Benahi Perlindungan ABK Perikanan Indonesia di Kapal Ikan Asing
Beratnya beban dan kerentanan awak kapal tangkap ikan asal Indonesia yang bekerja di kapal ikan asing membutuhkan penguatan perlindungan. Upaya pembenahan perlu dilakukan sejak dari hulu, yaitu saat mereka direkrut.
Oleh
B Josie Susilo Hardianto
·5 menit baca
Jangan ditanya apakah mereka pernah rindu. Selama setahun meniti ombak, tanpa sekali pun melihat daratan, mereka telah membenamkan dalam-dalam rasa rindu itu pada tiap butir air mata. Kadang mereka ”melampiaskan” rasa cemas dan khawatir hanya dengan menatap foto kerabat atau keluarga di rumah. Demikian awal cerita saat tiga awak kapal Long Xin 629, F, FB, dan BD, mengisahkan cerita mereka, Rabu (6/5/2020) petang.
Mereka meninggalkan Pelabuhan Busan, Korea Selatan, pada 14 Februari 2019. Hari-hari pertama mereka di atas Long Xin 629 diisi dengan latihan sekaligus praktik memancing menggunakan perangkat long line karena sebagian besar awak kapal asal Indonesia di atas Long Xin 629 tidak memiliki pengalaman melaut.
F mengatakan, setiap hari, pekerjaan biasanya dimulai pukul 22.00 atau 24.00 saat tim setting menyiapkan perangkat pancing dan umpan. Pekerjaan itu menghabiskan waktu hingga 10 jam. Lalu mereka digantikan oleh tim penarik dan pemroses hasil tangkapan. ”Jam kerja tim ini berkisar dari pukul 11.00 hingga 04.00, dengan kalkulasi setiap 6 jam istirahat makan, dan itu hanya dikasih waktu untuk setiap ABK (anak buah kapal) 10-15 menit karena untuk bergantian dengan teman-teman yang lain,” kata F.
Tak jarang, tim setting pun terlibat dalam pekerjaan itu. Apabila hasil tangkapan buruk—artinya tidak ada tangkapan sama sekali—mereka harus bekerja dari pukul 10.00 hingga sore keesokan harinya, tanpa tidur. Ditambah menu makan yang kurang baik—biasanya menggunakan ayam beku atau ikan umpan serta sayur yang sudah tidak segar—kondisi fisik mereka rentan. Air minum pun biasanya dari air laut yang disuling. Sempat selama tiga bulan, mesin penyuling rusak.
Mereka menduga, keempat rekan mereka meninggal—tiga di antaranya meninggal saat melaut, rata-rata dengan indikasi sama, yaitu bengkak-bengkak, batuk, dan sesak napas—karena dipicu oleh beban kerja, pola kerja, dan kualitas makanan yang kurang memadai.
Saat pertama kali rekan mereka meninggal dan hendak dilarung atau dimakamkan di laut, mereka sempat protes. Alasannya, karena dalam surat pernyataan yang mereka tandatangani disebutkan, apabila terjadi kematian, korban akan diperabukan di mana kapal sandar dan abu akan dipulangkan ke Indonesia. Namun, karena menurut kapten mereka meninggal disebabkan penyakit menular, jenazah dilarung. F mengaku mereka sempat diminta membubuhkan tanda tangan atau cap jempol di selembar surat yang ditulis dengan aksara China. ”Kami menduga itu surat pernyataan persetujuan karena ada nomor paspor dan foto S,” kata F.
Terkait pelarungan, Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi dalam telekonferensi, Kamis (7/5/2020), di Jakarta mengatakan, Indonesia telah mengirim nota diplomatik kepada Pemerintah China. Selain itu, Kemenlu juga memanggil Duta Besar China di Jakarta untuk meminta klarifikasi dan informasi valid sekaligus tindak lanjut atas permasalahan yang menyangkut ABK WNI yang bekerja di kapal ikan berbendera China, serta meminta dukungan Beijing atas pemenuhan tanggung jawab perusahaan atas hak, termasuk gaji yang belum dibayarkan kepada ABK WNI yang meninggal.
Menurut Retno, Dubes China di Jakarta akan menyampaikannya ke Beijing serta akan memastikan perusahaan China bertanggung jawab mematuhi hukum yang berlaku dan kontrak yang disepakati. Selain itu, Retno juga mendorong agar proses pengiriman awak kapal sektor penangkapan ikan dibenahi dari hulu. Langkah itu penting untuk memastikan perlindungan dan jaminan keselamatan saat mereka bekerja.
Ratifikasi
Dihubungi secara terpisah, Ratih Pratiwi Anwar, peneliti pada Pusat Studi Asia Pasifik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, mengatakan perlu pembenahan dan implementasi peraturan terkait perlindungan pekerja penangkapan ikan. Ia pun mendorong agar pemerintah meratifikasi Konvensi ILO Nomor 188 tentang Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan (Works in Fishing). ”Karena sifat pekerjaan di atas kapal berisiko tinggi terhadap kesehatan dan keselamatan pelaut,” kata Ratih.
Desakan serupa disampaikan lembaga advokasi independen Indonesia Ocean Justice Initiative. Mereka meminta Pemerintah RI segera meratifikasi konvensi itu. ILO C-188 merupakan instrumen internasional yang mengatur bentuk-bentuk perlindungan kepada ABK perikanan dan mekanisme untuk memastikan kapal-kapal ikan mempekerjakan ABK dengan kondisi layak. Konvensi itu juga membahas perlindungan yang sifatnya khusus untuk industri perikanan yang memiliki risiko pekerjaan sangat tinggi. Hal yang diatur dalam C-188 antara lain umur minimal untuk bekerja, standar perjanjian kerja laut, perlindungan ABK, serta kewajiban jaminan sosial dan kesehatan.
”Meskipun pada tahun 2016 Indonesia sudah meratifikasi ILO Convention on Maritime Labour Convention 2006 melalui UU Nomor 15 Tahun 2016 yang di dalamnya mengatur mengenai pemberian jaminan sosial, hak-hak pekerja, serta kesempatan kerja yang adil bagi pelaut, MLC 2006 secara eksplisit mengecualikan keberlakuan tersebut untuk ABK di kapal ikan,” kata Chief Executive Officer Indonesia Ocean Justice Initiative Mas Achmad Santosa dalam keterangan tertulis.
Satu pintu
Dihubungi secara terpisah, Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan Zulficar Mochtar berpendapat senada. Menurut dia, secara substansi, konvensi itu diperlukan untuk perbaikan kondisi kerja anak buah kapal di atas kapal perikanan. Selain itu, sebagaimana dikemukakan Retno, Zulficar pun mengatakan perlunya pembenahan serius untuk menempatkan anak buah kapal di luar negeri.
Setidaknya, proses sejak awal dilakukan satu pintu. Selain menjamin pendataan, calon anak buah kapal pun memiliki standar kompetensi serta memudahkan pengawasan dan pemantauan. ”Karena itu, pembenahannya perlu menyeluruh, mulai dari one channel recruitment process, sehingga semua pihak terkait terintegrasi. Lalu pendataan harus valid. Selanjutnya pembenahan standar kompetensi,” kata Zulficar melalui layanan Whatsapp.
Ia berharap rancangan peraturan pemerintah tentang awak kapal niaga dan perikanan Indonesia—di mana model satu pintu sudah diakomodasi—segera disahkan. (BEN)