Tolak Kekebalan Komunitas, Singapura Tes 323.000 Pekerja Migran
Buruh migran dari beberapa negara, seperti Bangladesh dan India, terutama dipekerjakan di sektor konstruksi dan di galangan kapal. Mereka menyumbang 90 persen atau lebih dari total infeksi Covid-19 di Singapura.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·3 menit baca
SINGAPURA, RABU — Singapura berencana melakukan tes Covid-19 secara masif atas 323.000 pekerja migran yang tinggal di asrama-asrama di negara itu. Sebagai negara yang menolak kekebalan komunitas, maka sebagai cara menghadapi pandemi penyakit itu akan dilakukan tes masif selama beberapa pekan.
Tes massal itu juga dilakukan untuk memastikan dan menjadi pertimbangan otoritas setempat dalam upaya melonggarkan karantina atau pembatasan sosial. Diharapkan pula, pelonggaran kebijakan karantina akan memungkinkan para pekerja migran kembali bekerja agar kegiatan ekonomi bisa berjalan normal.
”Gugus tugas telah menyusun rencana untuk memungkinkan para pekerja migran yang tinggal di asrama dibersihkan secara progresif sehingga mereka dapat kembali bekerja dengan aman ketika saatnya tiba,” kata Menteri Kesehatan Gan Kim Yong.
Setidaknya saat ini ada 24.671 kasus infeksi Covid-19 di Singapura, salah satu yang tertinggi di Asia, di mana sebagian besar penularan berada di asrama-asrama pekerja migran. Gan menyatakan, jumlah kasus penularan di asrama-asrama pekerja migran cenderung stabil secara harian.
Buruh migran dari beberapa negara, seperti Bangladesh dan India, umumnya dipekerjakan di sektor konstruksi dan di galangan kapal. Mereka menyumbang 90 persen atau lebih dari total infeksi Covid-19 di Singapura.
Lawrence Wong, Ketua Bersama Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Singapura, mengungkapkan, sekitar 32.000 pekerja migran yang tinggal di asrama-asrama telah dites Covid-19. Butuh waktu beberapa pekan bakal untuk memastikan seluruh 323.000 pekerja migran itu dites Covid-19.
Pemerintah setempat tetap menjaga kewaspadaan seraya mengingatkan kasus penularan tetap relatif tinggi di tengah proses tes itu. Meskipun demikian, jumlah penularan harian terhadap mereka secara harian rata-rata turun menjadi sekitar 700 kasus pada pekan lalu dari lebih dari 1.000 kasus pada akhir April.
Kementerian Kesehatan Singapura, seperti dilaporkan media Nikkei Asian Review, menyatakan, tes antibodi akan dilakukan di lokasi dengan ”tingkat infeksi yang lebih tinggi”.
Warga yang ditemukan memiliki antibodi terhadap virus korona tipe baru penyebab Covid-19 akan diizinkan untuk kembali bekerja. Penghuni tanpa antibodi, dan mereka yang tinggal di asrama lain, akan menjalani pengujian reaksi berantai dengan metode polimerase (PCR).
Mereka yang dinyatakan negatif juga bakal diizinkan bekerja kembali. Sementara pekerja yang diduga terinfeksi akan diisolasi dan dirawat di rumah sakit atau di fasilitas khusus, seperti yang didirikan di dermaga atau tempat konvensi.
Beberapa usaha bisnis, seperti penata rambut, layanan binatu, dan pemasok hewan peliharaan, di Singapura telah dibuka kembali pada Selasa (12/5/2020). Namun, sebagian besar tempat kerja dan sekolah tetap tutup dan aktivitas makan di restoran tetap dilarang. Kebijakan penutupan wilayah dijadwalkan berlangsung hingga 1 Juni 2020.
Media Bloomberg melaporkan, Singapura menolak kekebalan komunitas (herd immunity) sebagai strategi dalam melawan pandemi Covid-19. Kekebalan komunitas dinilai mengandung risiko penularan terus-terusan hingga vaksin ditemukan dan siap digunakan.
”Harganya terlalu mahal untuk kita bayar,” kata Kenneth Mak, Direktur Pelayanan Medis Kementerian Kesehatan Singapura. ”Kekebalan komunitas bisa saja melampaui kemampuan kami—seberapa pun kuatnya kami menambahnya—dalam aneka langkah antisipasi penyiapan aneka lonjakan (kasus).”
Dengan kondisi masih bermunculannya kasus baru, Singapura tetap memilih menggelar tes Covid-19 secara lebih agresif. Penyaringan selektif terhadap mereka yang bergejala juga dilakukan dengan seiring.
Pemerintah Singapura bertekad meningkatkan kapasitas tes Covid-19 lima kali lipat, dari sekitar 8.000 menjadi 40.000 tes per hari pada akhir tahun ini.
Kekebalan komunitas terbentuk jika terdapat cukup banyak orang dalam suatu komunitas yang telah membentuk suatu kekebalan melalui penyakit atau vaksinasi sebelumnya. Para peneliti harus mengembangkan vaksin yang terbukti aman dan efektif melawan virus korona tipe baru itu.
Otoritas kesehatan pun harus memvaksin jumlah orang yang cukup. ”Mencapai kekebalan komunitas melalui infeksi alami akan sangat sulit dan akan mengakibatkan sejumlah besar infeksi dan komplikasi,” kata Vernon Lee, Direktur Penyakit Menular Kementerian Kesehatan Singapura. ”Kita harus menunggu keluarnya vaksin yang layak.” (REUTERS)