Berkaca Diri Melihat Rasisme di Tengah Pandemi
Saat banyak orang di Indonesia mengecam tragedi yang menimpa George Floyd di Amerika Serikat, potensi bara api yang sama rentan terjadi di Tanah Air. Pandemi Covid-19 rentan memengaruhi masalah ini.
Rasisme bisa terjadi di mana saja. Saat tragedi yang menimpa George Floyd di Amerika Serikat mengguncang dunia, potensi bara api serupa rentan terjadi di Tanah Air. Penanganan pandemi Covid-19 bisa ikut menentukan masa depan masalah ini.
Harry Isra (27) masih ingat saat ditonjok lelaki Eropa kulit putih tanpa alasan di Inggris, Oktober 2019. Sebagai warga negara Indonesia yang baru menginjakkan kaki dua bulan di ”Negeri Tiga Singa”, pengalaman itu cukup membuatnya trauma.
Waktu itu, ia bersama dua orang Indonesia lainnya sedang nongkrong di salah satu stasiun. Setidaknya enam kali mereka didatangi orang yang meminta rokok. Lalu, tiba-tiba ada enam orang kulit putih bergerombol datang. Tak meminta rokok, mereka ingin uang.
”Salah satunya mabuk. Saya bilang, enggak ada uang tunai. Lalu, saya ditonjok,” ungkap Harry mengisahkan pengalamannya soal rasisme kepada Kompas, Sabtu (6/6/2020). Sehari sebelumnya, mahasiswa master Cultural Studies Goldsmiths University of London itu menjadi pembicara dalam diskusi daring bertema ”Pandemi, Ketimpangan Kelas, dan Rasialisme”.
Diskusi digelar Lingkar Advokasi Mahasiswa (LAW) Universitas Hasanuddin, lembaga berbasis mahasiswa di Makassar, Sulawesi Selatan, yang fokus terhadap pelatihan, riset, dan pendampingan hukum. Diskusi itu sebagai refleksi kasus George Floyd, warga kulit hitam yang tewas dianiaya polisi kulit putih di Amerika Serikat.
Kasus Floyd mengingatkan Harry atas pukulan seorang kulit putih di pipinya. Bisa saja ia membalasnya. Namun, ia belum paham sistem hukum di negeri orang. Jangan-jangan malah ia yang dipenjara. Ia pilih diam. Salah seorang saksi yang berkulit hitam membelanya dan mendorongnya agar melapor kepada polisi.
”Kami melapor ke polisi. Dia hanya bertanya, dipukul di mana dan tidak ada berita acara pemeriksaan. Kami tidak diperhatikan karena enggak punya bukti, seperti rekaman kejadian,” kenang Harry, yang berasal dari Kota Palopo, sekitar 371 kilometer dari Makassar, ibu kota Sulsel.
Baca juga : Kesenjangan dan Isu Rasial, Bara yang Terus Menyala di Tanah Amerika
Kampusnya ternyata mengetahui peristiwa itu. Harry lantas mendapat konseling. Pihak kampus kerap meneleponnya dan menanyakan kabarnya. Perasaannya kian tenang saat teman-temannya yang asal Inggris mendampinginya.
”Bahkan, mereka meminta maaf meskipun tidak salah,” ucap alumnus Fakultas Ilmu Budaya Unhas ini.
Menurut dia, teman-temannya merasa punya tanggung jawab terhadap kelakuan pria Eropa yang memukulnya. Belakangan, ketika kasus kematian George Floyd menyulut gerakan anti-rasialisme di banyak negara, Harry paham mengapa teman-teman kulit putihnya bertindak demikian.
Sikap colorblindness yang memperlakukan individu setara tanpa memandang ras, budaya, dan etnisitas oleh teman-temannya ternyata tidak terbangun begitu saja. Salah satu yang memengaruhinya adalah keberadaan White Caucus, semacam lembaga konseling bagi orang kulit putih.
Pihak kampus kerap meneleponnya dan menanyakan kabarnya. Perasaannya kian tenang saat teman-temannya yang asal Inggris mendampinginya.
Di sana, orang-orang kulit putih ”menelanjangi” superioritas mereka, semacam refleksi. Sederhananya, ketimbang menggurui orang kulit berwarna terkait dengn hak mereka, lembaga ini fokus mengingatkan sesama kulit putih agar tidak rasis. Bahkan, ada tips untuk menghadapi keluarga yang konservatif.
Pandangan untuk menginstrospeksi diri sendiri bagi orang kulit putih itu, lanjutnya, cukup subur di kampusnya. Tahun lalu, saat seorang warga Lebanon menjadi kandidat perwakilan mahasiswa, muncul ungkapan rasis terhadap dialeknya dalam bentuk vandalisme di tembok.
Lalu, apa yang terjadi selanjutnya? ”Mahasiswa menduduki salah satu ruangan kuliah hingga lebih 100 hari sebagai bentuk protes,” kata Harry.
Pandemi dan rasisme
Ketua Program Studi Ilmu Hubungan Internasional Universitas Bosowa, Makassar, Zulkhair Burhan, yang turut berbicara dalam diskusi, menilai, ledakan protes menolak rasisme yang dipicu kasus Floyd tidak bisa dilepaskan dari pandemi global. Covid-19 telah menghantam kehidupan warga dunia.
”Kasus Floyd saat pandemi ini memperjelas ketimpangan dalam pelayanan kesehatan terhadap orang kulit hitam. Khususnya di Amerika,” ungkapnya.
Mengutip data CNBC, di Michigan, sekitar 41 persen kasus kematian Covid-19 merupakan orang kulit hitam. Padahal, populasi mereka hanya 14 persen di wilayah itu. Di Louisiana, sekitar 70 persen kasus kematian Covid-19 merupakan orang kulit hitam. Padahal, populasi mereka hanya 33 persen di negara itu.
”Orang kulit hitam tidak hanya kesulitan akses terhadap pelayanan kesehatan, tetapi juga makanan dan tempat tinggal mereka tidak layak,” ungkap Bobby, sapaannya.
Pada 2017, misalnya, di AS, hanya 55 persen orang keturunan Afrika-Amerika punya asuransi kesehatan. Sementara kesehatan 75,4 persen orang kulit putih Amerika sudah terjamin asuransi. Itu sebabnya, orang kulit hitam dihantam dua problem sekaligus, yakni pandemi dan rasisme.
Ledakan protes menolak rasisme yang dipicu kasus Floyd tidak bisa dilepaskan dari pandemi global. Covid-19 telah menghantam kehidupan warga dunia.
Star Tribune merekam kesenjangan rasial di Minnesota. Pada 2019, orang miskin berkulit putih, misalnya, hanya sekitar 7 persen, sedangkan orang kulit hitam mencapai 32 persen. Padahal, populasi orang kulit putih lebih banyak.
Kajian lembaga think-thank Lembaga Kebijakan Ekonomi menunjukkan, warga Amerika-Afrika hanya cukup menghasilkan 73 sen untuk setiap dollar AS yang diperoleh orang kulit putih Amerika. Tingkat kemiskinan warga kulit hitam pun dua setengah kali lebih tinggi dibandingkan dengan warga kulit putih (Kompas.id, 6/6/2020).
Menurut Bobby, ketimpangan dalam pelayanan kesehatan hingga politik menunjukkan fenomena rasisme struktural. ”Ada politik rasisme yang terinstitusionalisasi dalam bentuk formal, regulasi, dan berkelanjutan. Ini sudah terjadi sejak lama,” ungkapnya.
Akan tetapi, kasus serupa juga rentan terjadi di Indonesia. Penulis buku Ufuk Timur: Sebuah Perjalanan dan Perjumpaan di Tanah Papua, Christopel Paino, menilai, rasisme masih kerap terjadi di Tanah Air. Beberapa kasus sebelumnya pernah terjadi dan memancing bara.
”Bagi orang Papua, misalnya, ada yang menyebut mereka monyet. Bahkan, ada yang tutup hidung saat orang Papua lewat. Ini terjadi juga di kota besar di Papua,” ujarnya.
Ketika pandemi, lanjutnya, tak mudah bagi orang Papua untuk bertahan. Masih ada sebagian orang yang kesulitan untuk mencuci tangan. ”Pemerintah harus ikut memperhatikan yang dibutuhkan orang Papua. Jangan sampai muncul anggapan, butuh tanahnya saja, bukan orang-orangnya. Ini pandangan orang Papua,” ungkapnya.
Itu sebabnya, kata Bobby dan Harry, tidak ada salahnya kita mulai melacak bahkan ”menelanjangi” pandangan soal rasisme. Jangan-jangan, kita murka saat hidup Floyd berakhir di dengkul polisi kulit putih. Padahal, pikiran, ucapan, bahkan laku kita sendiri sering kali mengumbar kebencian rasial.
Baca juga : Warga Kulit Hitam AS Alami Marginalisasi Ekonomi dari Generasi ke Generasi