Duterte Tidak Jadi Membatalkan Perjanjian Aliansi Militer dengan AS
Presiden Filipina Rodrigo Duterte tidak jadi membatalkan perjanjian aliansi militer negaranya dengan AS. Perubahan sikap ini dinilai terkait dengan dinamika situasi di Laut China Selatan (LCS) akhir-akhir ini.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·3 menit baca
MANILA, RABU — Presiden Filipina Rodrigo Duterte, Selasa (2/6/2020), menangguhkan keputusannya untuk membatalkan perjanjian aliansi militer dengan Amerika Serikat yang telah berlangsung selama dua dasawarsa. Para analis melihat perubahan sikap Duterte itu sebagai tanda kewaspadaan baru Filipina, khususnya dalam menghadapi gerak China di kawasan Asia, terutama di Laut China Selatan.
Perjanjian aliansi militer Filipina-AS itu terjalin melalui Kesepakatan tentang Pasukan Tamu (Visiting Forces Agreement atau VFA). Dengan perjanjian itu, AS bisa menempatkan pasukan militernya di Filipina. VFA, salah satu aliansi paling penting Washington di Asia, diumumkan untuk diakhiri oleh Duterte pada Februari lalu. Keputusan itu dipicu pencabutan visa AS yang dipegang mantan kepala polisi Filipina yang memimpin perang berdarah terhadap narkoba.
Keputusan pengakhiran perjanjian itu pada Februari lalu merupakan langkah terbesar dan ancaman Duterte untuk menurunkan peringkat hubungannya dengan AS sebagai mitra penting Filipina selama ini. Keputusan Duterte itu, sebelum dibatalkan, semestinya akan mulai berlaku pada bulan Agustus mendatang.
Perubahan sikap Manila pada pekan ini disambut baik oleh Washington. "Aliansi kami yang sudah berlangsung lama menguntungkan kedua negara, dan kami menantikan kelanjutan kerja sama keamanan dan pertahanan yang erat dengan Filipina," demikian pernyataan Kedutaan Besar AS di Manila.
Menteri Luar Negeri Filipina Teodoro Locsin mengatakan bahwa berita tentang sikap Filipina tidak lagi meninggalkan pakta itu diterima dengan baik oleh Amerika Serikat. Ia menyebutkan keputusan, Duterte itu diambil dengan mempertimbangkan perkembangan politik dan aspek lainnya di Filipina dan kawasan Asia. Pernyataan Locsin itu disampaikan melalui media sosial Twitter tanpa memberikan penjelasan lebih lanjut.
Hingga berita ini dilaporkan, belum ada komentar atau pernyataan langsung dari Duterte. Namun, alasan resmi perubahan sikap Duterte terkait VFA tersebut adalah untuk memungkinkan Filipina melakukan diversifikasi hubungan luar negerinya.
Duterte beberapa kali menunjukkan langkah-langkah yang mengejutkan. Ia beberapa kali juga mendapatkan respons pedas dari Barat atas hal-hal itu. Duterte telah berselisih dengan Washington mengenai berbagai masalah. Ia, misalnya, secara terbuka telah menyampaikan ketidaksukaannya terhadap AS, sekutu diplomatik terpenting negaranya. Kritik dan ketidaksukaan itu disampaikan meski AS selama ini menjadi penyedia utama peralatan dan pelatihan militer pada Filipina.
Langkah-langkah politik Duterte dinilai cenderung mendekatkan Filipina pada China. Hal itu, antara lain, tertuang dalam kerja sama-kerja sama ekonomi dan investasi. Lawan-lawan politik Duterte di dalam negeri menilai Duterte telah berjudi mempertaruhkan kedaulatan negaranya dalam mengejar investasi besar-besaran, yang sejatinya belum terwujud.
Faktor China
VFA memberikan kerangka hukum yang dapat digunakan pasukan AS untuk beroperasi dengan sistem rotasi di Filipina. Para analis menyatakan bahwa tanpa VFA, perjanjian pertahanan bilateral yang lain tidak dapat diimplementasikan. Sejauh ini belum ada tanggapan dari pihak lain, termasuk dari China, atas keputusan terbaru Manila itu.
Sejumlah analis politik, menurut harian AS, The New York Times, menafsirkan perubahan sikap Manila itu sebagai tanda meningkatnya kekhawatiran negara-negara tetangga China atas berkembangnya kekuatan militer China. Filipina dan negara di Asia Tenggara, seperti Vietnam, Malaysia, dan Brunei, serta Taiwan terlibat sengketa wilayah dengan China terkait klaim teritorial di Laut China Selatan (LCS). Hal ini dinilai berhubungan dengan aktivitas-aktivitas terbaru China di LCS, termasuk di masa-masa pandemi Covid-19 saat ini.
Beberapa analis melihat perubahan sikap Duterte sebagai keuntungan strategis bagi AS. Filipina adalah satu-satunya sekutu AS yang berbatasan dengan LCS, rute pelayaran maritim dunia yang sangat vital.
"Mengingat pernyataan China yang terus-menerus atas (klaim) hak-hak bersejarahnya di perairan Vietnam dan Malaysia selama setahun terakhir, Manila mungkin telah menyimpulkan bahwa pemulihan hubungan sebelumnya dengan Beijing tidak akan melindungi kepentingan Filipina," kata M Taylor Fravel, profesor ilmu politik yang juga Direktur Program Studi Keamanan di Massachusetts Institute of Technology, AS.
Bonnie Glaser, Direktur Proyek Kekuatan China di Pusat Kajian Strategis dan Internasional di Washington, menambahkan bahwa masih belum jelas bagaimana langkah Filipina memperpanjang pakta aliansi militer dengan AS akan mempengaruhi kebijakan-kebijakan politik Filipina di LCS. Namun, dirinya juga melihat langkah Duterte itu sebagai peringatan bagi China.
"Beijing telah lama berupaya melemahkan aliansi AS dan telah mendapat manfaat dari gesekan dalam beberapa tahun terakhir dalam hubungan AS-Filipina," katanya. “Jadi, keputusan Manila untuk menunda rencana untuk mengakhiri VFA akan dianggap bertentangan dengan kepentingan China.”