Melalui program Operation Warp Speed, Amerika Serikat kembali mengamankan pasokan vaksin covid-19 dari perusahaan farmasi. Tindakan seperti ini dikhawatirkan akan meninggalkan jurang akses yang lebar.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·3 menit baca
WASHINGTON, KAMIS — Pemerintah Amerika Serikat kembali memesan calon vaksin Covid-19 untuk mengamankan kebutuhan dalam negerinya. Kali ini AS akan membayar hampir 2 miliar dollar AS untuk membeli calon vaksin yang dikembangkan Pfizer Inc dan perusahaan farmasi asal Jerman, BioNTech SE, jika terbukti efektif.
Kontrak pembelian tersebut mencakup sekitar 100 juta dosis vaksin seharga masing-masing 39 dollar AS. Vaksin tersebut nantinya akan diberikan kepada 50 juta warga AS masing-masing dua dosis.
Dalam perjanjian tersebut, Pemerintah AS juga memiliki opsi untuk mengadakan 500 juta dosis tambahan vaksin. Pfizer menyebutkan bahwa harga untuk tambahan dosis ini akan dinegosiasikan kemudian secara terpisah.
Sejauh ini, kontrak tersebut merupakan kontrak terbesar AS untuk membeli vaksin meskipun sebelumnya pembelian serupa juga sudah dilakukan dengan perusahaan lain.
Meski demikian, jurubicara Pfizer mengatakan bahwa Pfizer dan BioNTech tidak akan menerima sepeser pun dari nilai kontrak itu jika kandidat vaksin yang mereka kembangkan tidak berhasil dalam uji klinis.
Pemerintahan Trump telah menyepakati anggaran miliaran dollar AS untuk pengembangan dan pengadaan kandidat vaksin potensial melalui program Operation Warp Speed. Tujuannya, mengamankan vaksin yang bisa mengakhiri pandemi Covid-19 bagi kebutuhan dalam negeri.
Untuk itu, Pemerintah AS telah menyepakati pembelian calon vaksin Covid-19 potensial dengan sejumlah perusahaan farmasi. Selain dengan Pfizer/BioNTech, awal Juli ini AS juga menandatangani pembelian 100 juta dosis vaksin Covid-19 senilai 1,6 miliar dollar AS dari Novavax Inc.
Pada Mei 2020 lalu, AS mengumumkan telah memborong calon vaksin Covid-19 dari AstraZeneca/University of Oxford senilai 1,2 miliar dollar AS. Amerika juga sudah menyepakati pembelian senilai 456 juta dollar AS dengan Johnson & Johnson, 486 juta dollar AS dengan Moderna Inc, dan 628 juta dollar AS dengan Emergent Biosolutions.
Dunia kini sangat menanti vaksin Covid-19 untuk mengakhiri pandemi. Di tengah perlombaan mengembangkan vaksin muncul kekhawatiran soal akses terhadap vaksin ketika nanti sudah tersedia. Negara-negara kaya cenderung akan memborong vaksin untuk mengamankan kebutuhan dalam negeri mereka. Dalam situasi seperti ini, negara-negara miskin dengan infrastruktur kesehatan yang lemah akan tertinggal.
Khawatir akan kooptasi negara kaya terhadap produksi vaksin Covid-19, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memberikan peringatan bahwa vaksin adalah barang publik yang harus bisa diakses oleh semua orang di dunia. Tidak ada nasionalisme vaksin oleh negara ataupun perusahaan farmasi. Kesetaraan akses menjadi kunci mengakhiri pandemi.
Departemen Kesehatan dan Pelayanan Warga (HHS) AS mengatakan, apabila kandidat vaksin dari Pfizer dan BioNTech terbukti efektif dan Pemerintah AS telah mengamankan kebutuhannya, vaksin itu akan diberikan gratis bagi warga AS.
Pemimpin Eksekutif Pfizer Albert Bourla telah mengatakan bahwa perusahaanya ingin mendapatkan keuntungan dari produksi vaksin Covid-19. Ia juga menambahkan bahwa dana pribadinya juga dipakai dalam pengembangan vaksin Covid-19, dan diharapkan bisa mempercepat proses ini.
Kepala Ilmiah Pfizer Mikael Dolsten berharap bisa memulai uji klinis tahap III-nya awal pekan depan karena masih menunggu izin dari otoritas kesehatan AS. Jika uji klinis yang melibatkan 30.000 partisipan ini berhasil membuktikan efikasi kandidat vaksin mereka, Pfizer akan mengajukan izin edar produknya pada AS awal Oktober mendatang.
Kandidat vaksin Covid-19 dari Pfizer/ BioNTech adalah salah satu dari 150 kandidat vaksin lebih yang sedang diteliti di dunia saat ini. Hasil awal uji klinis skala kecil pada manusia menunjukkan kandidat vaksin ini mampu memicu antibodi penetral yang dibutuhkan untuk melawan virus korona. Dalam penelitian itu, setiap partisipan menerima dua dosis vaksin.
Pfizer dan BioNTech berharap mampu memproduksi hingga 100 juta dosis hingga akhir tahun 2020 dan 1,3 miliar dosis hingga akhir tahun 2021.(REUTERS/AFP)