Harga minyak anjlok dan mencatat penurunan harian terbesar sejak Perang Teluk 1991. Kondisi itu mendorong rontoknya bursa-bursa saham global di awal pekan atau mirip disebut sebagai Senin Hitam (Black Monday).
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·4 menit baca
RIYADH, SELASA — Harga minyak anjlok hingga sepertiga dari nilai sebelumnya pada Senin (9/3/2020). Hal ini merupakan penurunan harian terbesar sejak Perang Teluk 1991. Anjloknya harga minyak itu mendorong rontoknya bursa-bursa saham global. Investor dan pelaku pasar semakin khawatir dengan arah perekonomian yang belum juga mendapat kejelasan atas sejauh mana efek dari wabah penyakit Covid-19.
Di tengah seretnya permintaan global terhadap minyak dan produk turunannya, Riyadh berencana meningkatkan produksinya bulan depan. Ini setelah Moskwa pada pekan lalu menolak usulan OPEC untuk mengurangi produksi yang terus tertekan. Arab Saudi pun siap memangkas harga jual minyak mentah resminya.
Kondisi perang harga minyak terjadi. Ini setelah Rusia, salah satu produsen top dunia bersama Arab Saudi dan Amerika Serikat, juga mengatakan akan meningkatkan produksi. Pemerintah Rusia sesumbar dapat bertahan dalam kondisi harga minyak yang rendah hingga 6-10 tahun mendatang.
Pada Senin malam WIB, harga minyak mentah berjangka Brent turun 27 persen di level 35,5 dollar AS per barel. Harga Brent sempat terbenam hingga 31 persen ke level 31,02 dollar AS, level terendah sejak 12 Februari 2016. Minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) AS turun lebih dari 28 persen ke level 32,00 dollar AS per barel setelah awalnya anjlok hingga 33 persen ke level 27,34 dollar AS per barel, yang juga merupakan level terendah sejak 12 Februari 2016.
”Bentang waktu rendahnya harga ini harus dapat dibatasi beberapa bulan saja atau efek dari virus (korona tipe baru) terhadap pasar global dan kepercayaan diri konsumen akan memicu resesi berikutnya,” kata Keith Barnett, Wakil Presiden Senior Analis Strategis ARM Energy yang berbasis di Houston.
”Senin hitam”
Sumirnya kondisi perekonomian ke depan telah mendorong kejatuhan indeks-indeks saham global. Para analis menilai kondisi-kondisi ”Senin Hitam” (Black Monday) terjadi pada awal pekan ini. Peristiwa ”Senin Hitam” mengacu pada hari Senin, 19 Oktober 1987, saat pasar saham di seluruh dunia hancur nilainya dalam waktu yang relatif singkat.
Pasar saham Australia ditutup anjlok 7,33 persen, Jepang melemah 5,07 persen, dan Singapura melorot 6 persen. Pasar saham Eropa juga anjlok di awal perdagangan, dipimpin indeks saham London dengan penurunan 8 persen.
Bentang waktu rendahnya harga ini harus dapat dibatasi beberapa bulan saja, atau efek dari virus (korona tipe baru) terhadap pasar global dan kepercayaan diri konsumen akan memicu resesi berikutnya.
Perpecahan di OPEC+ mengakhiri lebih dari tiga tahun kerja sama kelompok negara-negara pengekspor minyak itu guna mendukung pasar. OPEC+ berisi para anggota OPEC dan negara di luar OPEC yang juga eksportir minyak, termasuk Rusia.
Arab Saudi berencana untuk meningkatkan produksi minyak mentahnya di atas 10 juta barel per hari (bph) pada bulan April setelah kesepakatan saat ini untuk membatasi produksi berakhir pada akhir Maret. Hal itu mengacu pada keterangan dua sumber yang dikutip kantor berita Reuters. Kerajaan Arab Saudi telah memproduksi sekitar 9,7 juta bph dalam beberapa bulan terakhir.
Arab Saudi, Rusia, dan produsen besar lainnya selama ini terus berupaya untuk mendapatkan pangsa pasar sejak tahun 2014 dalam upaya menekan produksi AS. Amerika Serikat sendiri belum bergabung dengan pakta pembatasan produksi apa pun dan sekarang merupakan produsen minyak mentah terbesar di dunia.
”Kesepakatan itu selalu ditakdirkan untuk gagal,” kata Matt Stanley, broker senior di Starfuels di Dubai, menambahkan bahwa hasil utama dari pakta OPEC+ adalah bahwa produsen serpih AS telah mendapatkan pangsa pasar tersendiri.
Arab Saudi selama akhir pekan memangkas harga jual resminya untuk bulan April untuk semua nilai minyak mentah ke semua tujuan senilai 6-8 dollar AS per barel. ”Prognosis atas pasar minyak bahkan lebih mengerikan daripada pada November 2014, ketika perang harga seperti ini dimulai, mengingat saat ini tertekan atas jatuhnya permintaan minyak yang signifikan karena virus korona,” demikian dikatakan Goldman Sachs.
Upaya China untuk mengurangi wabah Covid-19 ternyata telah mengganggu ekonominya. Permintaan minyak dari negeri itu diberitakan anjlok hingga 80 persen selama tahun ini. Kekhawatiran bertambah setelah Covid-19 juga menyebar ke negara-negara ekonomi utama lain, seperti Italia dan Korea Selatan.
Badan Energi Internasional mengatakan, permintaan minyak ditetapkan untuk kontrak pada tahun 2020 untuk pertama kalinya sejak 2009. Perkiraan permintaan minyak akan anjlok hingga 1 juta barel per hari secara tahunan dan bahwa pasar sekarang akan terkontraksi sebesar 90.000 barel per hari.
Bank-bank besar telah memangkas perkiraan pertumbuhan atas permintaan minyak mereka. Morgan Stanley memperkirakan China akan memiliki pertumbuhan permintaan nol sepanjang 2020, sementara Goldman Sachs melihat kontraksi 150.000 barel per hari dalam permintaan global atas minyak. Goldman Sachs juga memangkas perkiraan untuk harga minyak Brent, yakni menjadi 30 dollar AS per barel untuk triwulan II-2020 dan triwulan III-2020.