Kerja Sama Maritim Yunani-Mesir Naikkan Suhu Politik di Laut Tengah
Kawasan Laut Tengah bagian timur menjadi sumber konflik regional banyak negara, yaitu Yunani, Mesir, Turki, Siprus, Italia, Jordania, Palestina, dan bahkan Israel. Terdapat cadangan gas 120 triliun meter kubik di sana.
Oleh
Mahdi Muhammad
·4 menit baca
KAIRO, JUMAT — Pemerintah Mesir dan Yunani, Kamis (6/8/2020), menandatangani perjanjian pengembangan zona ekonomi eksklusif atau ZEE di kawasan Laut Tengah bagian timur untuk memaksimalkan manfaat sumber daya alam, khususnya minyak dan gas. Perjanjian itu bagian dari upaya Pemerintah Mesir menjadikan negaranya sebagai pusat pertumbuhan dan hub regional minyak dan gas di kawasan.
Penandatanganan kerja sama kedua negara diumumkan Menteri Luar Negeri Mesir Sameh Shoukry dan Menlu Yunani Nikos Dendias seusai penandatanganan kerja sama tersebut di Kairo, Mesir, Kamis (6/8). ”Kesepakatan ini memungkinkan Mesir dan Yunani untuk bergerak maju dalam memaksimalkan manfaat sumber daya yang tersedia di zona ekonomi eksklusif bagi masing-masing negara, terutama cadangan minyak dan gas,” kata Shoukry.
Shoukry juga menyatakan, menjaga keamanan dan stabilitas di kawasan Laut Tengah bagian timur serta upaya untuk menghadapi kebijakan-kebijakan, yang dalam perspektif Pemerintah Mesir memajukan tindakan terorisme, adalah faktor utama kedua negara melakukan kerja sama tersebut.
Berbeda dengan Shoukry yang tidak menyebut Turki sebagai salah satu alasan memperkuat kerja sama bilateral dengan Yunani, Dendias secara terang-terangan menyebut tindakan Ankara sebagai landasan kedua negara bergerak bersama.
Selain menyebut penandatanganan kesepakatan itu sebuah hal yang bersejarah bagi Yunani, Dendias juga menyatakan bahwa kerja sama ini adalah tindakan yang legal dalam kerangka kerja sama internasional. ”Perjanjian ini adalah kebalikan dari segala sesuatu yang tidak sah, seperti yang ditandatangani antara Turki dan Tripoli,” ujarnya.
Pernyataan Dendias merujuk pada kesepakatan keamanan dan kerja sama maritim yang ditandatangani oleh Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan dan Pemerintahan Kesepakatan Nasional (GNA) pimpinan Fayez al-Sarraj pada akhir November 2019. Yunani, Mesir, dan Siprus menolak kesepakatan tersebut serta menganggapnya ilegal dan melanggar hukum internasional. Pemerintah Yunani menyatakan, hal itu melanggar landas kontinennya dan khususnya di lepas Pulau Kreta.
Kawasan Laut Tengah bagian timur menjadi sumber konflik regional banyak negara, yaitu Yunani, Mesir, Turki, Siprus, Italia, Jordania plus otoritas Palestina, dan bahkan Israel. Diperkirakan terdapat sekitar 120 triliun meter kubik cadangan gas di dalamnya.
Untuk mengelolanya, tujuh negara di atas membentuk Forum Gas Mediterania Timur, pada awal Januari 2020, sebagai jawaban atas kerja sama bilateral Turki dan Libya. Sebelum bekerja sama dengan Mesir, Yunani dan Italia telah menandatangani kesepakatan yang sama.
Ketegangan sudah tinggi antara Yunani dan Turki atas eksplorasi sumber daya energi di Mediterania timur. Dua anggota NATO itu juga berselisih tentang berbagai masalah dari penerbangan di Laut Aegea, lalu zona maritim di Laut Tengah bagian timur, dan tentang Siprus yang terbagi secara etnis. Belum lama ini, Yunani juga memprotes langkah Turki mengubah bangunan bersejarah Hagia Sophia dari museum menjadi masjid.
Kanselir Jerman Angela Merkel, dikutip dari laman DW, menyatakan, Uni Eropa mencoba memfokuskan diri untuk menyelesaikan sengketa antara kedua negara anggota NATO itu, terutama pada masalah nafsu Turki yang besar untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi di wilayah Laut Tengah bagian timur. Turki diketahui telah melakukan pengeboran di wilayah itu sejak tahun 2019, sedangkan pengeboran di wilayah yang disengketakan dengan Yunani akan dimulai pada musim gugur 2020 ini.
Kementerian Luar Negeri Mesir secara khusus mengirimkan sebuah peta kepada kantor berita Reuters untuk menunjukkan garis demarkasi perbatasan laut antara Yunani dan Mesir. Garis demarkasi itu memberikan kemungkinan yang sangat kecil adanya hubungan transportasi laut antara Turki dan Libya.
Turki-Libya menolak
Secara terpisah, Turki dan Libya menyatakan menolak perjanjian Yunani dan Mesir. ”Apa yang disebut kesepakatan maritim yang ditandatangani oleh Yunani dan Mesir adalah ’batal demi hukum’,” kata Kementerian Luar Negeri Turki dalam pernyataannya.
Kemenlu Turki juga menyatakan kawasan yang disebut dalam perjanjian itu sebagai daerah terbatas adalah bagian dari landas kontinen Turki. Ankara tidak akan mengizinkan kegiatan apa pun dilakukan di wilayah tersebut.
Penolakan senada disampaikan Kementerian Luar Negeri Libya. Juru bicara Kemenlu Libya, Mohammed al-Qablawi, dikutip dari kantor berita Anadolu, mengecam keras kerja sama tersebut dan menilainya sebagai sebuah pelanggaran hukum internasional. ”Libya tidak akan mengizinkan wilayah maritimnya dilanggar,” kata Qablawi. (AFP/REUTERS)