75 Tahun Bom Hiroshima, Peringatan atas ”Kengerian Tak Terucapkan”
Peringatan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki di tengah pandemi tak lagi sama seperti biasanya. Namun, momen bersejarah itu tetap memberikan pesan yang sama, berupa harapan akan dunia yang bebas senjata nuklir.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·3 menit baca
Jepang memperingati peristiwa dijatuhkannya bom atom di Hiroshima oleh Amerika Serikat, 75 tahun silam, yang menewaskan sekitar 140.000 orang, Kamis (6/8/2020). Bom atom kedua dijatuhkan di Nagasaki, menewaskan sekitar 74.000 orang.
Seperti biasa, Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe menghadiri upacara peringatan bom atom di Taman Perdamaian, Hiroshima, itu. Bel dibunyikan tepat di waktu bom dijatuhkan. Karena pandemi Covid-19, upacara peringatan tahun ini diselenggarakan lebih kecil. Tempat duduk undangan dibatasi dan para pejabat menyampaikan pidatonya melalui pesan video.
Tahun lalu, Paus Fransiskus bertemu dengan sejumlah penyintas bom atom yang dikenal dengan nama hibakusha dalam lawatannya ke Hiroshima dan Nagasaki untuk memberikan penghormatan atas para korban bom atom yang mengalami ”kengerian yang tak terucapkan”.
Tahun 2016, Barack Obama menjadi Presiden AS aktif pertama yang mengunjungi Hiroshima. Ia tidak meminta maaf atas peristiwa itu, tetapi merangkul para penyintas dan menyerukan dunia agar terbebas dari senjata nuklir.
Tanggal 6 Agustus 1945 pukul 08.15 waktu Hiroshima, pesawat pengebom B-29 AS, Enola Gay, menjatuhkan bom atom yang diberi nama ”Little Boy” di kota Hiroshima. Bom itu meledak 600 meter di atas tanah dengan kekuatan setara dengan 15.000 TNT hingga menewaskan 140.000 dari sekitar 350.000 jiwa penduduk Hiroshima saat itu. Ribuan penduduk lainnya meninggal karena luka yang dideritanya dan sakit terkait radiasi nuklir dari bom.
Pada 9 Agustus 1945 AS kembali menjatuhkan bom atom yang disebut ”Fat Man” sekitar 420 kilometer arah selatan, Nagasaki. Dalam sekejap, bom ini menewaskan 75.000 orang. Asap berbentuk cendawan yang terbentuk dari ledakan bom ini membubung setinggi 9 kilometer.
Enam hari kemudian Jepang menyerah tanpa syarat. Peristiwa ini mengakhiri Perang Dunia II. Dua bom atom tersebut merupakan bom atom yang dipakai dalam masa perang hingga saat ini.
Arsip rekaman video sebelum bom atom dijatuhkan memperlihatkan Hiroshima sebagai kota yang berkembang. Para pria naik trem, sementara perempuannya mengenakan kimono elegan, sedangkan anak-anak sekolah berseragam berjalan di bawah pohon bunga sakura yang menghiasi tempat-tempat belanja.
Ketika bom dijatuhkan di Hiroshima, menurut Komite Internasional Palang Merah (ICRC), hal pertama yang diperhatikan warga setempat adalah ”bola api yang intens”. Pakar dari ICRC menyebutkan, terdapat kasus-kasus kebutaan sementara dan permanen akibat kilatan cahaya dari ledakan itu di luar kerusakan mata lainnya, seperti katarak.
Suhu di dekat area ledakan diperkirakan mencapai 7.000 derajat celsius yang bisa menyebabkan luka bakar fatal dalam radius 3 kilometer.
Berdasarkan studi Radiation Effects Research Foundation Jepang-AS, dari 50.000 orang korban bom atom di kedua kota, sekitar 100 orang di antaranya meninggal karena leukemia, dan 850 orang menderita kanker akibat paparan radiasi nuklir.
Setelah ledakan, Hiroshima seperti ”hilang” hanya menyisakan puing-puing dan logam yang hancur. Tiang-tiang listrik dan pohon-pohon yang gundul menemani gedung tanpa jendela. Saat itu pohon-pohon itu sepertinya nyaris mustahil bisa bertahan.
Kini, 75 tahun berlalu dari peristiwa mengerikan itu. Namun, penderitaan, kesakitan, diskriminasi, juga stigmatisasi masih menghantui para hibakusha, para penyintas bom atom yang kini rata-rata sudah berusia 70-80 tahun.
Rasa frustrasi pun terus menghinggapi hibakusha karena hingga mereka lansia belum melihat dunia bebas dari senjata nuklir. Bahkan, Jepang yang menjadi ”korban” dari penggunaan senjata atom belum menandatangani atau meratifikasi Perjanjian Larangan Senjata Nuklir yang mulai berlaku tahun 2017.