Menjaga Roda Ekonomi Tetap Berputar
Meskipun disebut tidak segarang SARS, pandemi Covid-19 yang disebabkan virus korona tipe baru memiliki dampak yang tak kalah ”mencemaskan”.
Meskipun disebut tidak segarang SARS, pandemi Covid-19 yang disebabkan virus korona tipe baru memiliki dampak yang tak kalah ”mencemaskan”.
Dampak pertama merebaknya Covid-19 tentu pada sektor kesehatan kemudian dampak lain pada sektor sosial dan ekonomi.
Setelah berbulan-bulan didera epidemi Covid-19, kemudian menjadi pandemi—yang memicu penerapan kebijakan pembatasan wilayah di banyak negara—perlahan kinerja ekonomi global semakin melambat. Bahkan, beberapa pihak mengingatkan potensi krisis ekonomi.
Berbagai data mengubah pertanyaan dari ”apakah krisis akan terjadi” menjadi ”seberapa dalam krisis terjadi”. Hal itu, antara lain, terlihat dari Purchasing Managers Index (PMI) di sejumlah negara dan kawasan. PMI menunjukkan kondisi industri, dengan indeks di atas 50 mencerminkan pertumbuhan dan sebaliknya di bawah 50 mengindikasikan penurunan.
Pada Maret 2020, PMI global tercatat di aras 49,1. PMI Uni Eropa, yang menguasai 16 persen dari 80 triliun dollar AS produk domestik bruto (PDB) global, merosot dari 49,2 menjadi 44,5. Sementara China, pengendali 15 persen PDB global, membaik dari 37,5 di Februari menjadi 50,1 di Maret. Adapun AS, pemilik 24 persen PDB global, mencatat PMI 48,5.
”Pandemi korona dan kejutan pasar energi global berdampak pada semua sektor manufaktur,” kata Timothy R Fiore, Ketua Institute of Supply Management (ISM), dalam rilis lembaga itu. ISM secara rutin mencatat PMI global.
Merujuk data trademap.org bersama India, Jepang, dan Singapura, AS dan China menyerap 55 persen ekspor Indonesia. Penurunan kinerja industri di lima negara itu akan menurunkan permintaan ekspor dari Indonesia yang hampir 42 persen berupa bahan mentah atau bahan setengah jadi.
Menurut Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Johnny Darmawan, PMI Indonesia merosot bukan hanya karena pembelian menurun pada masa pembatasan gerak. PMI Indonesia juga turun karena bahan baku berkurang.
Berdasarkan data trademap.org, impor utama Indonesia adalah bahan baku dan mesin. Pembatasan gerak membuat banyak pabrik dan pelabuhan sumber impor Indonesia tak beroperasi. Akibatnya, pasokan ke Indonesia berkurang. Hal ini dialami juga oleh negara lain.
Rantai pasok
Dalam rapat darurat G-20, pengendali 85 persen PDB global, persoalan rantai pasok global menjadi perhatian. ”Kami akan memastikan kelancaran dan keberlanjutan operasi jaringan logistik yang menjadi tulang punggung rantai pasok global,” demikian pernyataan resmi para Menteri Perdagangan G-20 seusai rapat virtual pada Senin (30/3/2020).
Tidak dijelaskan lebih lanjut bagaimana cara G-20 menjamin kelancaran rantai pasok. China, Singapura, Belanda, dan Korea Selatan yang menjadi lokasi pelabuhan-pelabuhan utama Asia dan Eropa kekurangan pekerja karena pembatasan gerak. Sebagian besar pekerja tidak boleh keluar rumah selama masa pandemi. Sebagian lagi sakit.
Karena itu, seperti disinggung ekonom Universitas Indonesia, Chatib Basri, dalam artikel bertajuk ”Perekonomian dan Virus Korona” (Kompas, 28 Februari 2020), fokus stimulus ekonomi jangka pendek harus menyehatkan badan dan kantong masyarakat. Bantuan langsung tunai dan pembiayaan kesehatan harus diprioritaskan.
Setelah wabah terkendali dan orang bisa kembali bekerja, perusahaan perlu modal untuk membayar tagihan bahan baku dan distribusi produk hingga upah. Pinjaman lunak dan subsidi upah berperan di tahap ini. Selain itu, perusahaan dan masyarakat juga perlu kelonggaran pajak agar dana membayar pajak bisa dipakai untuk aneka operasional dan aktivitas harian. Tidak kalah penting adalah menjaga perbankan agar tetap bisa beroperasi.
Apa pun pendapat banyak orang, perbankan memungkinkan sistem pembayaran bisa mangkus dan sangkil. Biaya pembayaran akan membengkak dan sulit ditanggung jika produsen dan konsumen harus membayar tunai tanpa melibatkan perbankan atau sistem perbankan lain. Stimulus total 5 triliun dollar AS yang dijanjikan G-20 sudah mengarah pada hal-hal tersebut.
Ekonom dari University of California, Berkeley, Barry Eichengreen, sebagaimana dikutip Bloomberg, mengingatkan kucuran stimulus negara maju jangan sampai melukai negara berkembang dan negara miskin. Selain dampak kemacetan perdagangan internasional dan penurunan harga komoditas, mereka juga harus menanggung dampak pelarian modal.
Sejak 21 Januari 2020 hingga 31 Maret 2020, Institute of International Finance mencatat total 92,5 miliar dollar AS dana investasi meninggalkan negara berkembang. Sebagian besar ditukarkan menjadi dollar AS sehingga kurs dollar AS terhadap mata uang sejumlah negara turut melambung.
Kucuran stimulus negara maju membuat investasi di sana, yang imbal hasilnya kerap lebih rendah dibandingkan dengan negara berkembang, dipilih karena dinilai lebih aman. Akibatnya, negara berkembang kesulitan uang dan kesulitan membayar impor.
Masalah perdagangan internasional bukan hanya itu. ”Sekarang, 24 negara membatasi ekspor obat dan peralatan kesehatan. Hal itu menunjukkan koordinasi internasional sangat lemah justru saat dunia sangat membutuhkannya,” kata Guru Besar Ekonomi Universitas Syracuse, Mary E Lovely, sebagaimana dikutip CNN.
Ia secara khusus menyoroti perang dagang AS-China sebagai bentuk saling menghambat perdagangan internasional. Lovely mendesak AS dan China menghentikan perang tarif yang terbukti merugikan konsumen di negara masing-masing. Kenaikan bea masuk impor produk China membuat produsen AS membayar harga bahan baku lebih mahal. Selisih harga itu pada akhirnya dibebankan kepada konsumen. (AFP/REUTERS)