Perseteruan AS-China di Tiga Arena
Covid-19 menjadi arena pertarungan terbaru AS-China. Langkah Beijing mengirimkan tenaga dan alat kesehatan ke sejumlah negara diikuti peringatan Washington akan bahaya bermitra dengan China.
GENEVA, SENIN — Sidang Majelis Umum Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) di Geneva, Swiss, menjadi kemenangan diplomasi Amerika Serikat atas China. Hingga Senin (18/5/2020), 122 dari 194 anggota organisasi itu mendukung rancangan resolusi yang, antara lain, meminta pencarian asal Covid-19.
AS dan sejumlah sekutunya, termasuk Australia, terus mendorong penyelidikan independen soal Covid-19 dan secara jelas resolusi itu meminta Direktur Jenderal WHO mengevaluasi Covid-19 secara menyeluruh.
Baca juga: WHO Evaluasi Covid-19
Tak dimungkiri, isu Covid-19 menjadi arena pertarungan terbaru AS-China. Secara terbuka, Presiden AS Donald Trump dan Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo menyalahkan China soal Covid-19. Di berbagai forum, Pompeo berusaha mengajak mitra AS menggunakan ”Wuhan virus” untuk menyebut SARS-CoV-2 dan mengatakan, virus itu berasal dari China meski sejumlah pakar China, Eropa, dan AS menyatakan bahwa amat sedikit bukti SARS-CoV-2 buatan manusia.
Seperti dilaporkan media Hong Kong, South China Morning Post (SCMP), pakar Scripps Research Institute di California, Kristian Andersen, dan pakar epidemi National and Kapodistrian University di Athena, Dimitrios Paraskevis, sama-sama meragukan SARS-CoV-2 dikembangkan secara sengaja di laboratorium.
Presiden China Xi Jinping berusaha membalikkan keadaan. Media China, Global Times, melaporkan, Xi berjanji menyediakan vaksin Covid-19 bagi semua negara jika nanti China menemukannya. Sedikitnya tiga calon vaksin Covid-19 akan memasuki uji klinis atau pengujian pada manusia di China.
Bahkan, menanggapi ”tekanan” itu, Presiden Xi menegaskan, China mendukung langkah komprehensif untuk kajian atas Covid-19. Dengan percaya diri, Xi mengatakan, China terbuka dan transparan tentang wabah Covid-19 serta mendukung penyelidikan yang dilakukan secara obyektif dan tidak memihak.
Dalam sidang yang digelar via telekonferensi itu Xi juga menjanjikan bantuan senilai 2 miliar dollar AS untuk dua tahun guna membantu penanganan Covid-19 dan pembangunan ekonomi di negara-negara yang terdampak, terutama di negara berkembang.
”China akan bekerja dengan anggota negara-negara Kelompok 20 guna mengimplementasikan inisiatif pengurangan utang untuk negara-negara termiskin,” kata Xi.
Perang dagang
Sebelum berseteru soal Covid-19, Beijing-Washington terlibat perang dagang atas produk bernilai total hampir 500 miliar dollar AS. Dengan alasan mengurangi defisit pada neraca perdagangan, Washington mengenakan bea masuk untuk aneka impor dari China pada 2018. Namun, defisit itu menurun setelah AS-China mulai merundingkan kesepakatan dagang baru pada 2019.
Di tengah perundingan itu, AS-China terlibat perseteruan lain: teknologi. Secara khusus, AS menarget dua perusahaan teknologi China, yaitu Huawei dan ZTE.
Setelah pada Mei 2019 AS memasukkan Huawei ke daftar hitam—yang menyebabkan Huawei tidak bisa membeli atau menjual produk dari dan ke perusahaan teknologi serta telekomunikasi AS—pada 15 Mei 2020 AS menetapkan penjualan seluruh produk teknologi yang patennya dimiliki AS harus atas izin Washington. Dengan demikian, perusahaan asing sekalipun harus meminta izin Washington jika produk yang akan dijualnya ke Huawei mengandung paten milik AS.
Baca juga: AS Kembali Tekan Huawei
Washington juga mendesak mitra-mitranya tidak membeli produk Huawei, pembuat perangkat telekomunikasi terbesar di bumi. Padahal, banyak perusahaan AS dan mitra AS tertarik membeli produk Huawei, terutama karena harganya jauh lebih murah dibandingkan dengan buatan AS dan Eropa.
Kecemasan AS
Ketegangan di tiga isu itu seolah menegaskan ”pertarungan” di antara dua raksasa dunia tersebut. Kebijakan 15 Mei 2020 amat memberatkan China. Di ranah semikonduktor, Beijing baru bisa membuat semikonduktor ukuran 14 nanometer. Padahal, para pemimpin pasar itu telah memulai produksi semikonduktor 7 nm sejak beberapa tahun terakhir.
”Setiap sistem elektronik yang diproduksi Huawei dapat terkena dampak negatif,” kata Jim Handy, analis semikonduktor untuk Objective Analysis pada kantor berita AP.
Baca juga: AS Larang Produk China
Tak dapat dimungkiri, gesekan atas Huawei menambah kemunduran hubungan AS-China. Seiring meredupnya isu perang dagang, Huawei kini justru berada di pusat konflik AS-China yang memiliki ambisi besar dalam bidang teknologi, yang dikhawatirkan AS bakal mengikis kepemimpinan di ranah industri.
Namun, sebagaimana Presiden Xi, Huawei tampaknya juga mencoba mengambil sikap elegan. Petinggi Huawei, Guo Ping, mengakui bahwa kebijakan AS terkait Huawei memengaruhi bisnis perusahaan tersebut. ”Meskipun demikian, tantangan selama setahun terakhir telah membantu kami mengembangkan kemampuan dan kami yakin akan menemukan solusi segera,” kata Guo.
Pada Senin, Kementerian Perdagangan China, dalam sebuah pernyataan, menegaskan kembali akan melindungi ”hak dan kepentingan sah perusahaan China”. Secara politik, Huawei sejatinya lebih dari sekadar perusahaan swasta paling sukses di China. Huawei adalah ”kunci” yang akan membawa China menjadi pesaing global dalam industri teknologi. Dan, itulah yang dikhawatirkan AS.
Tantangan China
Di sisi lain, kebijakan 15 Mei 2020 sejatinya amat memberatkan China. Di ranah semikonduktor, Beijing baru bisa membuat semikonduktor ukuran 14 nanometer (nm). Padahal, para pemimpin pasar itu telah memulai produksi semikonduktor 7 nm sejak beberapa tahun terakhir. Bahkan, TSMC, pemasok hampir separuh semikonduktor global, mulai menyempurnakan semikonduktor 5 nm. Lewat investasi 12 miliar dollar AS, TSMC akan membangun salah satu pabrik semikonduktor 5 nm di California. Di industri semikonduktor, semakin kecil kepingnya, semakin kuat kemampuannya.
Butuh bertahun-tahun lagi bagi China untuk bisa membuat keping berukuran 7 nm, standar semikonduktor aneka perangkat mutakhir masa kiwari. Hal itu dipicu kesalahan China puluhan tahun lalu. Beijing bisa membuat sirkuit terpadu (IC) 8 tahun setelah benda itu ditemukan peneliti Texas, Jack Kilby, pada 1958. Revolusi kebudayaan membuat banyak pakar China, termasuk yang terlibat dalam pengembangan IC, hilang atau pergi ke luar negeri. Kepada media Hong Kong, South China Morning Post, mantan pemimpin divisi semikonduktor TSMC Jackson Hu menyebut China tidak punya pengetahuan mutakhir soal semikonduktor.
Taipei memulai produksi semikonduktor pada akhir 1980-an. Sementara SMIC, produsen semikonduktor terbesar China, baru mulai dikembangkan pada tahun 2000 atau tertinggal lebih dari 20 tahun. Dalam dua dekade itu, teknologi semikonduktor berkembang amat cepat.
Baca juga: AS Larang Ekspor Teknologi ke China
Masalah lain, teknologi produksi semikonduktor masih dikontrol pesaing-pesaing China. ASML asal Belanda menjadi satu-satunya pembuat mesin cetak untuk produksi prosesor 7nm. Pada akhir 2018, Nikkei melaporkan Washington mendesak Amsterdam untuk melarang ASML menjual mesin itu ke Beijing.
China juga kalah dalam produksi peranti penyimpan yang bisa diakses tanpa menggunakan daya listrik (NAND flash) yang dibutuhkan untuk memproduksi ponsel, komputer, mobil transmisi otomatis, hingga televisi terbaru. Perusahaan Korea Selatan, Samsung dan SK Hynix, mengontrol 45,1 persen pasar NAND flash global. Adapun Jepang lewat Kioxia dan AS lewat Western Digital, Micron Technology, dan Intel mengendalikan lebih dari 50 persen pasar NAND flash global. Di sisi lain, separuh pembelian NAND flash global berasal dari aneka pabrik di China.
Fakta itu berlaku pula untuk perantipenyimpanan dinamis (DRAM) yang dibutuhkan pada setiap ponsel, komputer, hingga televisi terbaru. Samsung, SK Hynix, dan Micron memasok 95 persen kebutuhan pasar global. Dengan demikian, sebagaimana dilaporkan Financial Times, perusahaan China, seperti Xiaomi, Huawei, ZTE, dan Lenovo, amat bergantung pada impor untuk menghasilkan produk mutakhir yang diterima secara global.
Pasar mesin untuk memasukkan miliaran transistor dan komponen lain dalam satu keping pengolah informasi (cip) dikendalikan oleh AS lewat Lam Research dan Applied Materials serta oleh Jepang lewat Tokyo Electron. Perusahaan AS lain, KLA-Tencor, menyediakan teknologi penguji dan pemantau kualitas produksi cip. (AP/REUTERS/JOS)