Penantian ”Hibakusha” atas Dunia Bebas Senjata Nuklir
Dunia yang bebas senjata nuklir menjadi impian para penyintas bom Hiroshima-Nagasaki. Namun, waktu belum berpihak kepada mereka yang kini rata-rata berusia 80 tahunan itu.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·3 menit baca
Senin pagi, 6 Agustus 1945. Lee Jong-keun sedang dalam perjalanan ke tempat kerjanya di otoritas kereta api nasional Jepang di Hiroshima saat kota itu seolah dilanda kiamat akibat hunjaman ”Little Boy”. Seketika langit Hiroshima menjadi tampak oranye kekuningan.
Lee membenamkan wajahnya ke tanah. Ia menderita luka bakar di leher. Butuh waktu empat bulan ia sembuh. Lee, yang saat itu baru berusia 16 tahun, adalah salah satu korban Little Boy, nama kode bom uranium yang dijatuhkan Amerika Serikat di Hiroshima pada pagi itu.
Belakangan diketahui 140.000 orang tewas. Tiga hari kemudian, bom atom kedua dijatuhkan di Nagasaki. Kali ini, sekitar 70.000 orang tewas. Jepang pun menyerah pada Sekutu, 15 Agustus 1945.
Selain warga Jepang, ada sekitar 20.000 warga Korea di Hiroshima yang meninggal dalam serangan itu. Di masa perang kala itu, Hiroshima merupakan simpul militer yang memiliki banyak pekerja dari Korea, termasuk mereka yang menjalani kerja paksa di tambang dan pabrik.
Lee adalah generasi kedua warga Korea yang lahir di Jepang. Bagi dia, menjadi penyintas bom atom ternyata tidak membuat kehidupannya membaik. Rekan kerjanya menjauhinya, menyebut dirinya memiliki ”penyakit bom”. Tidak banyak mengetahui efek bom atom terhadap kesehatan. Sejumlah orang percaya bahwa radiasi dari bom atom mirip dengan penyakit menular.
Di sekolah, Lee mengalami perundungan hanya karena ia seorang warga Korea. Teman-teman sekolahnya menertawakannya. Mereka menyebut Lee berbau kimci, makanan khas Korea. Jika orang-orang tahu bahwa ia penyintas bom atom, hal itu justru menambah masalah.
Lee menyembunyikan statusnya sebagai penyintas bom atom. Ia pun hidup dengan nama Jepang, Masaichi Egawa, selama hampir 70 tahun. Baru delapan tahun lalu, ketika sesama penyintas berkumpul, ia menceritakan kisahnya kepada publik. Sebelum momen itu, Lee tidak memberi tahu statusnya sebagai hibakusha, penyintas bom atom, termasuk kepada istrinya.
”Tidak ada warga Korea yang ingin mengungkap masa lalunya sebagai hibakusha,” tutur Lee, yang kini berusia 92 tahun.
Sebelum tahun 1957, para penyintas itu tidak mendapat dukungan dari Pemerintah Jepang. Tahun 1957, mereka berhasil mendapatkan dukungan medis resmi. Namun, sistem penyaringan yang ketat membuat tidak semua hibakusha mendapat kompensasi. Bantuan untuk penyintas di luar Jepang bahkan ditunda sampai 1980.
Perang belum berakhir
Jumlah hibakusha kian menyusut. Kementerian Kesehatan Jepang menyebutkan, lebih dari 300.000 hibakusha meninggal sejak peristiwa bom atom Hiroshima dan Nagasaki, termasuk 9.254 orang yang meninggal tahun lalu. Rata-rata usia mereka adalah 83 tahun. Banyak dari mereka menderita efek yang panjang dari radiasi. Belum lagi rasa frustrasi terhadap usaha global yang tidak jelas dalam menghapuskan senjata nuklir.
Hibakusha, yang menjadi saksi terakhir kengerian 75 tahun lalu itu, kini merasa perlu menceritakan kisah pilu mereka pada generasi muda. ”Bagi saya, perang belum berakhir,” kata Michiko Kodama (82), hibakusha yang banyak kehilangan keluarganya karena kanker.
Puluhan tahun setelah pengeboman, ketakutan akan kematian, prasangka, dan diskriminasi terhadap hibakusha masih terjadi. Senjata nuklir pun kini masih ada.
Para hibakusha frustrasi karena mereka tidak mampu melihat dunia yang bebas senjata nuklir semasa hidup mereka. Frustrasi mereka bertambah setelah Jepang menolak untuk meratifikasi Perjanjian Larangan Senjata nuklir yang mulai berlaku tahun 2017.
”Kita tidak punya banyak waktu tersisa... Saya ingin menceritakan kisah kami ke generasi muda selagi masih bisa,” kata Kodama. ”Jika ada orang yang ingin mendengar cerita saya, saya akan pergi ke mana pun dan bercerita.”
”Kita harus bekerja lebih keras agar suara kita didengar, bukan cuma suara saya, melainkan juga penyintas lain,” kata Lee kepada AP di Hiroshima Peace Memorial Museum, Selasa (4/8/2020). ”Pelarangan senjata nuklir menjadi awal dari perdamaian.”
”Semua nyawa setara,” kata Lee. ”Sebagai seseorang yang mengalami diskriminasi, itu hal lain juga yang ingin saya sampaikan kepada generasi muda.”