AS menuding China memanfaatkan perhatian dunia yang terfokus mengatasi pandemi Covid-19 untuk meningkatkan kehadirannya di Laut China Selatan. Sebaliknya, China menuduh AS merecoki suasana dan memanas-manasi situasi.
Oleh
MH SAMSUL HADI
·5 menit baca
Di tengah kemelut pandemi Covid-19, China tidak menyurutkan aktivitasnya memperkokoh cengkeraman di Laut China Selatan. Kawasan ini makin tegang setelah AS dan Australia mengerahkan kapal-kapal perangnya. Tiga negara ASEAN (Filipina, Vietnam, dan Malaysia) berada di dalam pusaran ketegangan itu. Indonesia—yang pada Desember 2019 hingga awal 2020 bersitegang dengan China terkait Laut Natuna Utara—pun ikut angkat bicara.
Ketegangan akhir-akhir ini di Laut China Selatan membuat banyak kalangan cemas dan sekaligus gemas. Banyak pihak cemas karena situasi ini bisa memantik eskalasi konflik di kawasan. Selain itu, keadaan ini juga membuat gemas mengingat di tengah pandemi Covid-19 para pihak masih saja menghangatkan bara konflik di kawasan tersebut.
Tidak sulit mengidentifikasi pemicu ketegangan di Laut China Selatan akhir-akhir ini. Pada April lalu, China membentuk dua distrik administrasi baru dan memberi nama 80 fitur geografis di Laut China Selatan. Dua distrik baru itu, yakni Xisha dan Nansha, ditetapkan di bawah yurisdiksi kota Sansha di Provinsi Pulau Hainan, China selatan.
Filipina dan Vietnam, dua dari enam negara pengklaim dalam sengketa Laut China Selatan, memprotes langkah Beijing. Pada awal April lalu, kapal patroli penjaga pantai dan laut China bertabrakan dengan kapal nelayan Vietnam di dekat Kepulauan Paracel di kawasan itu. Otoritas kedua negara saling tuduh soal siapa menabrak siapa.
Dalam waktu hampir bersamaan, pada 1 April lalu, Beijing meluncurkan operasi ”Laut Biru 2020 (Blue Sea 2020)”. Operasi ini diumumkan untuk memberantas ”pelanggaran dalam eksplorasi dan eksploitasi minyak lepas pantai” serta konstruksi laut dan proyek pantai. Meski disebutkan bahwa operasi itu untuk menarget pelanggaran-pelanggaran domestik, South China Morning Post melaporkan, para ahli dan diplomat meyakini operasi itu bisa diperluas ke perairan sengketa di Laut China Selatan (South China Morning Post, 4 Mei 2020).
Sebulan sebelumnya, China membangun dua pos penelitian baru di perairan sengketa. Filipina juga mengajukan nota protes kepada China terkait ulah kapal perang China yang membidik kapal perang Filipina di perairan sengketa pada akhir Februari 2020. Tak ada penembakan, tetapi Manila menyebut hal itu tanda permusuhan nyata dari Beijing.
Ketegangan terus berlanjut hingga pertengahan April, melebar di wilayah perairan Malaysia.
Ketegangan terus berlanjut hingga pertengahan April, melebar di wilayah perairan Malaysia. Kapal China, Haiyang Dizhi 8, menggelar survei eksplorasi di dekat kapal The West Capella, yang dikontrak perusahaan energi Malaysia, Petronas, di zona ekonomi eksklusif (ZEE) Malaysia. Wilayah ini dilaporkan masih di wilayah sengketa, termasuk dengan Vietnam.
Situasi semakin memanas setelah kapal-kapal perang Amerika Serikat dan Australia dikerahkan ke area perairan tersebut. Namun, berbeda dari Filipina dan Vietnam, Malaysia tidak melontarkan protes keras. Pernyataan resmi yang dirilis Menteri Luar Negeri Malaysia Hishammuddin Hussein hanya memperingatkan bahwa kehadiran kapal-kapal itu ”berpotensi menaikkan ketegangan yang berujung pada salah perhitungan dan memengaruhi perdamaian, keamanan, dan stabilitas kawasan”.
Hishammuddin juga menyatakan sikap Malaysia untuk menyelesaikan semua sengketa itu ”dengan tenang melalui jalur damai, diplomasi, dan saling percaya di antara semua pihak terkait”.
Hari Jumat (15/5/2020), mengutip data situs pelacak pelayaran, Marine Traffic, kantor berita Reuters melaporkan Haiyang Dizhi 8 telah meninggalkan area sekitar ZEE Malaysia yang disengketakan itu. Tiga hari sebelumnya, operator West Capella juga menyatakan sudah meninggalkan lokasi setelah menuntaskan aktivitasnya.
Laut China Selatan merupakan salah satu titik panas konflik yang melibatkan kekuatan-kekuatan besar dunia. Selain strategis bagi jalur pelayaran dan perdagangan dunia, kawasan itu disebut-sebut menyimpan potensi kekayaan sumber daya alam bernilai triliunan dollar AS.
Pertanyaannya, setelah kapal beberapa pihak ditarik mundur, apakah kemudian ketegangan itu mereda?
Pola lama
Peneliti senior Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Indonesia, Evan A Laksmana, melihat apa yang dilakukan China akhir-akhir ini merupakan pola lama negara itu untuk mengokohkan klaim kedaulatannya atas Laut China Selatan. Ia menilai langkah agresif Beijing itu, yang dilakukan di tengah pandemi Covid-19, menunjukkan dua faktor, yaitu eksternal dan internal, yang memengaruhi tindakan negara tersebut.
”Ada semacam perasaan tak aman pada rezim yang berkuasa (di China), yang khawatir negara-negara lain mengeksploitasi sengketa ini. Kedua, langkah itu bisa juga upaya pengalihan persoalan domestik di China terkait penanganan pandemi di negara itu,” kata Evan.
Faktor eksternal itu merujuk pada Amerika Serikat (AS). Tekanan Washington terhadap Beijing dalam beberapa tahun terakhir semakin kuat. Ini tecermin dari rivalitas kedua negara dalam sejumlah isu: perang dagang, isu Hong Kong, posisi Taiwan, polemik soal asal-usul virus pemicu pandemi Covid-19, dan sengketa Laut China Selatan.
AS menuding China memanfaatkan perhatian dunia, yang terfokus mengatasi pandemi Covid-19, untuk meningkatkan kehadirannya di Laut China Selatan. Sebaliknya, China menuduh AS merecoki suasana dan memanas-manasi situasi.
Menurut Evan, respons keras Vietnam dan Filipina terhadap China memperlihatkan bahwa dua negara ASEAN itu tak akan membiarkan Beijing memaksakan kekuatan di wilayah sengketa. Adapun sikap lunak Malaysia dalam ketegangan akhir-akhir ini, lanjut Evan, dipengaruhi ketergantungan negara itu terhadap China, terutama di tengah pandemi.
”Secara ekonomi dan politik, cost yang harus ditanggung Malaysia lebih tinggi dibandingkan Vietnam (jika konfrontatif terhadap China),” kata Evan.
Indonesia tidak bersinggungan langsung dengan ketegangan di Laut China Selatan belakangan ini. Hal itu berbeda dengan pada Desember 2019 dan awal tahun 2020 saat kapal Haiyang Dizhi 8 melakukan aktivitas di Laut Natuna Utara.
Posisi Indonesia
Meski demikian, pada 6 Mei lalu, Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi mengeluarkan pernyataan berisi lima butir sikap Pemerintah Indonesia. Selain menyatakan prihatin atas situasi di kawasan, Indonesia menekankan pentingnya perdamaian dan stabilitas serta mengimbau semua pihak menahan diri serta menghormati hukum internasional, terutama Konvensi PBB tentang Hukum Laut atau UNCLOS 1982.
”Indonesia melihat, jika terjadi eskalasi ketegangan dan tak bisa dikelola dengan baik, hal itu akan berdampak tidak hanya pada perdamaian dan keamanan kawasan, tetapi juga mengganggu fokus semua negara mengatasi pandemi Covid-19, terutama terkait pasokan pangan, obat-obatan, dan alat kesehatan,” kata Beginda Pakpahan, pengamat internasional dari Universitas Indonesia.
Bagaimana jalan keluarnya? Seorang diplomat di Jakarta pernah menyebut ketegangan demi ketegangan di Laut China Selatan selama ini berakar pada posisi China yang berkeras mendasarkan klaim kedaulatannya pada prinsip ”sembilan garis putus-putus” (nine-dash line) di perairan itu. Prinsip ini tidak dikenal dan tidak diakui dalam hukum internasional, termasuk UNCLOS 1982.
Beginda masih percaya pada mekanisme regional ASEAN, termasuk negosiasi kode tata berperilaku (COC) dan landasan UNCLOS sebagai sarana penyelesaian sengketa di Laut China Selatan. Namun, Evan ragu kepada ASEAN, antara lain, karena faktor Kamboja, mitra dekat China. Ia menyebut perlunya kerja sama trilateral Indonesia, Vietnam, dan Malaysia di bidang maritim, termasuk kerja sama patroli bersama.