Bahrain Susul UEA Jalin Relasi dengan Israel, Arab Makin Tinggalkan Palestina
Bahrain mengikuti jejak Uni Emirat Arab menormalisasi hubungan dengan Israel. Tindakan Bahrain mengecewakan rakyat dan Pemerintah Palestina. Satu per satu negara Arab meninggalkan Palestina.
WASHINGTON, SABTU — Bahrain mengikuti jejak Uni Emirat Arab menormalisasi hubungan dengan Pemerintah Israel. Perkembangan terbaru ini, selain terbangun oleh kekhawatiran bersama terhadap meluasnya pengaruh Iran, juga menandai langkah dunia Arab yang semakin meninggalkan Palestina.
Pengumuman normalisasi hubungan Bahrain-Israel disampaikan Presiden Amerika Serikat Donald Trump di Washington, Jumat (11/9/2020) waktu setempat. ”Ini benar-benar hari yang bersejarah,” kata Trump kepada sejumlah jurnalis di Gedung Putih.
Pengumuman normalisasi hubungan itu juga disampaikan Trump melalui akun Twitter miliknya setelah dia berbicara dengan Raja Bahrain Hamad bin Isa Al Khalifa dan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu. Di dalam pernyataan bersama, ketiganya mengatakan bahwa pembukaan dialog langsung dan hubungan antara dua masyarakat yang dinamis serta perekonomian maju akan melanjutkan transformasi positif Timur Tengah serta meningkatkan stabilitas, keamanan, dan kemakmuran di kawasan.
Baca juga : Pertarungan Menuju Sykes-Picot Baru di Timur Tengah
Bahrain, negara pulau kecil, adalah tempat markas regional Angkatan Laut AS. Arab Saudi pada tahun 2011 mengirim pasukan ke Bahrain untuk membantu memadamkan pemberontakan. Pada 2018, Arab Saudi bersama Kuwait dan UEA menawarkan dana talangan senilai 10 miliar dollar kepada Bahrain untuk membantu perbaikan kondisi ekonominya.
Netanyahu mengatakan, kesepakatan normalisasi hubungan dengan Bahrain menandai era baru perdamaian. ”Selama bertahun-tahun yang panjang, kami berinvestasi dalam perdamaian. Dan sekarang, perdamaian akan membawa investasi kepada kami, menghasilkan hal yang benar-benar besar dalam ekonomi Israel,” kata Netanyahu.
Baca juga : Siluman F-35 Tentukan Perimbangan Kekuatan di Timur Tengah
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri UEA Hend al Otaiba mengucapkan selamat kepada Bahrain dan Israel atas rencana normalisasi itu. Dia mengatakan, kesepakatan tersebut menandai pencapaian penting dan bersejarah berikutnya yang akan memberikan kontribusi besar bagi stabilitas dan kemakmuran kawasan.
Menurut rencana, penandatanganan kesepakatan normalisasi hubungan Bahrain-Israel akan digabung dengan upacara penandatanganan kesepakatan UEA-Israel, 15 September mendatang. Dalam pernyataan bersama AS, Bahrain, Israel disebutkan bahwa Menteri Luar Negeri Bahrain Abdullatif Al Zayani akan bergabung dalam upacara itu dan menandatangani deklarasi perdamaian dengan Netanyahu.
Bahrain menjadi negara Arab keempat yang sepakat menormalisasi hubungan dengan Israel setelah Mesir, Jordania, dan UEA.
Palestina kecam keras
Pemerintah dan rakyat Palestina khawatir langkah Bahrain yang mengikuti langkah UEA melemahkan posisi lama Arab dalam hubungan dengan Israel. Selama ini kebijakan Arab terkait hubungan mereka dan Israel mengacu pada Inisiatif Damai Arab tahun 2002. Dalam inisiatif itu ditegaskan bahwa Arab akan mengakui dan berdamai dengan Israel, antara lain, jika Israel bersedia mundur dari wilayah yang diduduki dalam perang tahun 1967 dan menerima berdirinya negara Palestina dengan Jerusalem Timur sebagai ibu kota.
Sebuah pernyataan yang dikeluarkan atas nama kepemimpinan Palestina mengecam perjanjian itu sebagai pengkhianatan terhadap perjuangan Palestina. ”Pimpinan Palestina menolak langkah yang diambil oleh Kerajaan Bahrain dan menyerukannya untuk segera mundur dari (kesepakatan) itu karena kerusakan besar yang timbul dan keterasingan hak-hak nasional rakyat Palestina dan tindakan bersama bangsa-bangsa Arab,” demikian pernyataan itu.
Baca juga : Palestina Gagal Bujuk Liga Arab untuk Kecam UEA-Israel
Kementerian Luar Negeri Palestina mengatakan akan memanggil kembali Duta Besar Palestina untuk Bahrain untuk berkonsultasi. Juru Bicara Kelompok Hamas Hazem Qassem mengatakan, keputusan Bahrain untuk menormalisasi hubungan dengan Israel ”merupakan kerugian besar bagi perjuangan Palestina dan mendukung pencaplokan wilayah oleh Israel”.
Kecaman juga datang dari negara lain, seperti Iran dan Turki. Iran menyebut Bahrain kini sebagai mitra kejahatan Israel. ”Penguasa Bahrain sejak kini menjadi mitra kejahatan-kejahatan rezim Zionis sebagai ancaman terus-menerus bagi keamanan di kawasan dan dunia Islam,” demikian pernyataan Kementerian Luar Negeri Iran.
Kementerian Luar Negeri Turki juga mengecam keras keputusan Bahrain. Langkah Bahrain itu merupakan pukulan bagi upaya membela urusan Palestina. ”(Langkah) itu akan semakin mendorong Israel melanjutkan praktik-praktik tidak sah terhadap rakyat Palestina dan upaya menduduki tanah Palestina menjadi permanen,” sebut Kemlu Turki.
Adapun Menteri Luar Negeri Jordania Ayman Safadi menyebutkan melalui pernyataan tertulis bahwa langkah-langkah penting untuk mencapai perdamaian yang fair dan komprehensif di kawasan harus datang dari Israel. Ia menambahkan, setelah pengumumam normalisasi hubungan antara Bahrain dan Israel, Israel harus menghentikan seluruh tindakan yang mengganggu solusi dua negara dan harus menghentikan pendudukan ilegal atas tanah Palestina.
Presiden Mesir Abdel Fattah al-Sisi memuji kesepakatan normalisasi hubungan antara Bahrain dan Israel sebagai hal bersejarah. ”Saya memuji langkah penting ini yang ditujukan untuk mengonsolidasikan stabilitas dan perdamaian di Timur Tengah, yang akan mencapai solusi adil dan permanen dalam masalah Palestina,” cuit Sisi dalam akun Twitter-nya.
Mesir merupakan negara Arab pertama yang menandatangani perdamaian dengan Israel tahun 1979, disusul Jordania tahun 1994, lalu UEA pada 13 Agustus 2020.
Pengamat: Lampu hijau Saudi
Sejumlah pengamat menilai, keputusan Bahrain untuk menormalisasi hubungan dengan Israel tidak terlepas dari peran Arab Saudi. Arab Saudi, saingan utama Sunni untuk Syiah Iran, sejauh ini mengisyaratkan bahwa mereka belum siap menormalisasi hubungan dengan Israel.
Zaha Hassan, peneliti tamu di lembaga Carnegie Endowment for International Peace, mengatakan bahwa langkah Bahrain yang dinilai mengganggu oleh rakyat dan Pemerintah Palestina tidak terlepas dari peran Arab Saudi. ”Langkah ini tidak dapat terjadi tanpa lampu hijau Saudi,” ujarnya.
Baca juga : Israel Siapkan Karpet Merah Membalas Uni Emirat Arab
Hassan menyebutkan, Arab Saudi berada di bawah tekanan untuk juga menjalin normalisasi hubungan dengan Israel. Namun, posisi Arab Saudi sebagai negara penjaga tempat suci umat Muslim dan tidak populernya langkah tersebut di kalangan akar rumput rakyat negara itu mengekang Riyadh untuk mengambil kebijakan itu. ”Bahrain dipersembahkan sebagai penghiburan yang akan menjaga Arab Saudi dalam hubungan baik dengan Trump,” ucapnya.
Hassan menambahkan, langkah Bahrain sangat mengganggu bagi Palestina. Palestina semakin ditinggalkan oleh dunia Arab. Rabu lalu, dalam sidang Menlu Liga Arab, Palestina berusaha mendapat dukungan negara-negara Arab untuk mengecam kesepakatan UEA-Israel. Palestina memang memperoleh dukungan Arab Saudi atas upaya memperjuangkan negara.
Namun, Liga Arab tidak menerima permintaan Palestina. Bahkan, bukannya dukungan yang diberikan, dua hari berselang negara Arab lainnya, yakni Bahrain, malah menjalin normalisasi hubungan dengan Israel. Pekan sebelumnya, Bahrain mengizinkan penerbangan antara UEA dan Israel melewati wilayah udaranya, seperti izin serupa yang telah diberikan Arab Saudi.
Trump coba petik untung
Kesepakatan UAE dan Bahrain dengan Israel terjadi saat Trump, calon presiden dari Partai Republik, tertinggal dari pesaingnya, Joe Biden dari Partai Demokrat, dalam sejumlah jajak pendapat menjelang pemilihan presiden AS, 3 November mendatang. Kebijakan luar negeri memang tidak terlalu berpengaruh besar dalam kampanye-kampanye jelang pemilu di AS.
Akan tetapi, Trump ingin menampilkan sosok dirinya di hadapan publik AS sebagai pembuat perdamaian. Selain itu, langkah Trump yang pro-Israel, antara lain, juga dinilai sebagai upaya mendongkrak dukungan dari para pemilih berbasis Kristen Evangelikan, salah satu basis pendukung politik terpentingnya.
AS, Israel, dan UAE telah menyerukan kepada pemimpin Palestina untuk berunding kembali dengan Israel. Perundingan terakhir antara Palestina dan Israel terhenti tahun 2014. Setelah itu, Presiden Palestina Mahmoud Abbas menolak mediasi AS di bawah Trump karena Trump terlalu bias pro-Israel. (AP/AFP/REUTERS)