Inggris Kini Catat Kematian Korona Terbanyak di Eropa, Apa yang Terjadi?
Pandemi penyakit membuktikan bagaimana pentingnya mengambil kebijakan berdasarkan bukti ilmiah dengan cepat. Gagal melakukan ini dengan benar, dampaknya akan sangat besar.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·4 menit baca
Pada hari Selasa (5/5/2020), Inggris menjadi negara pertama di Eropa yang melaporkan kasus meninggal akibat Covid-19 sebanyak 32.000 kasus. Data terbaru ini menjadikan Inggris sebagai negara Eropa yang paling buruk terdampak pandemi Covid-19.
Pemerintah Inggris menyatakan bahwa 28.734 orang telah meninggal akibat Covid-19 di rumah sakit, panti jompo, dan tempat-tempat lain. Angka ini merupakan pasien yang sudah terkonfirmasi positif Covid-19 berdasarkan pemeriksaan reaksi rantai polimerase (PCR) di laboratorium. Padahal, pemeriksaan PCR belum dilakukan secara luas.
Kantor Nasional Statistik Inggris kemudian memasukkan 7.000 lebih data warga Inggris dan Wales yang meninggal dengan status terduga Covid-19 untuk memberikan gambaran utuh dampak penyakit ini di wilayah Inggris Raya. Dengan tambahan data itu, angka kematian di Inggris terkerek naik menjadi 32.313 orang.
Pemerintah Inggris pun menjadi sorotan dan mendapat kritik tajam dari kalangan ilmuwan yang menyatakan bahwa pemerintah mengabaikan pengendalian epidemi yang mendasar.
Politisi oposisi menyatakan, data itu membuktikan bahwa pemerintah terlalu lamban dalam menyediakan alat pelindung diri bagi petugas medis di rumah sakit dan menggelar pemeriksaan yang luas.
Respons dipertanyakan
Lalu, mengapa di Inggris bisa terjadi seperti itu? Apa sebenarnya yang terjadi di Inggris?
Ratusan ahli kesehatan telah mempertanyakan respons Pemerintah Inggris dalam menghadapi pandemi ini. Mereka menertawakan klaim pemerintah yang ”mengikuti sains”.
Selama berminggu-minggu Inggris fokus pada pemeriksaan yang luas dengan menargetkan 100.000 tes Covid-19 sehari pada akhir April 2020. Target itu terpenuhi, tetapi gagal menahan laju infeksi.
Para ahli epidemi memberikan peringatan bahwa fokus berlebihan pemerintah pada tes telah mengabaikan unsur yang sama pentingnya dalam pengendalian wabah, yaitu pelacakan dan isolasi kontak. Menurut pakar kesehatan dari Newcastle University, Allyson Pollock, Inggris mengabaikan panduan mengendalikan wabah dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
”Pemerintah terlalu fokus dengan tes dan strategi mereka justru membingungkan,” ujar Pollock.
Para ahli epidemi memberikan peringatan bahwa fokus berlebihan Pemerintah Inggris pada tes telah mengabaikan unsur yang sama pentingnya dalam pengendalian wabah, yaitu pelacakan dan isolasi kontak.
Pakar kesehatan masyarakat dari London School of Hygiene and Tropical Medicine, Annelies Wilder-Smith, menyampaikan bahwa sangat meresahkan mengetahui Pemerintah Inggris tidak punya rencana mengisolasi kontak kasus terpisah dari komunitas. ”Jika kontak kasus yang berpotensi positif tidak diisolasi, lalu mereka akan tinggal di rumah dan menularkan pada teman dan keluarganya,” kata Wilder-Smith.
Baru-baru ini, Departemen Kesehatan Inggris menyatakan bahwa mereka akan melatih 18.000 petugas untuk melacak kontak kasus positif guna memantau penyebaran virus korona baru. Petugas tersebut akan diterjunkan pada pertengahan Mei ini. Namun, tidak dijelaskan secara rinci bagaimana program ini akan berjalan.
Terlambat merespons
Selain terlalu fokus pada pemeriksaan, Pemerintah Inggris juga dinilai terlambat merespons pandemi. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sudah menyatakan bahwa Covid-19 merupakan darurat kesehatan global pada 30 Januari 2020, tetapi baru pada 5 Maret 2020 Inggris menyatakan Covid-19 ”dapat dilaporkan”, yang artinya mengharuskan dokter melaporkannya.
Pada pertengahan Maret 2020, BBC melaporkan bahwa ada lebih dari 200 ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu yang menulis surat terbuka berisi desakan kepada Pemerintah Inggris untuk menerapkan intervensi kesehatan yang lebih ketat dalam menghadapi Covid-19.
Dalam surat itu, para ilmuwan menyatakan bahwa pendekatan yang diambil Inggris dalam menghadapi pandemi akan ”menempatkan lebih banyak nyawa terancam”. Mereka juga mengkritisi komentar Kepala Penasihat Ilmiah Pemerintah Inggris Sir Patrick Vallance yang mengatakan soal mengatur laju infeksi agar terbentuk kekebalan kelompok.
Meski tidak melakukan intervensi kesehatan dengan benar di luar melakukan tes dan dinilai terlambat merespons pandemi, sejumlah ahli kesehatan memuji respons Pemerintah Inggris. Jeremy Farrar dari Wellcome Trust berpendapat bahwa fokus pada pemeriksaan sambil merencanakan rencana berikutnya, seperti yang dilakukan Pemerintah Inggris, sudah benar.
Masalahnya, ujar David McCoy, profesor kesehatan masyarakat global dari Queen Mary of London, respons pemerintah terhadap pandemi terlalu dipengaruhi oleh pemodelan matematika dibandingkan intervensi wabah yang sudah baku.
Respons Pemerintah Inggris terhadap pandemi terlalu dipengaruhi oleh pemodelan matematika, berdasarkan asumsi yang bisa benar atau bisa salah, dibandingkan intervensi wabah yang sudah baku.
”Pemodelan hanya menghasilkan skenario berdasarkan asumsi yang bisa benar atau juga bisa salah dan pemodelan tidak memberi tahu apa yang harus dilakukan,” kata McCoy. Kebijakan penutupan wilayah, misalnya, dipicu oleh para ahli pemodelan yang memperkirakan bahwa pada skenario terbaik kemungkinan akan ada 250.000 kasus meninggal.
Para ilmuwan yang lain menyatakan, sikap Inggris yang dengan sengaja menarik diri dari pembahasan Covid-19 di Eropa telah membuat negara itu merugi. Pada Maret lalu, misalnya, Inggris gagal ikut serta dalam program pengadaan ventilator Uni Eropa dengan alasan surat elektronik tentang program itu hilang. Padahal, saat ini masih memungkinkan bagi Inggris untuk mengikuti program UE karena periode transisi Brexit masih berlaku hingga akhir tahun nanti. (AP)