Suhu politik menjelang pemilu di AS memanas. Atmosfer panas ini dipantik oleh Presiden Donald Trump dan para pendukungnya yang gemar memainkan isu-isu rasial berdasarkan kabar palsu.
Oleh
kris mada
·5 menit baca
Presiden Amerika Serikat Donald Trump kembali memainkan isu kewarganegaraan terhadap lawan politiknya. Kali ini, isu itu diarahkan kepada Kamala Harris, bakal calon wakil presiden AS dari Partai Demokrat. ”Saya dengar dia (Harris) tidak memenuhi syarat,” kata Trump, Kamis (13/8/2020) siang waktu Washington atau Jumat dini hari WIB.
Trump mengacu kepada artikel yang ditulis John Eastman di Newsweek. Eastman pernah menjadi dosen hukum di Chapman University, California. Ia dan Harris sama-sama pernah bersaing dalam seleksi calon jaksa agung California pada 2010. Eastman ikut seleksi dari Republik dan kalah dalam proses internal partai. Sementara Harris sukses di seleksi internal Demokrat sekaligus memenangi pemilihan di seluruh California.
Kala Harris dipilih Joe Biden sebagai bakal cawapres AS, Eastman menulis di Newsweek bahwa Harris tidak memenuhi syarat. Sebab, kala Harris lahir pada 1964 di California, kedua orangtuanya masih berstatus warga asing.
Ayahnya, Donald J Harris, masih menjadi warga Jamaika yang sedang belajar ekonomi di AS. Demikian pula ibunya, Shyamala Gopalan, yang masih berstatus warga India kala belajar soal kanker di AS. Donald dan Shyamala sama-sama kuliah di University of California, Berkeley. Belakangan, mereka sama-sama jadi warga AS.
Dalam pernyataannya, Newsweek membantah berusaha memicu serangan rasial pada Harris. Media itu beralasan menghargai keragaman pendapat dan memuat pendapat yang berbeda dari Eastman.
Keraguan Trump dan pendapat Eastman soal kelayakan Harris dibantah pakar politik dan hukum di AS. Pakar Ilmu Politik pada Miami University di Ohio, Christopher Kelley, mengatakan bahwa setiap orang yang lahir di AS atau orangtua berwarga AS bisa menjadi capres atau cawapres bila berusia sekurangnya 35 tahun.
Selain itu, ada pula syarat harus tinggal di AS sekurangnya 14 tahun berturut-turut. ”Tidak ada pertanyaan untuk itu. Sudah diakui sejak rancangan amendemen (ke-14 atas konstitusi AS) mencakup tidak hanya warga AS yang lahir dari orangtua warga negara AS, tetapi juga yang lahir di AS,” ujar Kelly.
Pakar hukum dari Loyola Law School, Jessica Levinson, juga menyatakan bahwa kelayakan Harris tidak perlu dipertanyakan. Harris bisa diusulkan menjadi capres ataupun cawapres.
Gerakan ”birther”
Bukan kali ini saja Trump memainkan kartu kewarganegaraan untuk menyerang lawan politik. Ia pernah meragukan kelayakan Barack Obama sebagai capres. Sebab, ayah Obama berstatus warga Kenya, sementara ibunya warga AS.
Trump adalah tokoh penggerak di balik hal yang biasa disebut sebagai ”gerakan birther”. Istilah birther dalam berbagai kamus dijelaskan sebagai upaya kebohongan yang mempertanyakan apakah Obama, presiden kulit hitam pertama di AS, berhak menjabat sebagai orang nomor satu di AS atau tidak. Trump dikenal membangun karier politik dengan mempertanyakan legitimasi lawan-lawan politiknya.
Bahkan, Trump menggunakan isu kewarganegaraan juga untuk menyerang sesama Republikan seperti pada Ted Cruz pada 2016. Sebab, Cruz lahir di Kanada dari kedua orangtua yang warga AS.
Pertanyaan Cruz pernah diarahkan sejumlah pihak kepada John McCain, capres AS yang diajukan Republikan dalam pemilu 2008. McCain lahir di Panama kala orangtuanya, keduanya warga AS, sedang bertugas di sana. Senat AS sampai harus membuat keputusan untuk menegaskan bahwa McCain adalah anak yang lahir di AS.
Dalam konteks sekarang, latar belakang Harris menjadi keuntungan sekaligus peluang kerugian. Harris adalah minoritas ganda dalam politik AS. Ia perempuan yang lahir dari ayah dan ibu imigran. Sementara pasangannya, Douglas Emhoff, seorang Yahudi.
Fakta-fakta itu memicu serangan, seperti yang ikut disuarakan Trump. Serangan berupa tudingan bahwa Harris adalah anak dari orangtua yang imigran, tidak lahir di AS, dan karenanya tidak bisa jadi calon di pemilu. Kabar palsu itu terutama disiarkan di media-media sosial.
Perisakan brutal
Politisi Republikan, Sarah Palin dan Christine Todd Whitman, membenarkan bahwa Harris akan menjadi sasaran perisakan. Palin mengingatkan bahwa serangan terhadap Harris bisa sangat menyakitkan dan sama sekali tidak terkait kemampuannya sebagai politisi. Mantan Gubernur Alaska itu pernah merasakannya kala menjadi cawapres AS dari Republikan pada pemilu 2008.
Whitman menyebut Harris akan menjadi sasaran utama perisakan daring. ”Akan sangat brutal karena pelantar ini memungkinkan orang melakukan apa pun sembari menyembunyikan identitasnya,” kata mantan Gubernur New Jersey itu.
Sedikitnya 100 anggota parlemen dari sejumlah negara sampai menyurati Facebook untuk bertindak atas penyebaran kabar palsu tersebut. ”Salah satu materi paling penuh kebencian yang ditujukan kepada perempuan diperluas oleh algoritma Anda,” demikian isi surat para perempuan politisi itu kepada pimpinan Facebook, Mark Zuckerberg, dan Sheryl Sandberg.
Salah satu penandatangan surat itu adalah anggota DPR AS dari California, Jackie Speier. Harris dan Speier sama-sama mewakili California di Kongres AS. Harris melalui Senat, Speier lewat DPR.
Sejumlah perempuan politisi membuat kampanye berslogan ”Kami mendukungnya” untuk menyokong Harris. Mereka akan fokus pada isu rasis, seksis, dan kabar kibul yang berpeluang menyerang Harris karena latar belakangnya.
Para penyokong Harris itu terutama mengingat serangan seksis terhadap Hillary Clinton pada pemilu 2016. ”Sekarang kami memahami polanya dan mempunyai cara melawan,” kata Shaunna Thomas dari UltraViolet, kelompok pendamping hak politik perempuan.
Kelompok itu berkoalisi antara lain dengan kelompok Color of Change PAC, Planned Parenthood Votes, dan Time’s Up Now, dan Women’s March untuk menyokong Harris. Mereka telah membuat ruang operasi bersama.
Pemilihan via pos
Manuver lain Trump menjelang pemilu 3 November 2020 adalah menghalangi talangan untuk Kantor Pos AS. Ia mengakui menolak menyetujui tambahan anggaran untuk kantor pos karena ada usulan anggaran untuk mengurus pemilihan lewat pos.
Dengan alasan mengendalikan laju infeksi, sejumlah politisi AS dari Demokrat ataupun Republikan mendorong pemilihan lewat pos. Trump dan sejumlah politisi Republikan menolak usulan itu. Sebab, pemilihan lewat pos dinyatakan berpotensi membuka kecurangan massal.
Trump menyebut, Demokrat menginginkan alokasi dana 25 miliar dollar AS untuk subsidi kantor pos. Sebagian dari dana subsidi itu akan dipakai untuk pemilihan lewat pos. ’Kalau tidak ada kesepakatan, berarti mereka tidak bisa mendapat uang, tidak bisa menggelar pemilu lewat pos,” ujarnya.
Pemerintah dan parlemen AS belum menyepakati paket stimulus lanjutan untuk penanganan pandemi Covid-19. Ketua DPR AS Nancy Pelosi mengatakan, stimulus tambahan tidak hanya untuk melindungi hak pilih. Tambahan juga untuk melindungi layanan umum, seperti pengiriman obat lewat pos. Keputusan Trump menolak tambahan anggaran untuk kantor pos dinilai membahayakan demokrasi dan layanan kesehatan umum. (AP/AFP/REUTERS)