Menghentikan pembatasan gerak akan memicu kenaikan infeksi Covid-19. Perintah jaga jarak dan diam di rumah sukses mengendalikan laju infeksi.
Oleh
kris mada
·4 menit baca
GENEVA, SABTU — Organisasi Kesehatan Dunia meminta negara-negara tidak tergesa mengakhiri pembatasan gerak dan isolasi. Sebab, infeksi Covid-19 masih terus terjadi.
Direktur jenderal lembaga itu, Tedros Adhanom Ghebreyesus, mengapresiasi penurunan laju infeksi di sejumlah negara. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga berharap ada pengenduran kebijakan pembatasan gerak. ”Menghentikan pembatasan akan memicu kenaikan yang mematikan,” ujarnya, Jumat (10/4/2020) siang waktu Geneva atau Sabtu dini hari WIB.
Hingga Sabtu, 1,7 juta orang di ratusan negara terinfeksi SARS-CoV-2 dengan 103.512 orang di antaranya tewas. Di sejumlah negara, laju penularan memang menurun. Sebaliknya, di sejumlah negara lain ada tren kenaikan infeksi.
Dalam dua pekan terakhir, jumlah pasien, laju infeksi, dan laju kematian di Perancis, Italia, Spanyol, dan Jerman terus menurun. Italia dan Spanyol merupakan pusat pandemi Covid-19 di Eropa dengan jumlah pasien dan korban tewas terbanyak. Madrid, Paris, dan Roma menyebut kepatuhan pada perintah jaga jarak dan isolasi berperan penting dalam menurunkan tren tersebut. Italia, Perancis, dan Spanyol mempertimbangkan pembatasan gerak akan berlaku sampai Mei.
Sementara itu, sejumlah negara di Eropa mempertimbangkan untuk mengendurkan perintah tersebut. Bulgaria, Ceko, dan Norwegia memulainya pekan lalu. Adapun Austria dan Denmark mulai pekan depan. Denmark mempertimbangkan toko dengan luas hingga 400 meter persegi bisa kembali beroperasi, Selasa depan. Sementara toko dengan luas lebih besar dari 400 meter persegi bisa dibuka mulai 1 Mei 2020. Hotel dan restoran akan menyusul setelah itu.
Amerika Serikat juga berharap bisa mengendurkan perintah jaga jarak dan isolasi mulai Mei. Presiden AS Donald Trump dan para penasihatnya berharap pembatasan gerak bisa diakhiri pada musim panas ini. Trump berjanji mendengarkan para pakar sebelum membuat keputusan yang dinyatakannya amat besar itu.
Perintah jaga jarak dan diam di rumah dinyatakan sukses. Sebab, laju infeksi di New Orleans, Louisiana, Detroit, dan Michigan lebih terkendali. Semakin sedikit pula telepon dari para gubernur yang meminta bantuan dan peralatan. ”Tidak ada telepon dari gubernur untuk saat ini,” ujarnya.
Infeksi ulang
Di sisi lain, WHO terus memeriksa informasi penularan ulang terhadap mantan pengidap Covid-19. Hal itu, antara lain, terjadi pada 19 mantan pasien di Korea Selatan. Mereka sedang dalam persiapan keluar dari rumah sakit kala hasil tes menunjukkan terinfeksi lagi.
Dalam petunjuk WHO, pasien bisa dikeluarkan dari RS setelah dites sekurangnya dua kali dan hasilnya negatif. Jarak antartes sekurangnya 24 jam. ”Kami mendengar beberapa pasien positif setelah sembuh. Akan tetapi, kami perlu mengumpulkan data lebih sistematis dari pasien tersebut untuk memahami berapa lama mereka mengidap virus. Karena Covid-19 penyakit baru, butuh lebih banyak data epidemilogi untuk membuat kesimpulan,” demikian pernyataan WHO.
Masalah WHO dengan Covid-19 bukan hanya mengendalikan infeksi. Lembaga itu kini berselisih dengan Taiwan soal penanganan wabah itu. Taipei menuding WHO bersilat lidah soal informasi awal penularan Covid-19.
Taiwan menyatakan tidak mendapat tanggapan dari WHO kala menanyakan informasi soal wabah di Wuhan, China. Taipei juga tidak mendapat jawaban saat bertanya apakah virus itu bisa ditularkan di antara manusia. WHO membantah ada pertanyaan soal penularan antarmanusia. ”Kami bertanya kepada mereka tentang cara mengomunikasikan masalah itu karena kami hanya tahu satu surel yang tidak membahas penularan antarmanusia, walakin mereka belum membalas,” demikian pernyataan WHO.
Taiwan bukan anggota WHO dan banyak organisasi internasional lain. Sebab, China menganggap Taiwan sebagai bagian dari China. Keanggotaan di lembaga internasional sudah diwakili oleh Beijing sehingga Taipei tidak bisa lagi menjadi anggota terpisah. Taiwan dinilai sebagai salah satu negara yang sukses mengendalikan laju infeksi SARS-Cov-2.
Sejak 2 Januari 2020, mereka telah membuat langkah penanggulangan. Padahal, kala itu Covid-19 masih dalam tahap awal dan bahkan belum ada nama resmi untuk virus ataupun penyakitnya. Hingga kini, Taiwan hanya mencatatkan 385 kasus dengan 6 korban tewas. Sebaliknya, China mencatatkan total 81.953 kasus dengan 3.339 korban tewas. Adapun AS mencatatkan 503.177 kasus dengan 18.761 korban tewas. Dengan demikian, AS menjadi negara dengan jumlah pengidap dan korban tewas tertinggi di dunia dalam pandemi ini. Italia menyusul AS dengan 161.852 kasus dan 16.353 korban tewas. (AP/REUTERS)