Rumah sakit di sejumlah negara Eropa melaporkan menipisnya persediaan obat-obatan yang digunakan untuk mengatasi gejala Covid-19. Uni Eropa mendesak industri farmasi untuk menambah volume produksinya.
Oleh
Mahdi Muhammad
·3 menit baca
BRUSSELS, SELASA — Rumah sakit di sejumlah wilayah di Eropa mulai melaporkan kekurangan persediaan obat-obatan, khususnya yang digunakan untuk mengatasi gejala yang timbul akibat penyakit Covid-19. Perusahaan farmasi yang ada di wilayah Eropa diminta untuk meningkatkan kapasitas produksinya.
Badan Obat-obatan Eropa atau European Medicine Agency (EMA), dalam keterangan di laman resmi mereka, mengatakan, lembaga tersebut kini tengah mengawasi secara ketat ketersediaan obat-obatan di seluruh wilayah Eropa, khususnya yang digunakan untuk membantu mengobati pasien yang positif terpapar Covid-19. Beberapa obat-obatan yang dilaporkan semakin menipis persediaannya oleh sejumlah rumah sakit dan otoritas kesehatan di negara anggota UE di antaranya obat anestesi, antibiotik dan obat pelemas otot serta obat-obatan lain yang digunakan untuk pasien positif Covid-19.
Manajemen rumah sakit di sembilan negara Eropa, dalam suratnya kepada Komisi Eropa, akhir Maret lalu, mengatakan, persediaan obat-obatan yang mereka miliki hanya bisa digunakan untuk dua pekan mendatang. Mereka mendesak Komisi Eropa dan perusahaan farmasi untuk meningkatkan jumlah produksinya mengigat skala pandemi yang luas yang harus mereka hadapi.
Perdana Menteri Perancis Edouard Philippe, Selasa (7/4), mengakui bahwa di beberapa rumah sakit terjadi ”ketegangan” karena penggunaan obat-obat tertentu yang melonjak drastis di dalam unit resusitasi dan unit gawat darurat. Namun, dia tidak mengelaborasi lebih lanjut soal ketegangan yang dimaksud.
Sejumlah dokter di Perancis mengatakan, persediaan morfin dan antibiotik serta sejumlah obat lainnya sudah sangat sedikit. Hal ini diperkuat dengan pernyataan otoritas keamanan dan distribusi obat Perancis yang menyatakan bahwa persediaan obat anestesi, seperti Propofol yang diproduksi oleh perusahaan farmasi Jerman Fresenius sudah sangat rendah. Sementara suplai baru dari perusahaan itu tidak akan ada, setidaknya sebelum pertengahan April.
Kondisi yang sama terjadi di Spanyol. Situasi itu membuat otoritas kesehatan di Negara Matador terpaksa mengizinkan penggunaan obat-obatan yang tidak biasa digunakan dalam kondisi normal, seperti obat-obatan untuk hewan yang mengandung zat aktif yang sama dengan obat yang diperuntukkan untuk manusia. Bahkan, dalam sebuah panduan daring untuk dokter, asosiasi petugas medis Spanyol disebutkan tengah mempertimbangkan penggunaan obat penenang yang biasanya tidak digunakan dalam kondisi normal, untuk digunakan menangani pasien.
Komisioner Komisi Eropa Bidang Pemasaran Internal Thierry Breton mengatakan, pihaknya menyadari bahwa saat ini terjadi kekurangan pasokan obat-obatan di sejumlah negara Eropa, khususnya untuk perawatan intensif para pasien positif Covid-19.
”Kami sudah meminta para pengusaha industri farmasi untuk menaikkan jumlah produksi mereka. Kami kira situasi ini akan teratasi tidak lama lagi,” kata Breton.
Kekurangan persediaan obat-obatan di sejumlah negara Eropa diakui oleh EMA. Beberapa faktor yang menjadi penyebab berkurangnya persediaan obat di Eropa, menurut EMA, di antaranya adalah masalah logistik karena penutupan perbatasan, larangan ekspor, karantina wilayahdi negara pemasok bahan obat-obatan ke UE, peningkatan permintaan karena perawatan pasien Covid-19, penimbunan obat-obatan oleh rumah sakit tertentu hingga penimbunan oleh sejumlah warga.
Industri farmasi Perancis menggantungkan diri pada pasokan bahan dari China. Sebanyak 40 persen pasokan bahan obat-obatan Perancis berasal dari China. Ketika rantai pasokan ini terganggu, produksi obat di hilir juga terganggu.
Untuk mengatasi kurangnya persediaan obat-obatan, UE tengah menyiapkan sistem yang bisa mengomunikasikan masalah pasokan obat-obatan antara industri, otoritas kesehatan di negara anggota UE dan EMA. Dengan sistem ini, industri farmasi akan melaporkan kondisi pasokan obat ke EMA untuk mengantisipasi kekurangan obat-obatan penting untuk penanganan Covid-19. Mekanisme baru ini akan memungkinkan pengawasan yang lebih baik terhadap rantai pasokan.
Sementara itu, Presiden Amerika Serikat Donald Trump berhasil menekan Pemerintah India untuk mengizinkan pencabutan larangan ekspor obat antimalaria, hidroklorokuin. Izin impor itu diperoleh Pemerintah AS setelah Trump melobi PM Narendra Modi akhir pekan lalu.
”Sudah diputuskan bahwa India akan mengizinkan ekspor parasetamol dan hidroklorokuin dalam jumlah terbatas ke negara-negara sahabat yang bergantung pada kemampuan India dalam menyediakannya,” kata juru bicara Kementerian Luar Negeri India Anurag Srivastava. (AFP/REUTERS)