Duterte Perintahkan Aparat Tembak Mati Perusuh yang Kacaukan Karantina
Pekan lalu, Presiden Filipina Rodrigo Duterte memerintahkan semua kepala daerah menutup wilayah mereka dan siapa pun yang melanggar aturan itu harus ditahan.
Oleh
Luki Aulia
·3 menit baca
MANILA, KAMIS — Kebijakan karantina, terutama karantina diri dengan tinggal di rumah, menjadi salah satu solusi menekan laju penularan Covid-19. Berbagai negara menerapkan kebijakan itu dengan cara berbeda-beda. Di Filipina, Presiden Rodrigo Duterte memilih bersikap tegas—seperti biasa—dengan mengancam akan menembak mati siapa saja yang tidak patuh dan mencoba-coba hendak berbuat rusuh.
Duterte, Rabu (1/4/2020) malam, memerintahkan aparat keamanan untuk menembak mati siapa pun yang berbuat onar atau merepotkan di daerah yang dikarantina. Hampir separuh dari total penduduk Filipina, sekitar 110 juta jiwa, kini dikarantina. Jutaan warga miskin dan warga yang kehilangan pekerjaan akibat kebijakan itu ikut menjalani karantina.
Beberapa jam sebelum perintah Duterte itu keluar, puluhan orang di permukiman miskin di ibu kota Manila ditahan karena memprotes kebijakan pemerintah tersebut. Mereka protes karena pemerintah tidak menyediakan bantuan makanan bagi warga miskin.
”Saya perintahkan polisi dan tentara, termasuk aparat keamanan di tingkat desa, jika ada masalah atau jika orang melawan dan situasinya tidak terkendali hingga mengancam nyawa, tembak mati saja mereka. Daripada bikin masalah, saya kirim saja ke kuburan,” kata Duterte.
Sampai saat ini Filipina mencatat 2.311 kasus positif Covid-19 dan sebanyak 96 orang di antaranya tewas. Pemerintah baru memulai tes Covid-19 bagi warga sehingga dikhawatirkan jumlah kasus masih akan bertambah.
Pernyataan Duterte dikecam kelompok pegiat HAM, Amnesty International Filipina, yang mendesak pemerintah menyediakan bantuan kepada masyarakat miskin, bukan malah mengumbar ancaman.
Kebijakan tembak mati oleh Presiden Duterte sangat mengkhawatirkan. Cara seperti ini mestinya tidak menjadi metode penanganan masalah darurat seperti pandemi ini.
”Kebijakan tembak mati oleh Presiden Duterte ini sangat mengkhawatirkan. Cara seperti ini mestinya tidak menjadi metode penanganan masalah darurat seperti pandemi ini,” sebut pernyataan tertulis Amnesty International Filipina.
Hiperbolis
Kepala Kepolisian Nasional Filipina Archie Gamboa mencoba menjelaskan bahwa Duterte hanya menggunakan kalimat hiperbolis untuk menegaskan maksudnya dan agar warga mematuhi kebijakannya. Gamboa menjamin aparat tidak akan menembak mati siapa pun.
”Mungkin presiden hanya mau menekankan saja implementasi hukum di saat krisis seperti ini,” kata Gamboa.
Kebijakan karantina diri dengan tinggal di rumah itu menyebabkan hampir semua usaha serta seluruh kegiatan agama dan bisnis dihentikan. Pekan lalu, Duterte memerintahkan semua kepala daerah menutup wilayah mereka dan siapa pun yang melanggar aturan itu harus ditahan.
”Kita sedang berjuang mempertahankan hidup dan berperang dengan musuh yang ganas dan tidak terlihat,” ujarnya.
Duterte, yang mulai berkuasa sejak memenangi pemilu 2016, dikenal sering bertindak tegas, termasuk ketika memerangi perdagangan dan penyalahgunaan narkoba. Selama ini rakyat Filipina mendukung upayanya itu. Namun, ada juga pihak yang mengkritik Duterte hanya menyasar warga miskin dan tidak menyentuh kalangan kaya dan berkuasa.
Sementara itu, Kementerian Kesehatan Filipina mengumumkan sedikitnya sudah dilakukan 1.000 tes dan sejak 7 Maret lalu tidak dilaporkan adanya kasus positif Covid-19. Kebijakan karantina di rumah itu merupakan perluasan dari penutupan wilayah ibu kota Manila yang diberlakukan sejak awal Maret.
Pada pekan lalu, pemerintah mengumumkan akan memberikan bantuan sebesar 524,8 juta dollar AS untuk memerangi Covid-19 dan membantu mereka yang merugi akibat kebijakan karantina. Duterte menjamin tidak akan ada kekurangan bahan makanan dan seluruh layanan publik, seperti bank, klinik, apotek, dan supermarket, tetap diperbolehkan beroperasi. (REUTERS/AFP)