Hubungan Arab-Israel Diwarnai Banyak Perang, Minim Perdamaian
Israel empat kali menyerang Arab secara terbuka dan berulang kali menyerbunya lewat serangan-serangan skala kecil. Dalam 72 tahun, Arab-Israel terlibat tujuh perang terbuka dan ribuan baku tembak dalam skala lebih kecil.
Oleh
kris mada
·4 menit baca
Dalam 72 tahun terakhir, negara-negara Arab dan Israel terlibat dalam tujuh perang terbuka dan ribuan baku tembak. Hampir seluruh perang dan pertempuran itu dimenangi Israel. Kemenangan terbaru Israel diraih pada 13 Agustus 2020.
Koalisi Arab dan Israel pertama kali berperang pada Mei 1948. Israel yang baru berdiri dikeroyok oleh Mesir, Irak, Jordania, Lebanon, dan Suriah. Koalisi negara Arab itu marah karena Israel menduduki sebagian wilayah protektorat Palestina yang lama dikuasai Inggris. Kurang persiapan dan sibuk bersaing internal, terutama antara Mesir dan Suriah, koalisi Arab dikalahkan pasukan Israel.
Akibat perang Mei 1948, lebih dari 760.000 penghuni wilayah perwalian Palestina mengungsi ke sejumlah negara. Sampai sekarang, para pengungsi itu dan seluruh keturunannya dilarang kembali ke kampung halaman yang mereka tinggalkan 72 tahun lalu.
Perang antara koalisi Arab dan Israel kembali pecah dalam Perang Enam Hari pada 1967. Persiapan negara-negara Arab lebih baik dibandingkan perang pada 1948. Walakin, Arab tetap sibuk bersaing di internal mereka. Akibatnya, koalisi itu kembali kalah, dan Israel merebut Golan dari Suriah, Tepi Barat dari kendali Jordania, dan Gaza serta Semenanjung Sinai dari Mesir. Menurut Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 1947, seluruh Tepi Barat dan Gaza dalam perwalian Jordania. Sementara Sinai sejak lama menjadi wilayah Mesir.
Israel secara resmi mengumumkan pendudukan Golan pada 1981, dua tahun setelah berdamai dengan Mesir. Perdamaian ini membuat Mesir mendapatkan lagi Sinai dari Israel secara bertahap. Sebelum berdamai pada 1979, Mesir dan Suriah mencoba merebut Sinai dan Golan lewat perang tahun 1973. Sayangnya, upaya itu gagal. Beberapa tahun kemudian Presiden Mesir Anwar Sadat memutuskan berdamai dengan Israel. Sinai kembali ke pemilik asal, sementara Tepi Barat, Golan, dan Gaza tetap diduduki Israel.
Pengembalian
Gaza juga akhirnya dikembalikan ke Palestina pada 2005 dan sejak itu dikendalikan Hamas. Sementara faksi lain di Palestina, Fatah, lebih dulu mengendalikan sebagian Tepi Barat selepas rangkaian perundingan berujung Kesepakatan Oslo antara Palestina dan Israel pada 1993. Selepas Kesepakatan Oslo, Jordania menyusul Mesir menjadi negara Arab yang mengakui kedaulatan Israel dan menjalin hubungan diplomatik sejak 1994.
Sejumlah ekstremis Yahudi di Israel marah dengan Kesepakatan Oslo dan membunuh Presiden Israel Yitzhak Rabin. Rabin meneken kesepakatan damai itu dengan Yasser Arafat, pemimpin Organisasi Pembebasan Palestina (PLO). Meski dikembalikan, sampai sekarang Gaza dan Tepi Barat nyaris sama sekali dikurung oleh ribuan kilometer pagar Israel. Tentara Israel juga bolak-balik mengebom aneka fasilitas umum dan perumahan milik Palestina.
Kendali ketat Israel atas Palestina memicu kemarahan dan bolak-balik memantik perlawanan warga Palestina, seperti Intifada I pada 1987-1993 dan Intifada II pada 2001-2005. Intifada II dianggap berakhir setelah Presiden Palestina Mahmoud Abbas dan Perdana Menteri Israel Ariel Sharon bersepakat di Sharm el-Sheikh, Mesir, pada 2005.
Namun, perundingan pada 2005 itu tidak menghentikan rangkaian kekerasan Israel-Palestina dan perluasan pendudukan Israel. Akhirnya, pada 2014, Abbas memutuskan berhenti berunding dengan Israel. Belakangan, kala Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengumumkan seluruh wilayah Jerusalem sebagai ibu kota Israel, Abbas juga menutup komunikasi dengan AS.
Keputusan itu tidak menyurutkan Trump yang malah mengumumkan sebagian besar Tepi Barat akan diberikan ke Israel dan Gaza diberi sedikit tambahan wilayah. Usulan itu merupakan bagian dari proposal damai Trump yang kerap disebut sebagai ”Kesepakatan Abad Ini”. Proposal ini diumumkan pada Januari 2019. Menantu Trump, Jared Kushner, menjadi tokoh utama yang mempromosikan usulan tersebut. Kala Kushner mempromosikan perdamaian, Israel tetap rutin menyerbu Palestina dan negara Arab lain, seperti Suriah.
Empat kali menyerbu
Israel beralasan bahwa pagar, sistem pertahanan udara, dan aneka serbuan itu merupakan bagian dari perlindungan diri karena mereka pernah tiga kali diserang pada 1948, 1967, dan 1973. Padahal, Israel bolak-balik menyerbu wilayah Palestina. Israel juga empat kali menyerang Mesir dan Suriah.
Pada 1956, bersama Perancis dan Inggris, Israel menyerang Mesir dalam upaya menduduki Terusan Suez. Koalisi Israel mundur karena ditekan dunia internasional.
Sementara pada 1978, 1982, dan 2006 Israel secara terbuka menyerang Lebanon. Serangan pada 1978 membuat Israel menduduki hampir separuh Lebanon sampai tahun 2000. Kala Israel menyerbu pada 1978 dan 1982, Lebanon tengah dilanda perang saudara 1975-1990. Perang itu membuat Lebanon secara faktual diduduki dua tetangga, Israel dan Suriah. Israel menguasai wilayah di selatan Litani, sisanya dikendalikan Suriah.
Pada 2006, dengan alasan berusaha membebaskan tentaranya yang diculik Hezbollah, Israel kembali menyerbu Lebanon. Semua upaya pemulihan selepas perang saudara di Lebanon nyaris musnah dalam pendudukan pada tahun 2006 itu.
Sementara terhadap Suriah, Israel tidak pernah secara terbuka menyatakan perang. Walakin, Israel bolak-balik menyerang Suriah. Jet dan helikopter tempur Israel bolak-balik mengebom wilayah dan pesawat Suriah. Bahkan, pesawat Suriah yang berusaha mengejar kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) kerap menjadi sasaran serbuan Israel.
Israel juga tidak pernah secara terbuka berperang dengan Uni Emirat Arab. Meskipun demikian, selepas mengumumkan Kesepakatan Abad Ini pada Januari 2019, Trump dan Kushner terus berkomunikasi dengan sejumlah negara Arab agar mau mengakui Israel.
Hasilnya, Uni Emirat Arab setuju mengakui Israel dan menjalin hubungan diplomatik. Persetujuan itu diumumkan pada 13 Agustus 2020. Dalam artikel di Foreign Affairs, pakar pada Middle East Institute, Bilal Y Saab, menyebut kesepakatan malam Jumat itu sebagai kemenangan besar Israel. Sebab, ada negara Arab yang kembali mau mengakui kedaulatan Israel. (AFP/REUTERS)