Sistem Penyelidikan Epidemi, Kunci Kecepatan Korsel Telusuri Sebaran Virus
Dengan seluruh proses yang dikerjakan secara digital, otoritas kesehatan Korsel hanya butuh waktu kurang dari 1 jam, dari semula butuh waktu 2-3 hari, dalam menelusuri riwayat kontak pasien Covid-19.
Oleh
Luki Aulia
·4 menit baca
Pada awal Mei lalu, Korea Selatan menemukan kasus baru positif Covid-19 pada seorang laki-laki di ibu kota Seoul. Semua jejak pergerakannya, baik di dalam maupun luar kota, berhasil terlacak dengan cepat, termasuk kunjungan ke lima bar dan kelab malam. Kecepatan melacak dan menelusuri sebaran virus ini berkat sistem perencanaan tata kota yang digunakan otoritas lokal untuk berbagi informasi, mulai dari data penduduk, lalu lintas, hingga polusi.
Kecepatan melacak warga, antara lain, berkat data lokasi pribadi dan kartu kredit yang telah tersedia selama bertahun-tahun. Cara ini lebih cepat ketimbang cara sebelumnya yang masih membutuhkan dokumen fisik untuk meminta data sebelum kemudian diunggah ke piranti lunak analisis. Biasanya, otoritas kesehatan yang memanfaatkan data ini membutuhkan waktu 2-3 hari untuk mengumpulkan data pribadi pasien hanya untuk melacak keberadaan mereka.
Kini seluruh proses itu sudah dikerjakan secara digital. Hasilnya, dari yang semula butuh waktu 2-3 hari, sekarang hanya perlu waktu tak kurang dari satu jam. Para penyelidik kesehatan bisa menggunakan data itu untuk menganalisis dan memetakan sebaran virus serta mendeteksi lokasi-lokasi hotspot infeksi.
Efektivitas sistem tersebut terbukti saat kasus positif Covid-19 muncul di Distrik Itaewon, salah satu lokasi pusat hiburan malam di Seoul. Hasilnya, terlacak sedikitnya 206 orang terinfeksi korona.
Sistem yang canggih ini sempat diprotes karena masalah keamanan data pribadi. Meski demikian, sistem itu justru menjadi kunci keberhasilan Korsel melawan wabah korona. Jumlah kasus positif Korsel relatif rendah, yakni 11.122 kasus dengan 264 orang yang meninggal.
Direktur Manajemen Penyakit Menular di Provinsi Gyeonggi, Yoon Duk-hee, mengatakan, survei epidemiologi yang lebih cepat berarti lebih cepat pula bisa didapat orang yang berpotensi terinfeksi sehingga bisa cepat menghentikan penyebaran virus. Namun, sistem ini masih bergantung pada manusia yang harus menyetujui, lalu mengunggah datanya. Ini berarti, masih ada peluang keterlambatan atau penundaan.
Ada juga beberapa kasus data pribadi tidak bisa diakses karena masalah keamanan dan hak pribadi. Kalau hal ini terjadi, pencarian data harus kembali menggunakan cara lama.
Perlindungan hak
Sistem bernama Sistem Pendukung Penyelidikan Epidemi (The Epidemic Investigation Support System/EISS) ini dikembangkan Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Korea (Korea Centers for Disease Control and Prevention/KCDC) bersama Kementerian Tanah, Infrastruktur, dan Transportasi serta dibantu Institut Teknologi Elektronika Korea (KETI) dan digunakan pada akhir Maret lalu.
Penggunaan data pribadi warga dibenarkan secara hukum ketika ada Undang-Undang Tahun 2015, yakni Keputusan Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular, segera setelah Korsel dihantam Sindrom Pernapasan Timur Tengah atau Middle East Respiratory Syndrome (MERS). Aturan itu memperbolehkan otoritas kesehatan Korsel untuk mengakses data pribadi, termasuk informasi lokasi dari jaringan telepon genggam dan transaksi kartu kredit. Hal ini bisa dilakukan tanpa perlu ada surat dari pengadilan.
Sementara negara lain masih sibuk dan ribut sendiri untuk mengembangkan aplikasi pelacak kontak pasien di telepon genggam tanpa mengakses informasi pribadi, Korsel sudah melaju lebih dulu. Cara kerjanya, EISS memperbolehkan penyelidik untuk masuk ke portal web terlindung dan mengirimkan permohonan akan informasi kasus tertentu. Kepolisian kemudian akan menyetujui permohonan akan data lokasi dari tiga operator jaringan telekomunikasi. Sementara Asosiasi Keuangan Kredit menyetujui permohonan informasi dari 22 perusahaan kartu kredit.
Aturan itu memperbolehkan otoritas kesehatan Korsel untuk mengakses data pribadi, termasuk informasi lokasi dari jaringan telepon genggam dan transaksi kartu kredit.
Begitu permohonan itu disetujui, data pribadi yang dibutuhkan kemudian diunggah ke Excel yang bisa diakses penyelidik dengan jangka waktu tertentu untuk dianalisis. Dalam 14 hari, biasanya ada lebih dari 10.000 data lokasi data untuk satu orang.
Jaminan keamanan
Pemerintah menjamin akses terhadap data pribadi itu terbatas, bahkan penyelidik pun harus masuk dulu ke virtual private network (VPN) dan melewati dua proses konfirmasi untuk mencegah kebocoran informasi. Sistem itu semula hendak menggunakan rekaman pengawasan dan identifikasi wajah untuk mengakses data. Namun, langkah itu batal karena alasan menjaga kerahasiaan.
”Ini akuisisi data lokasi nonyudisial nonkonsensual yang jarang dilakukan. Data yang dikumpulkan juga tidak diawasi hukum. Ada kekhawatiran data ini bisa disalahgunakan,” kata peneliti hak digital di Human Rights Watch, AS, Deborah Brown.
Orang seperti tidak punya pilihan. Namun, menurut sumber pemerintah, semua data pribadi yang terkumpul akan dihapus segera setelah pandemi Covid-19 tuntas teratasi. ”Informasi pribadi seperti itu mustinya hanya dipakai saat krisis kesehatan seperti ini. Untung saja masyarakat paham ini harus dilakukan untuk melawan pandemi,” kata Gubernur Provinsi Gyeonggi, Lee Jae-myung.
Bagi Jang (64), upaya untuk menyelamatkan nyawa manusia jauh lebih penting ketimbang urusan data pribadi. ”Data pribadi memang penting tetapi mencegah penyakit menular itu jauh lebih penting,” ujarnya.