Pelanggar UU Keamanan Diadili di China Daratan, Eropa-AS Peringatkan Beijing
Per 1 Juli ini Hong Kong memasuki era baru setelah China secara resmi menerapkan UU Keamanan Nasional di Hong Kong. Para aktivis kelompok pro demokrasi di wilayah itu tak lagi bisa menikmati kebebasan mereka.
Oleh
Mahdi Muhammad & Mh Samsul Hadi
·6 menit baca
HONG KONG, RABU — Pemberlakuan Undang-Undang Keamanan Nasional di Hong Kong oleh Pemerintah China, Rabu (1/7/2020), mengecewakan banyak pihak. Demokrasi dan kebebasan yang diperoleh warga Hong Kong ketika berada di bawah kekuasaan Inggris, yang menjadikan wilayah ini sebagai pusat ekonomi dan keuangan di wilayah Asia, dikhawatirkan lenyap pasca-pelaksanaan UU Keamanan Nasional.
Uni Eropa, Amerika Serikat, Inggris, hingga Jepang mengeluarkan pernyataan yang cukup keras terhadap keputusan parlemen China. Penerapan UU Keamanan Nasional dinilai mengabaikan prinsip ”satu negara dua sistem”, yang sudah berlaku selama 23 tahun terakhir. Negara-negara Barat berpandangan, berdasarkan kesepakatan antara Inggris dan China saat penyerahan wilayah Hong Kong, prinsip itu setidaknya dipertahankan hingga tahun 2047.
Namun, China bersikukuh bahwa UU tersebut dibutuhkan untuk menangani aksi-aksi protes kelompok pro demokrasi. Otoritas di Beijing dan Hong Kong mengatakan, pemberlakuan UU itu akan menyasar beberapa pihak ”pembuat kekacauan” dan tidak akan memengaruhi hak dan kebebasan warga sipil di Hong Kong serta kepentingan para investor. Mereka menjamin formula ”satu negara, dua sistem” tetap dipertahankan di Hong Kong.
Detail UU Keamanan Nasional dipaparkan Zhang Xiaoming, Deputi Direktur Eksekutif Pemerintah China untuk Kantor Urusan Hong Kong dan Makau, kepada wartawan di Beijing. UU itu akan menghukum kejahatan separatisme, subversi, terorisme, dan kolusi dengan kekuatan asing dengan penjara seumur hidup. Pemerintah China untuk pertama kali membuka kantor badan keamanan di Hong Kong dengan kewenangan melampaui UU di Hong Kong.
Zhang menyebutkan, tersangka yang ditangkap aparat badan keamanan perwakilan China di Hong Kong bisa diadili di wilayah China daratan. Kantor baru badan keamanan China itu terikat oleh UU China, dan sistem peradilan Hong Kong diperkirakan tidak akan menerapkan UU China daratan. Pasal 55 UU tersebut menyatakan, kantor keamanan pemerintahan Beijing di Hong Kong bisa menangani yurisdiksi atas kasus-kasus yang kompleks dan serius. Pemerintah lokal di Hong Kong dilarang mencampuri kasus yang ditangani badan itu.
Berdasarkan UU tersebut, meneriakkan slogan atau mengangkat poster dan bendera yang menyerukan kemerdekaan Hong Kong termasuk pelanggaran, terlepas apakah menggunakan kekerasan atau tidak. Begitu juga, menurut pernyataan tertulis yang dikeluarkan kepolisian Hong Kong, menyampaikan dukungan terhadap kemerdekaan Tibet, Xinjiang, dan Taiwan dikategorikan sebagai pelanggaran UU Keamanan Nasional.
Adapun tindakan vandalisme terhadap fasilitas-fasilitas pemerintah atau tempat-tempat umum bisa dijerat dengan klausul subversi atau terorisme. Teks UU itu juga menyebutkan bahwa sekolah-sekolah, kelompok-kelompok sosial, media, laman, dan hal-hal lain yang tidak diperinci akan dipantau. Pemerintah pusat China juga memiliki otoritas atas aktivitas-aktivitas organisasi swadaya masyarakat dan media-media asing di Hong Kong.
Pelanggaran paling serius atas UU tersebut, seperti menjadi otak atas kejahatan-kejahatan yang dimaksud, bisa dihukum penjara seumur hidup. Pelanggaran lebih ringan bisa dihukum penjara hingga tiga tahun, penahanan jangka pendek, atau pembatasan.
Pemberlakuan UU Keamanan Nasional di Hong Kong tersebut merupakan mandat sesuai konstitusi lokal di Hong Kong. Namun, upaya legislasi tahun 2003 gagal akibat penolakan besar-besaran oleh warga Hong Kong. Tak sabar dengan hal itu, Beijing mengambil alih legislasi UU tersebut melalui sidang Kongres Rakyat Nasional atau parlemen di Beijing. Presiden China Xi Jinping menandatangani pemberlakuan UU itu, Selasa kemarin.
Pemberlakuan UU Keamanan Nasional sudah ditindaklanjuti, Rabu ini, dengan penangkapan terhadap seorang pengunjuk rasa yang membawa bendera seruan kemerdekaan Hong Kong. Pernyataan polisi melalui Twitter menyebutkan penangkapan itu dilakukan setelah polisi memberikan peringatan berulang kali pada kerumunan pengunjuk rasa di kawasan pusat belanja Causeway Bay.
Peringatan Eropa-AS
Presiden Dewan Eropa Charles Michel mengatakan, penerapan UU Keamanan Nasional itu berisiko merusak otonomi yang dirasakan Hong Kong dan warganya. UU ini juga dinilainya merusak independensi lembaga peradilan dan hukum. ”Kami menyesalkan keputusan ini,” kata Michel.
Ursula von der Leyen, Ketua Komisi Eropa, menyatakan hal serupa. Menurut dia, penerapan UU Keamanan Nasional bisa menggerus kepercayaan bisnis di Hong Kong, reputasi Pemerintah China, persepsi publik Hong Kong dan internasional.
Dalam pernyataannya seusai Konferensi Tingkat Tinggi UE-China beberapa hari lalu, Von der Leyen menyatakan, kebebasan dan demokrasi adalah prinsip dasar yang menjadi fondasi negara-negara Eropa dan para pihak yang berhubungan dengan organisasi regional ini.
”Kami ingin menekankan bahwa hak asasi manusia, kebebasan berbicara, kebebasan individual, dan demokrasi adalah hal yang mendasar bagi Uni Eropa, dan hal itu tidak dapat dirundingkan,” kata Von der Leyen.
Pernyataan lebih keras dan tegas disampaikan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Mike Pompeo. Pompeo menyatakan, penerapan undang-undang itu menghancurkan otonomi wilayah dan salah satu pencapaian terbesar China.
”Hong Kong telah menunjukkan apa yang bisa dicapai oleh seorang manusia yang bebas: ekonomi paling sukses dan salah satu masyarakat yang ’hidup’ . Tetapi, sikap ketakutan yang berlebihan, paranoid, Pemerintah China terhadap aspirasi warganya menyebabkan kehancuran fondasi wilayah itu,” kata Pompeo.
Pernyataan keras juga datang dari Ketua DPR AS Nancy Pelosi. Dia menyebut UU Keamanan Nasional sebagai sebuah hal yang brutal dan bertujuan menciptakan ketakuan, intimidasi, dan menekan warga Hong Kong yang menuntut kebebasan yang dijanjikan.
”Kami mendesak Presiden Trump meminta pertanggungjawaban pejabat China atas pelanggaran mereka, termasuk di Hong Kong dengan menerapkan sanksi berdasarkan Undang-Undang Magnitsky 2016 dan mengambil langkah-langkah di bawah Undang-Undang Hak Asasi Manusia dan Demokrasi Hong Kong,” kata Pelosi, politisi terkemuka Partai Demokrat.
Sementara Pemerintah Inggris, yang menguasai Hong Kong hingga tahun 1997, menyatakan akan memeriksa substansi Deklarasi Bersama antara China dan Inggris, perjanjian yang mengatur penyerahan kedaulatan Hong Kong, lebih dari dua dekade lalu. ”Kami akan melihat undang-undang dengan sangat hati-hati, dan kami ingin memeriksa dengan benar untuk memahami apakah itu bertentangan dengan Deklarasi Bersama antara Inggris dan China. Kami akan menetapkan tanggapan kami pada waktunya,” kata PM Inggris Boris Johnson.
Adapun Menlu Inggris Dominic Raab menilai Pemerintah China telah mengingkari janji yang dibuat ketika Hong Kong diserahkan kepada Beijing. Raab menyatakan, Pemerintah Inggris berencana membawa masalah ini ke Dewan HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa. Seperti dikutip dari harian The South China Morning Post, Raab menyatakan bahwa Pemerintah Inggris berencana menawarkan paspor Inggris kepada warga Hong Kong yang lahir sebelum tahun 1997 atau sebelum penyerahan Hong Kong kepada China.
Pembelaan China-Hong Kong
Pemerintah China dan Hong Kong berupaya membela diri atas keputusannya menerapkan UU Keamanan Nasional di wilayah itu. Carrie Lam, Pemimpin Eksekutif Hong Kong, mengatakan bahwa UU Keamanan Nasional tidak akan memberikan dampak apa pun bagi kehidupan bisnis dan ekonomi warga Hong Kong. Hak dasar, kebebasan, akan tetap dihormati oleh pemerintah.
Lam mengakui penerapan UU Keamanan Nasional menargetkan sekelompok kecil warga orang-orang yang dinilai telah melanggar hukum. Dia juga menegaskan bahwa UU Keamanan Nasional itu tidak akan merusak prinsip satu negara dua sistem dan otonomi Hong Kong yang menjadikan kawasan ini sebagai pusat ekonomi dan keuangan terkemuka Asia.
Tanggapan keras datang dari Pemerintah China. Juru bicara Kementerian Luar Neger China, Zhao Lijian, mengatakan, masalah Hong Kong adalah masalah dalam negeri China. ”Masalah ini murni urusan dalam negeri China, dan tidak ada negara asing yang memiliki hak untuk ikut campur,” kata Lijian. China bertekad menentang semua kekuatan eksternal yang ingin ikut campur dalam urusan Hong Kong. (AP/AFP/REUTERS)