Covid-19 adalah penyakit baru. Selama para pakar belum punya pengetahuan yang cukup tentang penyakit ini, upaya pencegahan tetap yang utama sekalipun sudah pernah tertular dan sembuh.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·3 menit baca
GENEVA, MINGGU — Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan, ”tidak ada bukti” yang memperlihatkan bahwa orang yang sembuh dari Covid-19 dan memiliki antibodi terhadap penyakit ini bisa terlindungi dari infeksi kedua.
Dalam laporan ilmiahnya, Sabtu (25/4/2020), WHO memberikan peringatan kepada negara-negara agar tidak mengeluarkan ”paspor kekebalan” atau ”sertifikat bebas risiko” kepada mereka yang telah terinfeksi karena akurasinya tidak bisa dijamin.
Memberikan ”paspor kekebalan”, menurut WHO, akan meningkatkan risiko penyebaran Covid-19. Itu karena orang yang sudah sembuh bisa jadi mengabaikan standar pencegahan terhadap Covid-19, misalnya, menggunakan masker ketika berada di tempat umum dan sering mencuci tangan.
”Sejumlah pemerintah telah menganjurkan bahwa deteksi antibodi terhadap SARS-CoV-2, virus penyebab Covid-19, bisa menjadi dasar pemberian semacam ’paspor kekebalan’ atau ’sertifikat bebas risiko’ yang memungkinkan seseorang bepergian atau kembali bekerja dengan asumsi mereka terlindungi dari kemungkinan tertular kembali,” kata WHO.
WHO juga menyatakan, pembentukan antibodi terhadap patogen tertentu yang menginfeksi tubuh secara alami merupakan proses bertahap yang umumnya memerlukan waktu 1-2 minggu. Tubuh langsung memberikan respons nonspesifik terhadap infeksi virus untuk memperlambat pertumbuhan virus juga mencegah munculnya gejala.
Respons nonspesifik itu lalu diikuti respons adaptif di mana tubuh membuat antibodi yang khusus mengikat virus tersebut. Tubuh juga mengembangkan kekebalan di tingkat sel dengan membuat T-cell yang mengenali dan membunuh sel lain yang terinfeksi virus.
Kombinasi respons nonspesifik dan respons adaptif akan membersihkan tubuh dari virus dan jika responsnya kuat, akan bisa mencegah progresivitas penyakit atau kemungkinan tertular kembali. Proses ini biasanya bisa dilihat dari adanya antibodi dalam darah.
Sejalan dengan makin banyaknya pemeriksaan antibodi, ide pemberian ”paspor kekebalan” mengkhawatirkan. ”Saat ini tidak ada bukti bahwa orang yang sembuh dari Covid-19 dan memiliki antibodi terhadap SARA-CoV-2 terlindungi dari infeksi kedua,” kata WHO.
Pemeriksaan antibodi terhadap SARS-CoV-2, termasuk tes cepat, perlu validasi sehingga akurasi dan keandalannya terjamin sebab ada banyak jenis virus korona. Tes antibodi yang tidak akurat bisa berakibat pada dua, yaitu negatif yang salah (false negatif) atau positif yang salah (false positif).
Hasil negatif yang salah bisa terjadi jika seseorang mengalami gangguan atibodi atau tubuh belum memproduksi antibodi yang dicari. Adapun positif yang salah bisa disebabkan oleh reaksi silang dari virus lain, misalnya virus korona di luar SARS-CoV-2 atau virus dengue, dan infeksi virus korona di masa lampau.
”Jika saya pernah terinfeksi virus korona baru, saya tidak bahaya,” kata Lothar Kopp, warga Berlin, Jerman. Ia berharap hasil pemeriksaan antibodi yang positif bisa memungkinkannya mengunjungi ibunya yang sudah lansia.
Jerman telah melakukan puluhan ribu pemeriksaan dan sejumlah negara lain juga sedang melakukan hal serupa.
Pekan lalu, Cile akan mulai memberikan ”paspor kesehatan” kepada orang yang dianggap sudah sembuh dari Covid-19. Ketika hasil pemeriksaan antibodi menunjukkan orang itu telah memiliki antibodi terhadap Covid-19, orang tersebut sudah boleh kembali bekerja.
WHO terus mengkaji bukti respons antibodi terhadap virus SARS-CoV-2. Sejauh ini, sekitar 2,8 juta orang di dunia telah terinfeksi virus ini dan 196.298 di antaranya meninggal.
Mayoritas studi telah menunjukkan bahwa orang yang sembuh dari penyakit ini memiliki antibodi terhadap virus SARS-CoV-2. Namun, beberapa di antara mereka memiliki kadar antibodi yang rendah dalam darahnya. Artinya, ”kekebalan di tingkat sel juga penting untuk pemulihan”. (REUTERS/AFP)