15 September, tanggal penandatanganan perjanjian normalisasi hubungan Israel dengan UEA dan Bahrain, akan menjadi hari gelap bagi Palestina. Otoritas Palestina berpikir ulang merevisi hubungan dengan Liga Arab.
Oleh
Mahdi Muhammad
·4 menit baca
RAMALLAH, SELASA — Pada tanggal 15 September ini, dijadwalkan akan berlangsung penandatanganan perjanjian normalisasi hubungan dua negara Arab, yaitu Uni Emirat Arab dan Bahrain, dengan Israel di Gedung Putih, Washington DC, Amerika Serikat. Palestina menyebut tanggal 15 September ini sebagai ”hari gelap” atau ”bencana” bagi dunia Arab, khususnya bagi rakyat Palestina yang sejak lama menginginkan berdirinya negara Palestina.
Otoritas Palestina tengah memikirkan kemungkinan untuk meninjau ulang hubungan mereka dengan Liga Arab. Langkah ini diambil setelah mereka gagal mendapatkan dukungan yang dibutuhkan agar Liga Arab mengecam keputusan normalisasi hubungan yang diambil oleh dua negara anggotanya itu.
Otoritas Palestina (PA) yang bermarkas di Tepi Barat dan kelompok Hamas yang memerintah Gaza sama-sama mengecam keras normalisasi yang diperantarai oleh AS itu. PA dan Hamas menilai normalisasi UEA dan Bahrain dengan Israel sebagai sebuah tikaman dari belakang terhadap perjuangan rakyat Palestina.
”Besok, kita akan menyaksikan hari gelap dalam sejarah dunia Arab, kekalahan lembaga Liga Arab, yang tidak bersatu, tetapi terpecah,” kata Perdana Menteri Palestina Mohammed Shtayyeh pada pertemuan mingguan dengan kabinetnya, Senin (14/9/2020).
Tanggal 15 September, kata Shtayyeh, akan menjadi tambahan dalam kalender penderitaan rakyat Palestina. Tidak hanya bagi rakyat Palestina, menurut Shtayyeh, hari itu juga bisa dimaknai sebagai pukulan telak dan mematikan bagi inisiatif perdamaian Arab dan solidaritas bangsa Arab.
Palestina telah menyerukan kepada sejumlah negara Arab untuk memprotes upacara penandatanganan kesepakatan normalisasi yang akan dilaksanakan di Gedung Putih, Washington, Selasa (15/9/2020) waktu setempat. Palestina mendesak negara-negara Arab untuk tidak ambil bagian dalam perayaan pasca-penandatanganan kesepakatan normalisasi hubungan UEA-Bahrain dan Israel tersebut.
Di pihak Israel, mantan Kepala Dinas Intelijen Israel (Mossad), Efraim Halevy, menilai bahwa perjanjian normalisasi hubungan antara UEA-Israel dan Bahrain-Israel bukanlah kesepakatan damai. Dia menilai banyak kepentingan demi kepentingan. Sayangnya, dia tidak mengelaborasi apa yang dimaksud dengan kepentingan itu di dalam penjelasannya.
Halevy, seperti dikutip koran The Jerusalem Post, menolak pernyataan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu bahwa normalisasi hubungan dengan UEA dan Bahrain adalah bagian dari kebijakan ”Perdamaian untuk Perdamaian”. Dia menilai, Israel tidak pernah berada dalam situasi perang dengan kedua negara tersebut. Hal ini berbeda situasinya dengan Iran atau Mesir dan Jordania di masa lalu.
Hubungan dengan Liga Arab
Ketidaktegasan negara-negara anggota Liga Arab pada persidangan terakhir membuat Shtayyeh dan kabinetnya mempertimbangkan agar Presiden Palestina Mahmoud Abbas merevisi hubungan Palestina dengan Liga Arab. Shtayyeh, sebagaimana dikutip dari kantor berita WAFA, mengatakan bahwa negara-negara anggota Liga Arab memilih menutup mulutnya meski ada pelanggaran terang-terangan atas resolusinya sendiri.
Shtayyeh menggambarkan organisasi tersebut kini telah berubah menjadi simbol ketidakmampuan dan retaknya kekeluargaan di antara negara-negara Arab.
Pimpinan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) kecewa dengan langkah yang diambil Bahrain dan UEA. Mereka lebih kecewa lagi dengan sikap Liga Arab yang memilih diam atas tindakan UEA dan Bahrain.
”Pimpinan sangat kecewa. Namun, menurut saya, mereka tidak lebih marah daripada di masa lalu tentang dunia Arab pada umumnya. Orang Palestina selalu mengeluh bahwa dunia Arab tidak berdiri di belakang mereka sebagaimana mestinya,” kata Sari Nusseibeh, mantan pejabat tinggi PLO.
Analis Palestina, Ghassan Khatib, menyatakan, permasalahan di antara negara-negara Arab sendiri yang membuat mereka tidak bisa bersatu, mulai dari perselisihan, perang saudara, hingga penggulingan pemerintahan, yang membuat mereka tidak pernah solid sebagai organisasi. Selain itu, pertarungan ideologi juga melingkupinya.
”Kini, Palestina sekarang membayar harga atas kemerosotan persatuan Arab,” kata Khatib.
Palestina tetap berupaya mempertahankan apa yang disebut sebagai konsensus negara-negara Arab dan menolak anggapan bahwa konsensus itu telah gagal. Konsensus di antara negara-negara Arab juga menyatakan bahwa mereka hanya akan menormalisasi hubungan jika Israel memenuhi sejumlah persyaratan, antara lain Israel menarik diri dari wilayah yang didudukinya dalam Perang Enam Hari tahun 1967, pendirian negara Palestina dengan Jerusalem Timur sebagai ibu kota, serta solusi yang adil bagi jutaan pengungsi Palestina dan keturunan mereka.
”Kami berharap negara-negara Arab akan tetap berkomitmen pada konsensus ini,” kata Jibril Rajoub, seorang pejabat senior Palestina. Dia menambahkan, penyimpangan konsensus tidak akan menghasilkan apa-apa. (AFP)