Khawatir untuk Pengembangan Senjata, AS Larang Ekspor Teknologi ke China
Selain bagi perusahaan AS, aturan baru juga diberlakukan pada perusahaan asing yang menjual produk AS. Perusahaan asing itu harus mendapat izin Pemerintah AS dan pemerintah negara tempat perusahaan itu terdaftar.
WASHINGTON, SELASA — Amerika Serikat mengesahkan peraturan yang melarang ekspor sejumlah produk teknologi ke China, Rusia, hingga Venezuela. Larangan itu akan menyulitkan pengembangan teknologi semikonduktor China yang beberapa waktu terakhir terpukul oleh pandemi Covid-19.
Menteri Perdagangan AS Wilbur Ross mengatakan, setiap perusahaan AS wajib mendapat izin ekspor produk yang berpeluang digunakan untuk menunjang militer China. Izin diperlukan meski produknya dipakai untuk keperluan sipil.
”Penting mempertimbangkan dampak berdagang dengan negara yang punya catatan mengalihkan produk dari produsen AS untuk keperluan militer,” ujar Ross, Senin (27/4/2020), di Washington.
Baca juga : AS Larang Penjualan Keolin ke China
Aturan baru itu diumumkan Senin kemarin dan dimasukkan ke lembaran negara pada Selasa ini. Selain kepada perusahaan AS, aturan baru itu juga diberlakukan kepada perusahaan asing yang menjual produk AS. Perusahaan asing itu harus mendapat izin dari Pemerintah AS dan pemerintah negara tempat perusahaan itu terdaftar sebelum mengekspor produk AS ke China, Rusia, dan sejumlah negara lain.
”Pengguna militer tidak selalu organisasi militer. Penggunaan untuk militer dapat berupa perusahaan sipil yang berniat mendukung penggunaan perangkat militer,” kata Kevin Wolf, pengacara khusus perdagangan.
Senator Republik, Ben Sasse dan Tom Cotton, menyokong aturan itu. ”Sejumlah pihak di China, Rusia, dan Venezuela berusaha mengakali pengendalian ekspor AS dan melemahkan kepentingan AS. Jadi, kami akan tetap waspada untuk memastikan teknologi AS tidak jatuh ke tangan yang salah,” kata Sasse.
”Peraturan ini didasarkan pada dua fakta: perang modern didasarkan pada teknologi tinggi dan pihak swasta China sebenarnya palsu. Presiden Xi (Jinping) menghapus batas jelas antara pengusaha China dan militer. Kita tidak memenangi perang dingin dengan menjual rudal jelajah ke Uni Soviet. Kita tidak akan mengalahkan China dengan menjual semikonduktor kepada Tentara Pembebasan Rakyat (PLA),” tutur Sasse.
Mereka menuding sejumlah perusahaan teknologi China sebagai kepanjangan tangan PLA untuk mengakses teknologi AS.
Bersama Cotton dan Marco Rubio, Senator dari Florida, Sasse, sejak lama mendesak pelarangan ekspor semikonduktor dan teknologi terkait ke China. Mereka menuding sejumlah perusahaan teknologi China sebagai kepanjangan tangan PLA untuk mengakses teknologi AS.
Pada Januari 2019, Cotton dan Sasse mengajukan rancangan undang-undang untuk melarang ekspor produk teknologi ke China. Larangan ini berlaku pula untuk produk yang dibuat berdasarkan paten yang dimiliki warga atau badan usaha AS. Setelah lebih dari setahun, AS akhirnya mengeluarkan peraturan soal pembatasan.
Dampak bagi China
Belum ada keterangan resmi dari China atas keputusan baru AS tersebut. Selama bertahun-tahun, China selalu menentang upaya pembatasan impor teknologi ke Beijing. Meski menjadi pusat produksi aneka produk teknologi mutakhir, China amat bergantung pada impor. Sebab, China belum bisa memproduksi teknologi sesuai standar kebutuhan masa kini.
Baca juga : Puputan Pasifik 4.0
Hal itu antara lain berlaku untuk peranti penyimpan yang bisa diakses tanpa menggunakan daya listrik (NAND flash) yang dibutuhkan ponsel, komputer, mobil transmisi otomatis, hingga televisi terbaru. Perusahaan Korea Selatan, Samsung dan SK Hynix, mengontrol 45,1 persen pasar NAND flash global.
Adapun Jepang lewat Kioxia dan AS lewat Western Digital, Micron Technology, dan Intel mengendalikan lebih dari 50 persen pasar NAND flash global. Di sisi lain, separuh pembelian NAND flash global berasal dari aneka pabrik di China.
Fakta itu berlaku pula untuk peranti penyimpan penyimpanan dinamis (DRAM) yang dibutuhkan pada setiap ponsel, komputer, hingga televisi terbaru. Samsung, SK Hynix, dan Micron memasok 95 persen kebutuhan pasar global.
Dengan demikian, sebagaimana dilaporkan Financial Times, perusahaan China, seperti Xiaomi, Huawei, ZTE, dan Lenovo, amat bergantung pada impor untuk menghasilkan produk mutakhir yang diterima secara global.
Ketergantungan juga terjadi karena ASML, perusahaan Belanda, merupakan satu-satunya penyedia mesin cetak berbasis ultraviolet yang dibutuhkan dalam produksi prosesor 7 nanometer (nm) yang merupakan standar terbaru. Sementara perusahaan China baru bisa memproduksi prosesor 28 nm. Padahal, ponsel masa kini membutuhkan prosesor berukuran paling besar 14 nm.
Nikkei melaporkan, pada 2018 Washington menekan Amsterdam agar ASML tidak mengekspor mesin mutakhirnya ke Beijing.
Pasar mesin untuk memasukkan miliaran transistor dan komponen lain dalam satu keping pengolah informasi (cip) dikendalikan oleh AS lewat Lam Research dan Applied Materials, serta oleh Jepang lewat Tokyo Electron Perusahaan AS lain, KLA-Tencor, menyediakan teknologi penguji dan pemantau kualitas produksi cip.
”Anda tak bisa membuat pabrik semikonduktor tanpa menggunakan perangkat dari produsen utama, yang tidak satu pun dari China. Berperang tanpa senjata akan kalah, dan mereka (China) tidak punya senjata,” kata Brett Simpson, peneliti lembaga kajian investasi Arete Research yang berbasis di London, kepada Financial Times.
Sejak 2014, Xi meluncurkan program untuk mengakhiri ketergantungan itu. Pada 2014, Beijing meluncurkan program Dana Besar untuk mendorong industri semikonduktor. Sebagaimana dilaporkan The Economist dan Nikkei Asian Review, China mengucurkan 19,8 miliar dollar AS untuk memacu industri semikonduktornya. Beijing menargetkan 40 persen kebutuhan semikonduktor nasional dipenuhi dari dalam negeri pada 2020 dan dipacu ke aras 70 persen pada 2025.
Baca juga : Samsung Cari Pemasok Baru
Sejumlah perusahaan swasta terlibat dalam inisiatif itu, antara lain lewat Yangtze Memory yang berbekal 24 miliar dollar AS dari Tsinghua Unigroup dan Dana Besar. Pada 2015, Tsinghua gagal membeli saham di Micron dan Western Digital karena dilarang Washington.
Sementara pada 2016, upaya Tsinghua membeli Siliconware Precision Industries, Powertech Technology dan ChipMOS Technologies, seluruhnya perusahaan Taiwan, digagalkan Taipei yang sedang tegang dengan Beijing.
Selain berupaya membeli perusahaan asing, Tsinghua melalui Yangtze berusaha menjadi produsen dengan membuat pabrik di Wuhan, pusat pandemi Covid-19 dan diisolasi total pada 23 Januari-7 April 2020. Sebagian pabriknya belum selesai dibangun kala Wuhan diisolasi. Perusaahaan lain di Wuhan juga menghadapi kendala serupa, kesulitan menyelesaikan pembangunan pabrik. Sebab, isolasi membuat teknisi asing tidak bisa masuk Wuhan.
(AP/REUTERS)