Langkah Uni Emirat Arab meresmikan hubungan diplomatik dengan Israel membuat dunia kaget. Langkah itu dinilai mencederai upaya memerdekakan Palestina. Namun, Uni Emirat Arab bukanlah Arab Saudi, sosok kunci di kawasan.
Oleh
Musthafa Abd. Rahman, dari Kairo, Mesir
·5 menit baca
KAIRO, KOMPAS — Amerika Serikat dan Israel boleh bangga atas tercapainya kesepakatan damai Israel dengan Uni Emirat Arab yang diumumkan pada Kamis (13/8) oleh Presiden AS Donald Trump dari Gedung Putih, Washingtton DC. Bahkan, Trump melukiskan kesepakatan damai itu sebagai kesepakatan Abraham.
Namun, sebenarnya, di tengah gegap gembita pemberitaan media Barat dan Israel tentang hubungan resmi Israel-UEA itu, ada berita penting yang mungkin sengaja tidak digemakan, yaitu gagalnya Haim Saban membujuk Putra Mahkota Arab Saudi Pangeran Mohammed Bin Salman (MBS) untuk membuka hubungan diplomatik dengan Israel.
Saban adalah pengusaha Yahudi di AS yang berperan besar menjadi mediator Israel dan UEA, hingga tercapai kesepakatan damai kedua negara tersebut. Ia adalah pengusaha di sektor media, properti, industri film, dan pasar uang yang menurut majalah Forbes memiliki kekayaan 2,8 miliar dollar AS.
Hanya situs Saudi 24 News dan situs Aljazeera edisi 14 Agustus 2020—dengan mengutip harian Israel, Yedioth Ahronoth—yang memberitakan isi percakapan Saban dan MBS itu. Percakapan Saban dan MBS dilakukan dalam acara makan malam. Menurut Saban, jika membuka hubungan diplomatik dengan Israel, MBS khawatir terjadi tindak anarkistis di Arab Saudi yang dapat dimanfaatkan Iran dan Qatar untuk menyerang Arab Saudi.
Terungkapnya pembicaraan Saban dan MBS menyiratkan adanya rencana besar menormalkan hubungan Arab-Israel. ”Proyek” itu tidak hanya ditujukan pada normalisasi hubungan Israel-UEA saja, tetapi juga untuk Arab Saudi dan negara-negara Arab lain.
Keterlibatan Saban menunjukkan bahwa ada Israel dan AS di belakang proyek itu. Kedua negara yakin keberhasilan proyek besar itu ada di tangan Arab Saudi.
Selain menjadi kekuatan ekonomi terbesar di dunia Arab, Saudi menempati posisi sentral di dunia Arab dan Islam berkat adanya dua kota suci di negara itu, yaitu Mekkah dan Madinah. Setiap tahun, Saudi menjadi tuan rumah jutaan Muslim untuk menunaikan ibadah haji dan umrah. Arab Saudi juga menjadi tuan rumah markas besar Organisasi Kerja Sama Islam (OIC) dan Bank Pembangunan Islam (IDB).
Jika Saban berhasil membujuk MBS, seperti sukses membujuk UEA, jalan sejarah dunia Arab dan Islam bisa berbeda. Bagi Israel, berhasil membuka hubungan diplomatik dengan Arab Saudi nilainya sama dengan membuka hubungan diplomatik dengan seluruh dunia Arab dan Islam.
Penolakan MBS untuk membuka hubungan diplomatik dengan Israel membuat gagal proyek besar itu.
Penolakan itu diduga memicu tekanan AS kepada Saudi, yaitu dengan meminta Riyadh membuka wilayah udaranya untuk maskapai penerbangan komersial Israel yang akan melayani rute reguler dari Tel Aviv menuju Abu Dhabi dan Dubai.
Apabila diizinkan, waktu tempuh dari Tel Aviv menuju Abu Dhabi dan Dubai terpangkas hanya menjadi 3 jam saja. Sebaliknya, jika ditolak, waktu tempuhnya akan molor hingga 6 jam. Sebab, pesawat dari Tel Aviv harus melintasi Laut Merah dan Afrika Timur lalu belok ke arah timur menuju Teluk Oman, kemudian ke utara menuju Dubai atau Abu Dhabi. Arab Saudi sampai saat ini belum memberikan jawaban atas permintaan itu.
Sikap Arab Saudi atas bujukan Saban membuat langkah pengusaha itu sementara terhenti di Uni Emirat Arab.
Posisi kunci
Setelah melihat sikap Arab Saudi, hampir dipastikan banyak negara Arab lain di dunia Arab tidak akan mengikuti langkah UEA.
Bahrain yang diduga memiliki hubungan rahasia cukup kuat dengan Israel masih berpikir dua kali membuka hubungan resmi dengan Tel Aviv. Selama Arab Saudi menolak membuka hubungan resmi dengan Israel, Bahrain mengambil sikap serupa.
Bahrain dikenal sangat loyal kepada Arab Saudi. Keberadaan negara itu disebut-sebut bergantung pada Arab Saudi. Sementara itu, Kuwait sudah menegaskan akan menjadi negara Arab terakhir yang akan membuka hubungan diplomatik dengan Israel.
Kesultanan Oman, meskipun menyambut baik hubungan resmi Israel-UEA, hampir dipastikan memerlukan banyak waktu untuk memutuskan meresmikan hubungan dengan Israel. Oman di lingkungan organisasi Dewan Kerja Sama Teluk (GCC) dikenal memiliki sikap dan kebijakan yang independen. Oman tentu gengsi jika dikesankan mengekor jejak UEA dengan bergegas meresmikan hubungan dengan Israel.
Sikap Qatar dapat dipastikan menolak. Dalam peta geopolitik di kawasan, Qatar berseberangan dengan UEA. Mereka mengecam hubungan resmi Israel-UEA.
Pada satu sisi, hubungan resmi Israel-UEA dapat memengaruhi peta geopolitik di Timur Tengah. Namun, di sisi lain, tatanan dunia Arab terkait konflik Arab-Israel masih belum ambruk, selama Arab Saudi menolak membuka hubungan resmi dengan Israel.
Tatanan dunia Arab dalam konflik Arab-Israel masih mengacu pada proposal damai Arab tahun 2002 yang digagas Raja Arab Saudi Abdullah bin Abdulaziz. Proposal damai Arab itu menegaskan kesediaan dunia Arab dan Islam membuka hubungan diplomatik secara kolektif dengan Israel, dengan imbalan berdirinya negara Palestina di atas tanah tahun 1967 dengan ibu kota Jerusalem Timur.
Seandainya nanti ada negara Arab lain yang mengikuti jejak UEA, seperti Oman atau Sudan, tatanan dunia tidak berubah selama Arab Saudi masih kokoh dengan pendiriannya.
Posisi itu membuat Palestina sebagai pihak yang paling dirugikan dari hubungan resmi Israel-UEA masih bisa bernapas lega. Arab Saudi kini menjadi benteng terakhir Palestina dalam menghadapi Israel karena menjadi satu-satunya negara besar di Arab yang dengan kokoh masih menolak membuka hubungan resmi dengan Israel.
Merujuk pada sikap Arab Saudi itu, kini prioritas utama Palestina di kawasan adalah menjaga hubungan baik dengan Riyadh. Bahkan, penting bagi Palestina untuk menempatkan Arab Saudi pada posisi sentral dalam strategi perjuangan Palestina selanjutnya.