Jalan menuju damai di Afghanistan masih panjang dan terjal. Kesepakatan damai AS-Taliban di Doha, yang diharapkan menjadi awal proses damai, meninggalkan sejumlah ganjalan bagi terwujudnya perundingan intra-Afghanistan.
Oleh
Mahdi Muhammad
·5 menit baca
Hanya berselang enam jam setelah Presiden Amerika Serikat Donald Trump menelepon pemimpin politik kelompok Taliban, Mullah Abdul Ghani Baradar, Selasa (3/3/2020), bertegur sapa dalam suasana bersahabat setelah penandatanganan kesepakatan damai, militer Amerika Serikat menggelar serangan terhadap Taliban. Serangan itu dinyatakan sebagai balasan atas serangan Taliban pada militer Afghanistan, beberapa hari setelah perjanjian AS-Taliban ditandatangani.
Juru bicara militer AS di Afghanistan, Kolonel Sonny Leggett, mengatakan, serangan militer AS itu merupakan serangan defensif sebagai balasan atas serangan yang dilancarkan Taliban kepada pasukan Pemerintah Afghanistan di wilayah Nahr-e Saraj di bagian selatan Provinsi Helmand.
Legget menyebutkan, para anggota Taliban sebenarnya telah melancarkan 43 kali serangan terhadap militer Afghanistan di Helmand. Menurut juru bicara Pemerintah Provinsi Helmand, Omer Zwak, setidaknya dua polisi tewas dan seorang lainnya terluka dalam serangan tersebut.
Serangan demi serangan masih terus terjadi di beberapa wilayah di Afghanistan pascapenandatanganan kesepakatan damai AS-Taliban. Laporan militer dan polisi Afghanistan menyebutkan, lebih dari delapan anggota mereka di seluruh wilayah tewas akibat serangan tersebut. Adapun di kubu Taliban, setidaknya 10 orang tewas ketika kedua pihak saling serang.
Sejauh ini Taliban belum mengeluarkan pernyataan bahwa mereka adalah pihak yang bertanggung jawab atas serangan-serangan tersebut. Namun, juru bicara Taliban Zahibullah Mujahid kepada kantor berita AP, Rabu (4/3/2020), menyatakan, tenggat waktu pengurangan kekerasan yang sudah dimulai sejak 21 Februari 2020 telah berakhir pada Rabu dini hari.
Perbincangan hangat
Kondisi di lapangan berbeda ketika Presiden AS Donald Trump berbincang melalui telepon dengan Mullah Abdul Ghani Baradar, Selasa (3/3). Trump mengklaim, dirinya adalah presiden AS pertama yang berhubungan langsung dengan pemimpin kelompok Taliban sejak serangan 11 September.
”Pembicaraan yang terjadi antara kami dan pemimpin Taliban hari ini sangatlah menyenangkan. Mereka berharap kondisi ini (konflik) segera berakhir dan kami juga berniat mengakhiri (keberadaan AS) di Afghanistan. Saya pikir kami memiliki kepentingan yang sama,” kata Trump kepada wartawan di Washington DC, AS.
Percakapan via sambungan telepon tersebut berlangsung selama lebih kurang 35 menit dan merupakan bagian dari rangkaian upaya Trump untuk menarik seluruh pasukan AS dari Afghanistan. Penarikan sekitar 13.000 personel pasukan AS adalah bagian dari kesepakatan damai AS-Taliban, serta bagian dari upaya untuk melanjutkan perundingan di antara para pihak di dalam Afghanistan itu sendiri.
Perbincangan antara Trump dan Mullah Abdul Ghani Baradar, salah satu pendiri kelompok Taliban, diketahui dari serangkaian cuitan juru bicara Taliban, Zabiullah Mujahid, di media sosial. Diketahui juga, beberapa anggota tim negosiator Taliban serta perwakilan AS dalam negosiasi itu, yakni Zalmay Khalilzad, hadir ketika perbincangan itu terjadi.
Trump mengatakan, hubungan di antara kedua pihak sangat baik, antara dirinya dan para pemimpin Taliban. ”Kami berbincang cukup lama dan mereka menyatakan keinginannya untuk benar-benar mengakhiri kekerasan,” kata Trump.
Trump tidak hadir dalam penandatanganan kesepakatam yang berlangsung di Doha, Qatar, Sabtu (29/2/2020). Pemerintah AS diwakili Menteri Luar Negeri Mike Pompeo, yang menyaksikan secara langsung penandatanganan kesepakatan tersebut.
Substansi kesepakatan di antara kedua pihak, antara lain, penarikan 13.000 prajurit militer AS dari Afghanistan paling lama 14 bulan setelah Taliban memenuhi kewajibannya untuk tidak memberikan dukungan terhadap kelompok-kelompok teroris yang ingin menyerang Amerika Serikat dan sekutunya. Kewajiban lain Taliban kepada AS lainnya adalah mencegah Afghanistan menjadi surga bagi kelompok-kelompok teroris, termasuk di dalamnya Al Qaeda dan kelompok lain yang terkait ISIS.
Trump juga mengatakan, dirinya masih belum melihat apa yang akan dilakukan Pemerintah Afghanistan dan rakyatnya jika mereka menggelar perundingan dengan kelompok Taliban sebagai upaya menuju perdamaian yang sesungguhnya di Afghanistan. ”Seluruh rakyat Afghanistan harus berupaya agar konflik itu berakhir. Kami berada di sana selama 20 tahun dan beberapa presiden AS sebelumnya telah mengupayakan perdamaian. Mereka tidak pernah berhasil,” kata Trump.
Dalam perbincangan itu, Baradar tidak secara tegas menyatakan akan mematuhi isi kesepakatan tersebut. Sebaliknya, Baradar menyatakan, Taliban akan mematuhi dan melaksanakan isi perjanjian apabila Trump dan Pemerintah AS menghormati kesepakatan tersebut. Setelah itu, baru kemudian AS dan Taliban mungkin akan memiliki hubungan bilateral yang positif.
Dalam pernyataan yang dikeluarkan Gedung Putih, Baradar juga menyatakan kepada Trump agar Pemerintah AS segera menindaklanjuti isi kesepakatan tersebut. ”Jangan sampai siapa pun melakukan tindakan yang melanggar isi perjanjian dan membuat Anda terlibat lebih jauh pada sebuah konflik yang berkepanjangan,” kata Baradar dalam pernyataan yang dikeluarkan Gedung Putih tersebut.
Penolakan Ghani
Selang dua hari setelah kesepakatan damai itu terjadi, tantangan terhadap implementasi seluruh isi perjanjian muncul. Saling tukar pembebasan tawanan adalah bagian dalam kesepakatan penarikan mundur pasukan AS dari Afghanistan. Menurut kesepakatan itu, Pemerintah Afghanistan akan membebaskan hingga 5.000 tawanan Taliban pada 10 Maret ini. Namun, deklarasi AS-Afghanistan menyebutkan komitmen bahwa pemerintahan Kabul hanya ambil bagian dalam perundingan yang dimediasi AS tentang ”kemungkinan bisa dilaksanakannya” pembebasan tawanan itu.
Presiden Afghanistan terpilih Ashraf Ghani menolak melepaskan 5.000 anggota Taliban yang kini berada di penjara milik pemerintah. Sebagai imbal balik atas pembebasan tersebut, Taliban akan membebaskan 1.000 tawanan yang ada di tangan mereka. Ghani menilai pemerintahannya tak ikut serta merumuskan isi kesepakatan AS dan Taliban. Dia juga mengatakan, Trump tidak menyebutkan adanya kesepakatan tentang pembebasan tahanan sebagai bagian dari kesepakatan AS-Taliban.
”Delegasi Taliban tidak bertemu dengan delegasi Pemerintah (Afghanistan) di Qatar, tetapi otoritas-otoritas yang berwenang di kedua pihak dapat bertemu untuk membahas isu (pembebasan tawanan) itu,” ujar Suhail Shaheen, jubir kantor Taliban di Doha, Qatar, melalui cuitan di Twitter.
Di sisi lain, Taliban menganggap bahwa kesepakatan damai hanya terjadi antara AS dan Taliban. Adapun perlawanan terhadap pemerintah dan militer Afghanistan akan terus berlanjut. Jubir Taliban di Afghanistan, Zabihullah Mujahid, mengatakan kepada kantor berita Reuters bahwa pembebasan tawanan merupakan salah satu poin penting yang memakan waktu lama untuk disepakati negosiator AS dan Taliban.
Taliban menegaskan, pihaknya tak akan berunding dengan Pemerintah Afghanistan, seperti digariskan dalam kesepakatan AS-Taliban, sebelum pembebasan tawanan dilaksanakan. ”Saat ini itulah kesepakatannya, dan terpulang kepada AS, bagaimana mereka akan memenuhi komitmen yang telah dibuat dalam kesepakatan. Apa yang ada di dalam deklarasi bersama Pemerintah AS-Afghanistan bukan masalah kami,” ujar Mujahid.
Sejumlah diplomat Barat telah mencuatkan keprihatinan bahwa silang sengkarut tentang isu pembebasan tawanan bisa mengancam proses damai di Afghanistan. ”Jika mereka menunda perundingan (intra-Afghanistan), kita akan melihat kolapsnya sebuah kesepakatan. (Presiden AS Donald) Trump tidak ingin hal itu terjadi saat sekarang,” kata seorang pejabat yang mengikuti negosiasi-negosiasi selama dua tahun di Doha. (AP/REUTERS/SAM)