Pandemi membuat sejumlah negara berupaya meragamkan sumber rantai pasok. Hal itu sudah diungkap Jepang dan Amerika Serikat yang menawarkan subsidi bagi perusahaan yang mau relokasi dari China
Oleh
Kris Mada
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS -- Pandemi Covid-19 yang mengganggu rantai pasok global menawarkan kesempatan bagi Indonesia. Indonesia juga memiliki sejumlah komoditas berdaya saing tinggi di pasar ekspor global.
”Karena mengandalkan China, semua terganggu saat China diisolasi. Pasokan suku cadang ke Jepang terganggu, ke Amerika terganggu,” kata Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kebijakan Kementerian Luar Negeri Siswo Pramono dalam diskusi virtual yang diselenggarakan Universitas Negeri Padang (UNP), Sumatera Barat, Jumat (29/5/2020).
Rektor UNP Ganefri, dan pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, M Revindo, juga menjadi pembicara dalam diskusi membahas mata rantai produksi dan globalisasi selepas pandemi itu.
Pandemi membuat sejumlah negara berupaya meragamkan sumber rantai pasok. Hal itu sudah diungkap Jepang dan Amerika Serikat yang menawarkan subsidi bagi perusahaan yang mau relokasi dari China.
Selain pandemi, keinginan relokasi dari China juga didorong perseteruan Beijing-Washington. “Relokasinya akan tetap di Asia, karena pasarnya di sini,” ujarnya.
Dengan penduduk 3,5 miliar jiwa dan akumulasi produk domestik bruto (PDB) hingga 27 triliun dollar AS, Asia timur, Asia Tenggara, dan Asia selatan menjadi motor utama perekonomian dunia.
Motor lain adalah Amerika utara dengan akumulasi PDB 23 triliun dan penduduk 500 juta jiwa. Motor terbesar ketiga adalah Eropa barat dengan akumulasi PDB 16 triliun dan penduduk 500 juta jiwa.
Akumulasi perdagangan di antara tiga kawasan itu bernilai hampir 4,1 triliun dollar AS per tahun dengan 1,6 triliun di antaranya dilakukan Asia dan Eropa.
Siswo mengatakan, pandemi yang menggangu rantai pasok global ini menawarkan kesempatan bagi Indonesia. Jepang dan AS sudah menunjukkan minat merelokasi sebagian unit produksi dari China ke Indonesia.
“Relokasi gelombang pertama (kala perang dagang Meletus di antara AS-China), ke Vietnam. Mudah-mudahan sekarang barang ke Indonesia,” ujarnya.
Selain relokasi, Indonesia juga bisa memanfaatkan kesempatan untuk menjadi pemasok pengganti bagi produsen yang tidak sepenuhnya tergantung pada China. Hasil kajian BPPK Kemlu, Indonesia punya sejumlah komoditas berdaya saing tinggi di pasar ekspor.
Suku cadang otomotif dan produk otomotif utuh Indonesia berdaya saing tinggi di Jepang, Thailand, Filipina, hingga Meksiko. Indonesia bisa mengisi pasar itu bila pelaku usaha di sana memutuskan mengalihkan sumber pasokan dari China.
Indonesia juga punya produk berdaya saing tinggi di sektor busana dan seni kriya. Komoditas Indonesia di sektor itu tetap diminati pasar ekspor, meski dalam situasi sekarang.
Siswo juga mengungkap, aktivitas Pelabuhan di sejumlah negara menunjukkan pemulihan mulai berjalan. Indonesia jangan sampai ketinggalan untuk memanfaatkan pasar yang mungkin sedang disusun ulang ini.
Pemulihan terutama terlihat di Asia. Pelabuhan Shanghai saja sudah melepaskan rata-rata lebih dari 1.000 kapal per hari. Sementara Singapura dan Qatar hampir 1.000 kapal per hari. “Kapal keluar biasanya kegiatan ekspor,” ujarnya.
Ganefri mengatakan, memang tidak mungkin terus menerus mengurung diri. Aneka aktivitas harus mulai berjalan lagi dengan tetap mengikuti protokol kesehatan.
“Di sekitar UNP, perekonomian riil tidak bergerak karena kampus libur. Ribuan mahasiswa UNP membantu menggerakkan perekonomian di sekitar kampus,” ujarnya.
Para pakar pandemi telah mengetahui cara penularan virus ini. Karena itu, hal yang harus dilakukan adalah mengikuti panduan agar jangan sampai tertular. “Tidak bisa bekerja dari rumah terus,” ujarnya.
Pemaknaan ulang
Revindo mengatakan, rantai pasok sebelum pandemi adalah dampak globalisasi yang semakin memudahkan telekomunikasi dan menekan ongkos tranpostasi. Karena itu, proses produksi dipecah ke berbagai lokasi.
Proses yang dinilai kurang strategis diletakkan di negara berkembang. Sementara proses bernilai tambah tinggi dan strategis diletakkan dekat pasar atau negara maju.
“Setelah pandemi, mungkin akan pemaknaan ulang produk strategis. Dulu Inggris memutuskan produksi masker di China saja karena menilai nilai tambahnya rendahnya dan tidak butuh keterampilan tinggi. Ternyata saat dibutuhkan, sulit didapatkan,” ujarnya.
Negara-negara juga akan meragamkan ulang mitra dagang dan pemasoknya. Memang, perubahan pemasok tidak mudah. Rusia membutuhkan dua tahun untuk mencari pemasok tomat setelah Eropa menolak mengekspor tomat ke Rusia gara-gara kasus Crimea.
“Perang dagang AS-China akan berlanjut dan AS mungkin akan mengajak lebih banyak pihak terlibat,” ujarnya.
Indonesia juga perlu menimbangkan keragaman rantai pasoknya. Kini, 75 persen impor Indonesia untuk keperluan produksi. Karena itu, gangguan mata rantai pasok global mengganggu proses industri di Indonesia.
Terkait ekspor-impor, Revindo mengingatkan bahwa neraca pembayaran Indonesia desifit besar dari jasa keuangan dan transportasi. Indonesia juga defisit karena pemilik modal asing membawa keuntungannya dari Indonesia ke negara asal.
“Karena itu, sudah saatnya semakin memperbesar investasi Indonesia di luar negeri agar bisa membawa keuntungan ke sini. Tidak masalah produksinya di mana saja, selama pemiliknya orang Indonesia,” kata dia.