di toko daring (online) dan toko di Mongolia.
Agar stok daging buaya dan rusanya awet, Gong menyimpannya di lemari pendingin berukuran besar. Hanya tinggal itu dagangan Gong yang masih tersisa. Sebelumnya, Gong juga mempunyai banyak burung puyuh yang diternakkan dengan susah payah. Namun, semua harus dipotong karena tidak ada yang mau membeli telur puyuh lagi. Ia juga tidak bisa menyimpannya di lemari pendingin karena telur puyuh sudah tidak bisa dimakan setelah masuk lemari pendingin.
Konsumsi satwa liar di China ini menjadi sorotan karena peneliti menduga virus Covid-19 bisa menular ke manusia dari kelelawar melalui tenggiling, mamalia pemakan semut yang nilainya sangat tinggi dalam jajaran obat tradisional China. Dugaan satwa liar sebagai sumber virus itu muncul karena pada kasus-kasus awal ditemukan penderita yang terinfeksi setelah berada di pasar ikan Wuhan. Di pasar itu juga dijual kelelawar, ular, musang, dan satwa liar lainnya.
Sejak Januari lalu, Pemerintah China menutup semua pasar yang menjual satwa liar untuk sementara. Pemerintah China juga memperingatkan mengonsumsi satwa liar berisiko pada kesehatan. Namun, peringatan itu mungkin tidak akan mampu mengubah kebiasaan masyarakat China yang sudah sejak zaman dahulu mengonsumsi satwa liar. Apalagi, kebiasaan itu sudah menjadi bagian dari sejarah budaya mereka.
”Dalam pandangan banyak orang, binatang itu hidup untuk manusia. Bukan untuk hidup berdampingan dengan manusia,” kata Wang Song, peneliti ilmu hewan di Chinese Academy of Sciences.
Stop perdagangan
Kemunculan Covid-19 yang menewaskan sedikitnya 1.600 orang di China itu memunculkan perdebatan mengenai pemanfaatan satwa liar sebagai sumber makanan dan obat. Sebelumnya, perdebatan itu pernah muncul pada saat wabah SARS (severe acute respiratory syndrome) muncul tahun 2003. Waktu itu SARS juga diyakini menyebar sampai ke manusia dari kelelawar melalui musang.
Kalangan akademisi, ahli lingkungan, dan masyarakat China biasa banyak yang tergabung dalam kelompok konservasi internasional yang mendesak agar perdagangan satwa liar dilarang selamanya. Semua pasar yang menjual satwa liar juga didesak untuk ditutup.
Meski ada desakan dari banyak pihak, tetap saja ada warga yang mengonsumsi satwa liar karena diyakini akan membuat tubuh tetap sehat dan bisa panjang usia. Masalahnya lagi, pengembangbiakan dan penjualan satwa liar di China mendapat dukungan dari pemerintah dan mendatangkan banyak keuntungan bagi penjual.
Sebenarnya, setelah wabah SARS, Kantor Kehutanan dan Padang Rumput Nasional China (NFGA) sudah memperketat aturan bisnis satwa liar, menuntut semua peternakan mengantongi izin, dan mengeluarkan aturan untuk penjualan 54 jenis satwa liar, termasuk musang, kura-kura, dan buaya. Pemerintah hanya memberikan izin pengembangbiakan khusus bagi spesies yang terancam punah, seperti beruang, harimau, dan tenggiling, untuk kepentingan konservasi atau lingkungan hidup.
Menurut data pemerintah tahun 2016, produksi peternakan satwa liar menghasilkan keuntungan sedikitnya 20 miliar dollar AS per tahun. Peter Li, pakar kebijakan publik China di lembaga Humane Society International, mengatakan bahwa Departemen Kehutanan selama ini justru yang paling mendukung pemanfaatan satwa liar. ”Alasannya, China berhak memanfaatkan satwa liar untuk kepentingan pembangunan,” ujarnya.
Daerah miskin
Sebagian besar peternakan dan penjualan satwa liar berada di daerah perdesaan atau daerah miskin. Praktik jual beli satwa liar ini tidak dilarang, tetapi malah dianggap bisa mendorong perekonomian daerah.
Dari program acara TV saja sudah terlihat dengan banyaknya iklan yang menunjukkan orang sedang beternak satwa liar, termasuk tikus, untuk dijual atau dikonsumsi sendiri. Peternakan yang mendapat izin dari pemerintah dituding menjadi kedok perdagangan satwa liar ilegal. Satwa liar hanya diternakkan untuk dikonsumsi sebagai bahan makanan atau obat.
Bagian tubuh satwa liar, mulai dari empedu beruang sampai tenggiling, sampai sekarang masih digunakan sebagai bagian dari obat tradisional China. Ini sudah menjadi industri besar yang justru hendak dikembangkan oleh China. Namun, masalahnya, batasan antara legal dan ilegal itu tipis. PBB memperkirakan perdagangan satwa liar ilegal di dunia bernilai 23 miliar dollar AS per tahun dan China masih menjadi pasar terbesar di dunia.
Badan Investigasi Lingkungan (EIA), organisasi independen di London, Inggris, dalam laporannya menyebutkan bahwa karena ada wabah korona baru, perdagangan satwa liar ilegal yang lain, seperti cula badak, justru naik. Para pedagang China dan Laos menjual cula badak itu sebagai obat untuk menurunkan demam.
Kantor berita China, Xinhua, menyebutkan tahun ini Pemerintah China akan memperketat lagi aturan perdagangan satwa liar. ”Bisnis ini bisa turun. Sekarang tinggal sedikit orang yang mau makan anjing. Dulu, 20 tahun lalu, masih banyak yang makan,” kata Xiang Chengchuan, pemilik toko grosir satwa liar di Provinsi Anhui.
Xiang, yang juga menjual satwa liar seperti tanduk rusa, daging anjing, keledai, dan merak kepada pelanggannya, termasuk orang kaya, itu mengaku terpaksa memasukkan semua stok daging itu ke lemari pendingin. Belum ada yang bisa dijual karena ada larangan pemerintah. ”Saya akan tetap berjualan setelah pemerintah mencabut larangan itu. Namun, saya tidak tahu kapan,” ujarnya.