Pandemi Covid-19 Mengancam Keamanan dan Stabilitas Dunia
Pandemi Covid-19 dinilai membawa kerentanan pada keamanan dan stabilitas global. Bayang-bayang resesi ekonomi global bisa berdampak pada kerusuhan sosial. Anggota DK PBB tidak satu suara.
Oleh
Mahdi Muhammad
·4 menit baca
NEW YORK, JUMAT — Hampir 1,7 juta warga dunia dinyatakan positif terpapar Covid-19. Penyakit ini juga telah merenggut sekitar 103.000 jiwa hingga Sabtu, (11/4/2020). Setelah masalah kesehatan, Perserikatan Bangsa-Bangsa menilai, pandemi global ini mengancam keamanan dan stabilitas dunia.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengatakan hal itu dalam pertemuan Dewan Keamanan PBB yang dilakukan secara daring, Jumat (10/4/2020) waktu di markas besar PBB di New York, Amerika Serikat.
”Pandemi global Covid-19 berpotensi membawa kita pada kerusuhan sosial dan peningkatan kekerasan yang akan mengganggu kerja kita untuk memerangi penyakit ini,” kata Guterres.
Pertemuan tertutup itu adalah pertemuan pertama yang dilaksanakan Dewan Keamanan PBB sejak pandemi global menyebar ke lebih dari 180 negara hanya dalam waktu tiga bulan setelah pertama kali menyebar di Wuhan, China. Guterres sendiri telah menyerukan gencatan senjata untuk semua konflik global pada 23 Maret lalu.
Sekjen PBB asal Portugal ini mengatakan, saat ini keamanan dan stabilitas keamanan global dalam kondisi sangat rentan karena beberapa faktor. Misalnya, gerilyawan yang melihat peluang untuk menyerang, potensi terjadinya serangan senjata biologis, dan erosi kepercayaan pada lembaga-lembaga publik termasuk di dalamnya pemerintah.
Selain itu, juga ada faktor ketidakstabilan ekonomi, ketegangan politik di tingkat lokal karena penundaan pemilihan hingga ketidakpastian yang dapat memicu perpecahan lebih lanjut dan kekacauan.
”Covid--19 memicu atau memperburuk situasi hak asasi manusia yang sebelumnya sudah menjadi tantangan tersendiri,” katanya.
Guterres mendesak DK PBB, badan terkuat di lembaga multilateral yang selama ini diam, untuk bersatu dalam upaya menangani pandemi ini. Dia menyatakan, keterlibatan DK PBB menjadi sangat krusial untuk meminimalkan dampak keamanan dan perdamaian dunia akibat pandemi Covid-19 ini.
Keterlibatan DK PB, menurut dia, akan sangat diperhitungkan di tengah kecemasan yang tengah melanda dunia saat ini.
Perbedaan sikap
Sudah menjadi pengetahuan yang umum bahwa DK PBB tidak pernah menjadi sebuah lembaga yang solid, terutama karena perbedaan yang tajam antaranggota tetap badan ini. Beberapa pekan terakhir, warga dunia melihat perselisihan yang tajam antara pemerintahan AS dan China, terutama karena kelambatan pemerintahan Perdana Menteri China Xi Jinping untuk memberikan informasi mengenai penularan virus korona jenis baru ini.
Pertemuan tertutup yang dipimpin Jerman ini diinisiasi oleh sembilan dari 10 anggota tidak tetap DK PBB. Mereka muak melihat kelambanan organisasi multilateral ini dalam mengatasi krisis global yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Duta Besar Jerman Christoph Heusgen menyesalkan lambatnya kerja sama internasional. ”Sampai sekarang, keheningan ini memekakkan telinga,” katanya.
Jerman sendiri sepakat dengan pernyataan Guterrres dan menggambarkan pandemi global ini sebagai masalah perdamaian dan keamanan internasional. Sebaliknya, Rusia, China, dua anggota tetap DK PBB, serta Afrika Selatan menilai bahwa masalah pandem global ini bukan bagian dari kerja DK PBB.
AS dan China terus berdebat mengenai asal usul virus. Duta Besar AS Kelly Craft tampaknya mengisyaratkan ketegangan itu, memperkuat tekanan Presiden AS Donald Trump yang dalam beberapa kali pernyataannya mengatakan bahwa itu merupakan virus China.
”Cara paling efektif untuk mengatasi pandemi ini adalah melalui pengumpulan data yang akurat dan berbasis ilmu pengetahuan tentang asal-usul, karakteristik, dan penyebaran virus,” kata Craft.
Duta Besar China untuk PBB menimpali pernyataan Craft. ”Setiap tindakan stigmatisasi dan politisasi harus ditolak,” katanya.
Pada saat yag bersamaan, dua rancangan resolusi DK PBB beredar di antara negara-negara anggota.
Rancangan pertama dipelopori anggota tidak tetap DK PBB, Tunisia, yang mengatasnamakan 10 negara anggota tidak tetap lainnya. Dalam dokumen rancangan resolusi itu, Tunisia menyerukan ”aksi internasional yang mendesak, terkoordinasi, dan bersatu untuk mengurangi dampak Covid-19”.
Rancangan resolusi itu juga menyerukan gencatan senjata global yang memungkinkan adanya respons kemanusiaan yang memadai di wilayah-wilayah konflik.
Rancangan kedua diusulkan oleh Perancis. Rancangan resolusi ini memfokuskan diri pada seruan Guterres yang menyerukan penghentian semua permusuhan di seluruh dunia sebagai bagian dari ”jeda kemanusiaan” untuk memerangi pandemi.
Rancangan kedua ini dibahas oleh seluruh anggota tetap, tetapi, menurut sejumlah diplomat anggota tidak tetap, tidak ada kemajuan sama sekali dalam pembahasanya dan menimbulkan rasa frustrasi di antara mereka.
Di Dewan Keamanan, setidaknya sembilan suara dari 15 diperlukan untuk mengadopsi resolusi, tanpa veto oleh salah satu dari lima anggota tetap. (AFP/REUTERS)