Timur Tengah Makin Dekat ke China
Negara-negara Timur Tengah dan Afrika Utara tak lagi berharap kepada AS dan Eropa di tengah wabah Covid-19. Negara-negara itu kini berpaling kepada China yang mampu memenuhi kebutuhan mereka.
Sejumlah analisis dan prediksi menyebutkan bahwa dampak merebaknya wabah Covid-19 saat ini akan mengubah peta hubungan internasional. Dalam konteks ini, China disebut-sebut akan semakin memegang kendali peta baru hubungan internasional dengan menggeser Amerika Serikat dan Eropa.
Ditambahkan pula, hal itu serta-merta akan membuka jalan bagi segera terwujudnya megaproyek Prakarsa Sabuk dan Jalan (Belt and Road Initiative/BRI) China. Megaproyek ini diprakarsai China pada tahun 2013 untuk investasi dan pembangunan infrastruktur di 152 negara yang membentang dari Asia hingga Afrika, Timur Tengah, Eropa, dan Amerika.
China dilansir telah meraih keuntungan 1,4 miliar dollar AS dari hasil ekspor peralatan medis terkait Covid-19 ke mancanegara pada Maret 2020 saja. Wabah Covid-19 diketahui berasal dari kota Wuhan, Provinsi Hubei, China bagian tengah, Desember 2019.
Bersamaan dengan menyebarnya wabah itu ke hampir seluruh dunia, China mengambil keuntungan besar dari ekspor peralatan medis ke mancanegara. China saat ini memproduksi 50 persen kebutuhan peralatan medis dunia.
Baca juga : China Rengkuh Dunia via ”Diplomasi Korona”
Dalam situasi seperti itu, negara-negara di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara juga tidak bisa lepas dari pengaruh China. Akhir-akhir ini, pesawat- pesawat dari Tunisia, Aljazair, Maroko, Mesir, Arab Saudi, dan Iran semakin intensif terbang ke China untuk mengambil bantuan atau membeli peralatan medis dari negara itu.
Publik dan para elite di banyak negara di Timur Tengah dan Afrika Utara saat ini semakin kuat mendorong jalinan kemitraan yang kokoh dengan China. Ketika AS dan Eropa menutup pintu bantuan—lantaran kerepotan sendiri menangani penyebaran Covid-19— China hadir mengisi kekosongan dengan membantu peralatan medis, logistik, dan keuangan ke negara-negara Timur Tengah dan Afrika Utara.
Mantan Menteri Perdagangan Tunisia Mohsen Hassan, seperti dikutip harian Asharq al-Awsat, mengatakan bahwa ketergantungan negara-negara Maghrib Arab (Tunisia, Aljazair, Maroko, Mauritania, dan Libya) terhadap Perancis dan negara Eropa lain terkait perdagangan, investasi, dan pariwisata telah berakhir. Sudah waktunya, katanya, negara Maghrib Arab dan dunia Arab mencari alternatif pasar baru, seperti China, sebagai mitra baru.
Baca juga : Bangsa Arab, Belajarlah ke Asia
Mantan Wakil Gubernur Bank Sentral Tunisia Ahmed Karam mengungkapkan, hubungan China dan negara Maghrib Arab sudah dimulai sejak tahun 1980-an dan terus berkembang pada 1990-an. Hubungan itu terakhir ini mulai menggeser hubungan historis Maghrib Arab dan Eropa.
Karam menyebut, 70 persen impor negara Maghrib Arab saat ini berasal dari China dan negara Asia lain.
Melatih dokter Saudi
Seperti halnya negara Maghrib Arab, Arab Saudi pun tak lepas dari peran China dalam membendung penyebaran Covid-19. Harian Asharq al-Awsat edisi 27 April 2020 menyebutkan, Arab Saudi telah menandatangani kontrak dengan China untuk mengimpor semua peralatan medis terkait wabah Covid-19 dari China.
Kini terdapat 500 dokter spesialis dari China yang bekerja di sejumlah rumah sakit di Arab Saudi yang khusus menangani pasien Covid-19. Para dokter dari China itu juga melatih dokter-dokter Arab Saudi dalam menangani pasien Covid-19.
Arab Saudi menetapkan target untuk menggelar tes cepat (rapid test) terhadap 14,5 juta penduduk negara itu. Angka tersebut merupakan 40 persen dari keseluruhan penduduk Arab Saudi yang berjumlah 33,7 juta jiwa.
Dalam upaya mencapai target itu, Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz al-Saud pada pertengahan April lalu menelepon Presiden China Xi Jinping untuk meminta China segera mengekspor semua peralatan medis terkait Covid-19 ke Arab Saudi.
Kini terdapat 500 dokter spesialis dari China yang bekerja di sejumlah rumah sakit di Arab Saudi yang khusus menangani pasien Covid-19.
Arab Saudi juga telah mendapat tawaran dari China untuk investasi membangun pabrik yang memproduksi peralatan medis, terutama yang terkait dengan penanganan virus. Direktur Badan Urusan Kota Industri dan Teknologi (Mudun) Arab Saudi Khaled Salem mengatakan, para investor dan industriawan Arab Saudi saat ini harus mengambil manfaat dari pasar medis internasional, khususnya dari China, untuk keperluan alih teknologi.
Ekspansi China juga merambah Irak. Di tengah wabah Covid-19, China dan Irak pada awal April lalu menandatangani kontrak senilai 203,5 juta dollar AS untuk renovasi ladang gas di wilayah Majnoon, Provinsi Basrah. Proyek renovasi ini akan berlangsung selama 29 bulan, bertujuan untuk meningkatkan daya produksi kilang gas itu hingga mencapai 4,39 juta meter kubik per hari. Letak ladang gas Majnoon berdekatan dengan ladang minyak Majnoon, ladang minyak terbesar di Irak.
Sebelumnya, ketika berkunjung ke Beijing pada September 2019, PM Irak Adil Abdul Mahdi menandatangani megaproyek ”Pembangunan dengan Imbalan Minyak” dengan China senilai 500 miliar dollar AS selama minimal 10 tahun. Megaproyek tersebut menegaskan, China akan membangun infrastruktur, rel kereta api dan gerbong kereta api, jaringan komunikasi, fasilitas kesehatan, pendidikan, media, dan finansial di Irak dengan imbalan Irak mengekspor 100.000 barel minyak per hari ke China di luar kuota yang ditetapkan OPEC.
Harapan Iran
Adapun hubungan Iran dan China semakin strategis pascablokade AS atas Iran dan munculnya wabah Covid-19. Menurut laporan tahunan badan bea cukai Iran, nilai ekspor komoditas Iran ke China pada tahun 2019 mencapai 9 miliar dollar AS, berbanding nilai impor Iran dari China 11,2 miliar dollar AS.
Iran kini memandang China adalah mitra dagang utamanya. Teheran menaruh harapan sangat besar kepada China untuk meringankan beban blokade AS. Iran juga berharap China tidak mematuhi sanksi AS.
Baca juga : China Rangkul Iran-Saudi
Majalah bulanan Petroleum Economist melansir, China akan menanam investasi senilai 280 miliar dollar AS di sektor minyak, gas, dan petrokimia di Iran. China berjanji pula akan menanam investasi tambahan senilai 120 miliar dollar AS di sektor infrastruktur dan perminyakan di Iran.
Sebaliknya, Iran memutuskan kebijakan bebas visa terhadap wisatawan China yang akan berkunjung ke Iran. Pemerintah Iran juga akan memberi kemudahan pemberian izin kepada investor China untuk membangun perhotelan dan fasilitas wisata.
Presiden China Xi Jinping telah mengunjungi Teheran pada tahun 2016 serta bertemu dengan Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei dan Presiden Iran Hassan Rouhani. Xi saat itu berjanji kepada Ali Khamenie bahwa China akan membantu ekonomi Iran dan akan mengirim banyak wisatawan China ke Iran.
Presiden China Xi Jinping telah mengunjungi Teheran pada tahun 2016 dan berjanji kepada Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei untuk membantu ekonomi Iran.
China dilansir mengimpor minyak berkisar 230.000 barel hingga 650.000 barel per hari. Beijing membayar 30 persen dari nilai impor minyak dari Iran itu berupa proyek pembangunan yang dilaksanakan China di Iran, seperti pembangunan jalan raya, rel kereta api, dan pabrik-pabrik. Adapun 30 persen lainnya dibayarkan atau dibarter dengan ekspor komoditas China ke Iran. Sisanya 40 persen dibayarkan berupa uang tunai yuan, mata uang China, bukan dollar AS, guna menghindari sanksi AS.
Perusahaan minyak China kini menggantikan perusahaan minyak Eropa yang mengundurkan diri dari kontrak di Iran karena khawatir terhadap sanksi AS.
Hubungan China-Iran tidak terbatas soal minyak, tetapi juga menyangkut banyak sektor. Teheran berusaha membujuk China agar terus meningkatkan investasi di Iran dengan melibatkan Iran dalam proyek Sabuk dan Jalan yang membentang dari China hingga Eropa.
Iran telah menawarkan kepada China untuk membangun pabrik di kawasan dekat perbatasan dengan Pakistan, Irak, Turki, dekat Teluk Persia, dan Teluk Oman sehingga memudahkan dan mempercepat ekspor ke luar negeri dari Iran langsung. Sebaliknya, China sangat tertarik membangun pabrik di Iran karena ingin memanfaatkan upah buruh murah di Iran.