Dampak paling berat pandemi Covi-19 bakal dialami negara-negara yang rentan. Dampaknya dobel, yaitu dampak kesehatan dan sosial ekonomi ikutannya dari resesi yang disebabkan oleh pandemi.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·3 menit baca
NEW YORK, JUMAT — Perserikatan Bangsa-Bangsa menyerukan pemerintah, perusahaan, dan miliarder untuk berkontribusi memenuhi kebutuhan dana 6,7 miliar dollar AS untuk memerangi Covid-19 di negara-negara yang rentan. Kegagalan memenuhi kebutuhan ini akan membawa pada ”pandemi kelaparan”, kerusuhan, dan lebih banyak konflik.
Koordinator Urusan Kemanusiaan dan Bantuan Darurat Sekretariat Jenderal PBB Mark Lowcock mengatakan, ”Covid-19 telah berdampak pada semua negara dan hampir seluruh orang di planet ini.”
Menurut dia, nilai bantuan yang diperlukan sebesar 2 miliar dollar AS yang disampaikan PBB pada 25 Maret dinaikkan karena sudah ada bukti bahwa pandemi ini menyebabkan penurunan pendapatan, kehilangan pekerjaan, terbatasnya pasokan bahan makanan, harga-harga yang naik, imunisasi untuk anak-anak terhambat, dan anak-anak tidak mendapat cukup makanan.
Dalam konferensi video, Lowcock menuturkan bahwa negara-negara termiskin di dunia menghadapi ”pukulan ganda”, yaitu dampak kesehatan dari Covid-19 dan ”dampak resesi global”.
Penutupan wilayah dan resesi ekonomi berarti pandemi kelaparan bagi jutaan orang. ”Kita harus bersiap-siap menghadapi naiknya konflik, kelaparan, kemiskinan, dan penyakit ketika ekonomi, ekspor, remitansi, juga turis anjlok dan sistem kesehatan kolaps,” kata Lowcock.
Dari target awal 2 miliar dollar AS, sejauh ini sudah terkumpul 1 miliar dollar AS yang termasuk sumbangan yang besar dari Jerman, Inggris, Komisi Eropa, juga kontribusi dari Jepang, negara-negara teluk, dan Kanada.
Ada 54 negara rentan yang menjadi sasaran penerima bantuan itu. Belakangan, negara calon penerima bertambah sembilan, yaitu Benin, Djibouti, Liberia, Mozambik, Pakistan, Filipina, Sierra Leone, Togo, dan Zimbabwe. Jumlah negara yang menjadi sasaran bantuan bisa saja bertambah.
Direktur Eksekutif Program Pangan dan Pertanian (FAO) David Beasley mengatakan, ada dua hal yang bisa mencegah kemungkinan kelaparan pada 265 juta penduduk dunia pada akhir tahun ini: memberikan uang dan tetap menjaga rantai pasok berjalan lancar.
Beasley mengilustrasikan, jika anak muda di perkotaan di Afrika kehilangan pekerjaan akibat dampak ekonomi dari pandemi, mereka tidak memiliki uang untuk diandalkan. ”Dan apabila mereka tidak mempunyai makanan, mereka akan protes, demonstrasi, terjadi kerusuhan, dan ketidakstabilan. Reaksi terhadap rentetan peristiwa itu sesudahnya akan membebani dunia puluhan kali lipat,” tutur Beasley. ”Jika dunia tidak merespons dengan pendanaan yang memadai, akan menjadi bencana besar.”
Di tempat terpisah, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyampaikan bahwa 190.000 penduduk Afrika bisa meninggal karena Covid-19 di tahun pertama pandemi jika intervensi untuk mengendalikan pandemi ini gagal.
Hasil studi dari kantor regional WHO di Brazzaville menemukan bahwa 83.000 hingga 190.000 penduduk bisa meninggal dan 29 juta-44 juta jiwa lainnya bisa terinfeksi Covid-19. Studi ini berdasarkan pemodelan yang mencakup 47 negara dengan satu miliar populasi di Afrika.
Para pakar mengatakan, Afrika sangat rentan terhadap wabah karena infrastruktur kesehatannya yang lemah, angka kemiskinan tinggi, konflik, dan kerentanan terhadap epidemi.
Namun, virus korona baru penyebab Covid-19 menyebar lambat di Afrika, tidak seperti di Eropa atau negara lain. ”Pemodelan ini memperkirakan penularan yang lebih lambat, umur lebih muda yang lebih parah terinfeksi, dan angka kematian yang lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara lain di dunia,” demikian pernyataan dari WHO.
”Penularan yang lebih lambat berarti wabah yang terjadi lebih berkepanjangan selama bertahun-tahun.” Afrika sejauh ini melaporkan 53.334 kasus Covid-19 dengan 2.065 kasus kematian.
Direktur WHO Afrika Matshidiso Moeti mengatakan, sementara tidak menyebar cepat secara eksponensial di Afrika, penyebaran di lokasi terdampak kemungkinan akan parah. Negara kecil dan negara seperti Aljazair, Afrika Selatan, juga Kamerun memiliki risiko yang tinggi kecuali mereka menerapkan kebijakan pengendalian yang ketat. (AP/AFP)