Negara-negara Berlomba Amankan Pasokan Peralatan Medis Masing-masing
Pelarangan itu kontras dengan pernyataan resmi negara-negara G-20. Mereka menyatakan, G-20 akan menjamin kelancaran perdagangan internasional dan memastikan ketersediaan peralatan kesehatan, obat, dan vaksin Covid-19.
Oleh
Kris Mada
·4 menit baca
NEW DELHI, MINGGU — Negara-negara anggota G-20, organisasi negara pengendali 85 persen produk domestik global, mengabaikan kesepakatan organisasi itu. Mereka dan sejumlah negara lain berlomba melarang ekspor obat dan peralatan medis yang dibutuhkan untuk mengatasi wabah korona tipe baru.
Turki, salah satu anggota G-20 lainnya, dikeluhkan Spanyol karena menunda ekspor alat bantu pernapasan pesanan Madrid. ”Beberapa waktu belakangan, Pemerintah Turki menerapkan sejumlah pembatasan atas peralatan kesehatan dengan alasan untuk memenuhi kebutuhan sendiri,” kata Menteri Luar Negeri Spanyol Arancha Gonzalez, kepada Reuters.
Ironisnya, sebagaimana dilaporkan The Wall Street Journal, Uni Eropa yang menaungi Spanyol, juga menerapkan pembatasan ekspor peralatan kesehatan. Bersama India, Amerika Serikat, UE adalah anggota G-20 yang menerapkan pembatasan ekspor peralatan kesehatan dan obat yang dibutuhkan untuk menangani Covid-19.
Pembatasan itu kontras dengan pernyataan resmi para kepala negara, menteri perdagangan, dan menteri keuangan G-20. Lewat serangkaian pertemuan yang menghasilkan sejumlah pernyataan bersama, G-20 menyatakan akan menjamin kelancaran perdagangan internasional dan memastikan peralatan kesehatan serta obat dan vaksin untuk menanggulangi Covid-19 bisa tersedia.
Pemantau perdagangan internasional dari Swiss, Global Trade Alert, menyebutkan 32 pembatasan ekspor peralatan kesehatan diumumkan sepanjang Maret. Dalam siaran pers Lembaga itu disebutkan 54 negara mengumumkan pembatasan ekspor peralatan kesehatan sepanjang 2020. Swiss termasuk dalam daftar itu.
”Hal ini kami lakukan untuk warga Swiss guna menghindari kekurangan peralatan kesehatan yang dibutuhkan dalam keadaan darurat,” kata Menteri Perekonomian Swiss Guy Parmelin, sebagaimana dikutip CNN.
Utamakan dalam negeri
Secara terpisah, Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau mengatakan, dirinya prihatin dengan laporan jumlah masker yang dikirim ke sejumlah wilayah Kanada lebih kecil daripada pesanan. Masker-masker itu dipesan dari AS. ”Kami mengerti AS membutuhkan. Akan tetapi, Kanada juga butuh, jadi kita harus bekerja sama,” ujarnya.
Dengan alasan memenuhi kebutuhan dalam negeri, Presiden AS Donald Trump melarang ekspor peralatan kesehatan yang dibutuhkan untuk menghadapi dampak korona. Larangan itu didasarkan pada Undang-Undang Produksi Pertahanan.
Pelaksana Tugas Menteri Keamanan Dalam Negeri AS Chad Wolf dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) AS diberi kewenangan untuk menggunakan berbagai cara dalam melarang masker medis, sarung tangan, masker N95, dan APD lainnya. ”Kami membutuhkan ini untuk keperluan dalam negeri,” kata Trump.
Protes gara-gara masker juga dilayangkan Perancis dan Jerman kepada AS. Gubernur Ile-de-France Valerie Pecresse menuding pesanan masker wilayah itu batal dikirim gara-gara ada pembeli dari AS membayar lebih mahal. Ia tidak mengungkap siapa pembeli yang dimaksud.
Adapun Jerman menuding AS mencegat kiriman masker untuk Jerman. Pencegatan terjadi Bangkok kala kargo berisi 200.000 masker untuk polisi Berlin itu sedang transit dari Singapura menuju Jerman.
”Kami mempertimbangkan ini sebagai tindakan pembajakan modern. Bukan seperti ini cara berhubungan dengan mitra trans-Atlantik. Dalam saat krisis sekalipun, tidak boleh ugal-ugalan. Saya mendesak AS mematuhi peraturan internasional,” kata senator Berlin, Andreas Geisel, sebagaimana dikutip media Jerman, Deutsche Welle.
Produsen masker pesanan Berlin itu, 3M, menyangkal insiden tersebut. ”Tidak ada bukti penyitaan,” demikian pernyataan resmi perusahaan AS yang punya pabrik di beberapa negara itu.
Sementara kantor berita Xinhua melaporkan, perusahaan-perusahan China memacu produksi alat bantu pernapasan. Peningkatan produksi itu dilakukan untuk memenuhi permintaan ekspor dan kebutuhan dalam negeri.
Secara global, diperkirakan dibutuhkan hampir 900.000 alat bantu pernapasan. Mesin itu penting dalam perawatan pasien Covid-19 mengingat penyakit itu bisa mengakibatkan sesak napas.
Di China ada 21 produsen alat bantu pernapasan, dan delapan di antaranya telah mememuhi standar UE. ”Pabrik-pabrik China menerima pesanan sekitar 20.000 alat bantu pernapasan dari sejumlah negara dan telah meningkatkan produksi hingga ke kapasitas penuh demi memenuhi peningkatan pesanan luar negeri,” kata Xu Kemin, pejabat di Kementerian Industri dan Teknologi Informatika China.
Pakai kantong sampah
Dari Inggris, BBC melaporkan, para perawat menggunakan kantong sampah sebagai alat pelindung diri (APD) pengganti. Mereka terpaksa membungkus diri dengan plastik dari kantong sampah karena pesanan APD tidak kunjung datang.
Pada saat yang sama, jumlah pasien terus bertambah setiap hari. Perawat dan dokter menggunting kantong sampah dan memakainya sebagai pelapis luar. Untuk kepala, mereka melilitkan begitu saja lalu dikencangkan dengan isolasi.
Inggris bukan hanya kekurangan APD. Aneka peralatan kesehatan, seperti alat bantu pernapasan, perangkat bius, hingga kaca mata pelindung, juga tidak memadai. Para dokter dan perawat meminjam kaca mata ski dari kenalan dan kerabat. (AP/AFP/REUTERS)