Pandemi yang Melambat di Afrika
Kecepatan penyebaran Covid-19 yang eksponensial tak berlaku di Benua Afrika. Sejak kasus pertama Covid-19 di Afrika muncul, Februari lalu, hingga kini laju penyebaran Covid-19 di benua tersebut berjalan lambat.
Pandemi Covid-19 menyebar dalam kecepatan yang eksponensial. Hanya dalam waktu hampir lima bulan, penyakit ini telah menginfeksi 4,2 juta orang di dunia, lebih dari 291.000 orang di antaranya meninggal dunia. Akan tetapi, tidak demikian halnya cerita di Afrika.
Ketika kasus pertama Covid-19 di Afrika dilaporkan oleh Mesir pada Februari 2020, negara-negara Afrika lainnya mulai bersiap menghadapi pandemi. Banyak yang memperkirakan bahwa ketika Covid-19 mulai menyebar di Afrika, negara-negara di benua itu akan sulit mengendalikannya. Sistem kesehatan yang rapuh, persoalan malanutrisi, perilaku higienitas yang belum memadai, dan beban penyakit lain yang juga banyak akan membuat negara-negara Afrika kewalahan menghadapi Covid-19.
Namun, apabila melihat data kasus yang dilaporkan di Afrika, penyebaran Covid-19 di sana bergerak lebih lambat dibandingkan dengan negara-negara di kawasan lain di dunia. Hingga Selasa (12/5/2020), kasus Covid-19 telah dilaporkan oleh 53 dari 54 negara di Afrika dengan jumlah kumulatif sebanyak 63.119 kasus, 2.331 orang di antaranya meninggal.
Baca juga: WHO: Tak Satu Negara Pun Bebas dari Ancaman Wabah Covid-19
”Ini agak aneh. Tidak seorang pun tahu apa penyebabnya,” ujar Evan Shoul, pakar penyakit infeksi di Johannesburg, Afrika Selatan, seperti dikutip BBC, 10 April 2020.
”Kami agak bingung,” kata Tom Boyles, pakar penyakit infeksi lainnya di Rumah Ssakit Helen Joseph di Johannesburg. ”Kami menyebutnya tidur sebelum badai. Kami sudah siap-siap, dan ini belum tiba juga. Aneh.”
Lambatnya laju infeksi Covid-19 di Afrika bisa disebabkan oleh rendahnya kapasitas tes negara-negara di Afrika. Di luar donasi 1,1 juta alat tes dari miliarder asal China, Jack Ma, mayoritas negara di Afrika tidak memiliki fasilitas yang memadai untuk melakukan konfirmasi kasus. Afrika Selatan, misalnya, sejauh ini baru melakukan tes sekitar 73.000 untuk 57 juta penduduknya.
Baca juga: Wabah Korona Merebak di Afrika, Jack Ma Sumbang 1 juta Peralatan Tes Covid-19
”Ini masih terlalu rendah dibandingkan dengan tantangan yang dihadapi Afrika Selatan,” kata Menteri Kesehatan Afrika Selatan Zweli Mkhize yang menargetkan hingga 30.000 tes sehari. Nigeria, negara dengan perekonomian terbesar di Afrika, pun hanya melakukan 5.000 tes untuk 190 juta penduduknya.
”Sistem pemeriksaan kewalahan,” kata seorang dokter di sebuah klinik swasta di Lagos, Nigeria, yang tak ingin disebutkan namanya. ”Butuh waktu untuk mendapatkan hasilnya,” ujar dokter itu. ”Soal akurasinya? Kami tidak tahu.”
Dalam wawancara eksklusif dengan laman globalhealthnow.org pada 31 Maret 2020, Direktur Pusat Pengendalian Penyakit (CDC) Afrika John Nkengasong mengakui bahwa kapasitas Afrika melakukan tes menjadi tantangan tersendiri. Belum lagi ketersediaan reagen yang diperlukan untuk melakukan tes. Tanpa tes yang masif, maka tidak akan diketahui seberapa besar dan luas sebaran Covid-19.
Akan tetapi, Nkengasong membantah anggapan bahwa banyak kasus Covid-19 tidak terdeteksi. Menurut dia, rumah sakit ”akan kebanjiran pasien” jika hal itu yang terjadi.
Nkengasong membantah anggapan bahwa banyak kasus Covid-19 di Afrika tidak terdeteksi.
Ketika wabah Covid-19 mulai merebak pada 22 Februari lalu, CDC Afrika mengumpulkan para menteri kesehatan se-Afrika untuk menyusun strategi bagi Afrika, termasuk membahas perluasan kapasitas tes. Pada Januari 2020, tidak ada satu pun laboratorium di Afrika yang bisa memproses pemeriksaan Covid-19, tetapi kini 48 negara Afrika sudah bisa melakukannya.
Laman The Africa Report, Selasa (5/5/2020), melaporkan bahwa ada sejumlah teori lain atau mungkin lebih tepatnya asumsi yang sering kali dipakai untuk menjelaskan mengapa penularan dan penyebaran Covid-19 di Afrika berlangsung lebih lambat dibandingkan dengan benua lain.
Iklim
Seperti virus penyebab flu, virus korona baru penyebab Covid-19 diyakini tidak tahan dengan suhu panas dan kering, seperti di Afrika. Argumentasi ini paling sering dilontarkan untuk menjelaskan mengapa kasus Covid-19 di Afrika tidak sebanyak di benua lain.
Akan tetapi, Wakil Presiden Urusan Internasional di Pasteur Institute Pierre-Marie Girard menyebutkan bahwa dalam uji coba di laboratorium virus korona baru tetap ”bereplikasi tanpa masalah di bawah suhu panas”.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga menyatakan bahwa siapa pun pada iklim apa pun bisa tertular Covid-19. Terpapar udara dengan sinar matahari atau suhu di atas 25 derajat celsius tidak dapat mencegah seseorang tertular. Negara dengan iklim panas pun, seperti negara-negara di Amerika Selatan, melaporkan banyak kasus Covid-19.
Populasi muda
Asumsi lain adalah karakter demografi Afrika yang didominasi oleh kaum muda. Bahkan, di negara-negara berbahasa Inggris di Afrika, ada ungkapan ”virusnya tua dan dingin, sementara Afrika itu muda dan panas”.
Mayoritas kasus Covid-19 yang parah di Afrika terjadi pada warga lanjut usia di atas 60 tahun. Sementara usia median penduduk di Afrika adalah 19,4 tahun, dan 60 persen penduduknya berusia 25 tahun ke bawah. Populasi penduduk berusia di atas 65 tahun di Afrika hanya 5 persen. Hal ini jauh berbeda dengan Italia, misalnya, yang populasi penduduk berumur di atas 65 tahun mencapai 23,1 persen.
Para ilmuwan menentang teori tersebut. Menurut mereka, meski mayoritas populasi Afrika berusia muda, mereka banyak terpapar penyakit lain, seperti HIV dan malanutrisi, yang justru bisa membuat mereka rentan terinfeksi.
Kepadatan penduduk
Dengan pengecualian di Afrika Selatan, Mesir, Maroko, dan Aljazair, kepadatan penduduk pada mayoritas negara Afrika lebih rendah daripada di negara-negara yang mengalami pandemi parah, seperti di Eropa Barat atau Amerika Utara.
Rata-rata kepadatan penduduk per 1 kilometer di Afrika adalah 42,5 penduduk. Angka ini lebih rendah dibandingkan dengan kepadatan penduduk di Italia yang mencapai 207 orang per kilometer persegi atau 275 per kilometer persegi di Inggris.
WHO menyebutkan aspek kepadatan penduduk yang rendah di Afrika ini sebagai hal yang positif.
WHO menyebutkan aspek kepadatan yang rendah ini sebagai hal yang positif. Namun, itu hanyalah angka rata-rata. Kota-kota seperti Lagos dan Abuja di Nigeria memiliki kepadatan penduduk yang tinggi.
Intensitas bepergian
Argumen lain untuk menjawab lambatnya penyebaran Covid-19 di Afrika adalah warga Afrika secara umum tidak banyak bepergian ke luar negeri, tidak seperti populasi penduduk di negara maju. Argumen ini diperkuat oleh fakta bahwa hanya terdapat satu bandar udara di Afrika yang masuk peringkat 50 bandara tersibuk di dunia, yaitu bandara di Johannesburg, Afrika Selatan.
Di luar asumsi-asumsi di atas, ada juga yang berteori bahwa warga Afrika mungkin memiliki semacam perlindungan dari virus korona baru karena sejumlah aspek medis, mulai dari imunisasi BCG, konsumsi obat HIV, hingga kemungkinan peran enzim yang berbeda pada warga penduduk Afrika dibandingkan dengan ras lain.
Hampir semua bayi di Afrika telah mendapat imunisasi BCG sejak mereka lahir sehingga cakupan imunisasi BCG terbilang tinggi. Vaksin ini bekerja dengan menstimulasi sistem kekebalan tubuh. Dengan mekanisme tersebut, akhirnya para pakar mulai meneliti potensi vaksin BCG untuk mencegah Covid-19.
Selain itu, dalam kaitannya dengan HIV adalah, Afrika memiliki kasus HIV yang tinggi di dunia sehingga konsumsi obat-obat antiretroviral (ARV) juga tinggi. Sejumlah penelitian awal memperlihatkan bahwa penggunaan beberapa obat ARV pada pasien Covid-19 menunjukkan hasil yang positif.
Namun, teori-teori itu belum bisa diverifikasi dengan bukti-bukti yang kuat. ”Cerita-cerita ini telah menyebar lama. Saya akan takjub kalau memang karena BCG. Ini semua adalah teori yang mungkin saja tidak benar,” kata Boyles.
”(Peran imunisasi BCG) ini hipotesis yang menarik, tetapi tidak lebih dari itu,” ujar Prof Salim Karim, pakar HIV Afrika Selatan. Ia mengecam para ”pakar instan” yang bermunculan dan memberikan pernyataan tanpa terverifikasi di media sosial.
Meski laju infeksi berjalan lambat, Nkengasong khawatir, Covid-19 sudah bersirkulasi di kelompok masyarakat yang rentan, seperti di permukiman kumuh di perkotaan. Hasil studi WHO menunjukkan bahwa apabila negara-negara di Afrika tidak bisa mengendalikan pandemi Covid-19, sebanyak 44 juta penduduk bisa terinfeksi dan 190.000 penduduk Afrika bisa meninggal.
”Namun, dengan laju infeksi yang lebih lambat, bisa berarti bahwa pandemi di Afrika bisa berlangsung lebih lama,” kata Nkengasong. (AFP)