logo Kompas.id
InternasionalIlmuwan China Mengisolasi...
Iklan

Ilmuwan China Mengisolasi Antibodi Penghambat Virus Korona

Tim peneliti China ini sekarang fokus pada identifikasi antibodi paling kuat dan mungkin menggabungkannya untuk mengurangi risiko mutasi virus korona jenis baru.

Oleh
Elok Dyah Messwati
· 5 menit baca
https://cdn-assetd.kompas.id/VSMku81K4kJsCM568Z6Aq4qoH7k=/1024x683/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F03%2F2020-03-31T032515Z_1582725501_RC2RUF9CPY95_RTRMADP_3_HEALTH-CORONAVIRUS-CHINA-WUHAN_1585631591.jpg
REUTERS/ALY SONG

Pembatasan jarak antrean di luar salah satu bank di Wuhan, Provinsi Hubei, pusat penyebaran Covid-19 di China, 31 Maret 2020.

BEIJING, RABU — Sebuah tim ilmuwan China telah mengisolasi beberapa antibodi yang disebut ”sangat efektif” untuk menghambat kemampuan virus korona masuk ke sel-sel tubuh manusia. Pada akhirnya diharapkan antibodi ini dapat membantu mengobati atau mencegah Covid-19 yang diakibatkan virus korona jenis baru (SARS-CoV-2).

Saat ini belum ada pengobatan yang terbukti efektif untuk mengatasi Covid-19 yang telah menginfeksi lebih dari 850.000 orang dan menyebabkan lebih dari 42.000 orang meninggal di seluruh dunia.

Zhang Linqi dari Universitas Tsinghua di Beijing, China, seperti dilaporkan Reuters, Rabu (1/4/2020) petang, mengatakan, obat yang dibuat dengan antibodi seperti yang ditemukan timnya dapat digunakan lebih efektif daripada pendekatan saat ini, termasuk pengobatan borderline seperti plasma. Plasma mengandung antibodi tetapi dibatasi oleh golongan darah.

Pada awal Januari 2020, tim Zhang dan peneliti di rumah sakit Shenzhen mulai menganalisis antibodi dari darah yang diambil dari pasien Covid-19 yang berhasil pulih. Mereka mengisolasi 206 antibodi monoklonal yang disebut Zhang memiliki kemampuan ”kuat” untuk mengikat dengan protein virus.

Mereka kemudian melakukan tes lain untuk melihat apakah antibodi itu benar-benar dapat mencegah virus korona memasuki sel. Di antara 20 atau lebih antibodi pertama yang diuji, empat antibodi mampu menghalangi masuknya virus dan dua di antaranya ”sangat bagus” untuk menghambat virus korona baru.

Tim peneliti China ini sekarang fokus pada identifikasi antibodi paling kuat dan mungkin menggabungkannya untuk mengurangi risiko mutasi virus korona baru.

Jika semuanya berjalan dengan baik, pengembang yang tertarik dapat memproduksinya secara massal untuk pengujian, pertama pada hewan dan akhirnya pada manusia.

Baca juga: China dan AS Harus Bersatu Melawan Covid-19

Kelompok ini telah bermitra dengan perusahaan biotek Sino-US, Brii Biosciences, dalam upaya ”untuk memajukan banyak kandidat untuk intervensi profilaksis dan terapeutik”.

”Pentingnya antibodi telah terbukti di dunia kedokteran selama beberapa dekade sekarang. Mereka dapat digunakan untuk mengobati kanker, penyakit autoimun dan penyakit menular,” kata Lingi.

Antibodi tersebut bukan vaksin, tetapi dapat diberikan kepada orang yang berisiko dengan tujuan mencegah mereka agar tidak tertular Covid-19.

Biasanya dibutuhkan sekitar dua tahun untuk bisa memproduksi obat, bahkan untuk mendapatkan persetujuan agar bisa digunakan pada pasien. Namun dalam pandemi Covid-19 ini, semua harus bergerak lebih cepat. Langkah-langkah yang sebelumnya diambil secara berurutan sekarang dilakukan secara paralel.

Lingi yang mem-posting temuan antibodi tersebut secara daring berharap antibodi itu dapat diuji pada manusia dalam enam bulan. Jika antibodi ini terbukti efektif dalam uji coba, penggunaan untuk pengobatan akan memakan waktu lebih lama.

Namun, pakar lain mendesak agar berhati-hati. Spesialis penyakit menular Universitas Hong Kong, Ben Cowling, mengatakan bahwa ada sejumlah langkah yang sekarang harus diikuti sebelum dapat digunakan sebagai pengobatan untuk pasien Covid-19.

”Sangat menarik bisa menemukan pengobatan potensial ini dan kemudian memiliki kesempatan untuk mengujinya. Karena jika kita dapat menemukan lebih banyak kandidat, pada akhirnya kita akan mendapatkan pengobatan yang lebih baik,” kata Cowling.

https://cdn-assetd.kompas.id/q-_jSiy9ROdkl-J9-3ggTpFESZo=/1024x681/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F03%2F000_1Q99PE_1585631572.jpg
AFP/HECTOR RETAMAL

Seorang wanita tua tiba dengan ambulans di Rumah Sakit Palang Merah Wuhan setelah dipindahkan dari rumah sakit lain usai pulih dari virus korona baru di Wuhan, 30 Maret 2020.

Tanpa gejala

Iklan

Komisi Kesehatan Nasional China, Selasa (31/3/2020), melaporkan 36 kasus baru yang berasal dari kedatangan luar negeri. Jumlah ini turun 48 dari hari sebelumnya. Dengan demikian, total kasus positif di China menjadi 81.554.

Namun, angka itu tidak termasuk 130 penderita baru Covid-19 yang tidak menunjukkan gejala. China kemudian memutuskan untuk menyediakan skrining yang lebih besar untuk penderita Covid-19 tanpa gejala dan bagi mereka yang berhubungan dengan penderita tanpa gejala ini.

Dalam sambutannya selama kunjungan ke Provinsi Zhejiang, Presiden China Xi Jinping mendesak agar ada pengelolaan kasus Covid-19 tanpa gejala yang lebih baik.

Lebih dari 700.000 orang yang telah melakukan kontak dekat dengan kasus tanpa gejala ini telah berhasil dilacak. South China Morning Post melaporkan bahwa Pemerintah China telah menemukan lebih dari 43.000 kasus infeksi tanpa gejala melalui pelacakan kontak.

Menurut penasihat medis senior Pemerintah China, Zhong Nanshan, infeksi tanpa gejala tidak akan menyebabkan wabah besar jika rantai transmisi terputus. Dia mengatakan bahwa sekali orang yang terinfeksi tanpa gejala ditemukan, maka mereka akan diisolasi dan kontak mereka diisolasi dan terus diamati.

Pengguna media sosial di China menyatakan kekhawatiran mereka mengenai penderita Covid-19 yang tanpa gejala dan dapat menyebarkan virus tanpa diketahui, terutama karena pihak berwenang mengurangi pembatasan dalam perjalanan di zona merah setelah infeksi mereda.

Baca juga: Covid-19 dan Xenofobia terhadap China

Pekan lalu, ahli epidemiologi WHO, Maria van Kerkhove, mengatakan, pasien simptomatik adalah pendorong utama penularan. Sementara sebagian besar dari mereka yang diklasifikasikan sebagai simptom mengalami gejala beberapa hari setelah diagnosis.

Selasa (31/3/2020), sebanyak 1.367 kasus tanpa gejala sedang diamati di China dan turun dari jumlah 1.541 di hari sebelumnya.

73 negara

Untuk membendung penyebaran virus korona, Rabu (1/4/2020), Pemerintah Jepang melarang masuk pengunjung dari Amerika Serikat, China, dan sebagian besar Eropa. Larangan masuk Jepang juga akan berlaku untuk Australia, Inggris, Korea Selatan, dan negara-negara Asia Tenggara. Larangan tersebut akan berlaku pada Jumat (3/4/2020).

Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe mengatakan, 73 negara sekarang dilarang masuk ke Jepang. Jepang juga telah meminta semua wisatawan yang baru pulang dari negara-negara tersebut, termasuk warga Jepang, untuk mengisolasi diri dan menghindari transportasi umum selama dua minggu sejak Jumat besok.

Langkah itu diambil Abe menimbang keadaan darurat di Jepang yang akan menyerahkan wewenang yang lebih besar kepada otoritas regional untuk meminta orang tinggal di dalam rumah.

https://cdn-assetd.kompas.id/QKrtr5L7raPhuMxRNOBcwIQaygI=/1024x656/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F03%2FHEALTH-CORONAVIRUSJAPAN-ABE_88440126_1585408994.jpg
REUTERS / ISSEI KATO

Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe menyeka hidungnya saat ia mengadakan konferensi pers tentang tanggapan Jepang terhadap wabah coronavirus disease (Covid-19) di kediaman resminya di Tokyo, 28 Maret 2020.

Sejauh ini, Jepang belum memiliki ledakan infeksi seperti di AS dan sebagian Eropa. Namun, lonjakan kasus baru-baru ini di Tokyo telah menimbulkan kekhawatiran karena puluhan kasus baru muncul setiap hari.

Gubernur Yuriko Koike telah meminta penduduk untuk bekerja dari rumah jika memungkinkan, menghindari keluar di malam hari dan mendesak penduduk kota untuk tetap tinggal di dalam rumah selama akhir pekan.

Seruan Koike tersebut mendapatkan perhatian luas selama akhir pekan, ditambah turunnya salju yang sangat lebat pada Minggu lalu. Jalan-jalan di Tokyo yang biasanya penuh sesak berubah menjadi sunyi.

Baca juga: Jepang Bakal Karantina Pengunjung dari Luar Negeri

Rabu (1/4/2020), pihak berwenang mengumumkan bahwa sekolah menengah di Tokyo akan tetap ditutup sampai setelah liburan di awal Mei. Ini berarti memperpanjang penutupan yang dimulai pada Februari 2020.

Untuk mengurangi dampak pada ekonomi Jepang, Abe berjanji untuk menyampaikan paket stimulus dalam beberapa hari mendatang yang jumlahnya lebih besar selama krisis keuangan 2008. Hingga Rabu kemarin, Jepang telah mencatat 2.178 kasus virus korona baru dan 57 kematian.

Di antara korban jiwa tersebut, salah satunya adalah komedian paling populer di Jepang, Ken Shimura, yang kematiannya diumumkan pada Senin (30/3/2020) dan mengejutkan warga Jepang. (REUTERS/AFP)

Editor:
Pascal Bin Saju
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000