Jalan Tengah Meredam Pandemi
Intervensi yang efektif dalam mengendalikan pandemi menjadi bagian tak terpisahkan dari pemulihan ekonomi. Strategi ”gas-rem” pembatasan sosial menjadi jalan tengah tarikan kesehatan dan ekonomi.
Pandemi Covid-19 membawa dampak yang luas, tak hanya pada kesehatan global, tetapi juga menjadi masalah ekonomi dunia. Respons terhadap pandemi kemudian tak luput dari bingkai diskursus: bagaimana menyeimbangkan antara pengendalian penyakit dan pemulihan ekonomi.
Kepala ekonom Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) Laurence Boone menyatakan bahwa dunia sedang menghadapi perlambatan ekonomi paling dramatis sejak Perang Dunia II. Dalam prospek ekonomi terbaru, OECD memperkirakan ekonomi dunia akan terkontraksi sebesar 4,5 persen pada tahun ini.
Memang angka proyeksi terbaru OECD itu lebih tinggi dari perkiraan yang dibuat pada Juni lalu ketika ekonomi global diperkirakan anjlok hingga 6 persen tahun ini. Tahun depan ekonomi global diproyeksikan tumbuh 5 persen. Meskipun demikian, ketidakpastian masih tinggi di tengah kemungkinan gelombang kedua pandemi Covid-19 secara global dan efek penanganannya.
Ada asumsi bahwa negara- negara menghadapi semacam trade-off antara kesehatan dan ekonomi dalam merespons pandemi. Jika menerapkan intervensi kesehatan yang ketat, seperti karantina wilayah, sektor ekonomi akan rontok. Begitu juga sebaliknya. Menghadapi pandemi dengan protokol kesehatan lebih longgar agar ekonomi bisa berputar risikonya adalah kasus positif dan meninggal bisa meningkat. Lama-lama, sistem kesehatan bakal kolaps.
Dampak ekonomi pandemi memang tidak main-main. Itu sebabnya banyak negara yang melonggarkan pembatasannya dengan alasan untuk menggerakkan roda ekonomi walaupun laju infeksi masih tinggi.
Baca juga: Kapan Sebaiknya ”Lockdown” Mulai Dilonggarkan
Cara sederhana menjawab asumsi trade-off itu adalah dengan membandingkan bagaimana dampak kesehatan dan ekonomi akibat pandemi di banyak negara. Apakah negara dengan angka kematian akibat Covid-19 yang lebih rendah mengalami kontraksi ekonomi yang lebih besar?
Dengan membandingkan angka kematian akibat Covid-19 dengan data produk domestik bruto (PDB) ternyata yang terjadi justru sebaliknya. Negara-negara yang berhasil melindungi kesehatan warganya di tengah gelombang pandemi, secara umum, juga relatif berhasil melindungi perekonomiannya.
Joe Hassel, peneliti pada Our World in Data, memetakan penurunan PDB di 38 negara pada kuartal kedua (April-Juni) 2020 dibandingkan dengan periode sama tahun lalu, kemudian menyandingkannya dengan angka kematian akibat Covid-19. Penurunan PDB di beberapa negara memang sangat ekstrem, seperti di Spanyol, Inggris, dan Tunisia yang mengalami penurunan PDB minimal 20 persen dibandingkan dengan tahun lalu. Bahkan, penurunan yang dialami Peru mencapai 30 persen.
Baca juga: Pemulihan Ekonomi Global Bisa Terhambat oleh Gelombang Kedua Korona
Sementara di negara lain, seperti Taiwan, Finlandia, Lituania, dan Korea Selatan, dampak ekonomi pandemi terasa lebih ringan. Di Taiwan, penurunan PDB tahunan pada kuartal kedua 2020 kurang dari 1 persen. Penurunan PDB di Finlandia, Lituania, dan Korea Selatan sekitar 5 persen.
Lalu apakah negara yang ”mengorbankan” perekonomiannya, ditandai dengan penurunan ekonomi lebih besar, akan lebih baik dalam melindungi kesehatan warganya, seperti asumsi sebelumnya?
Yang terjadi justru bertolak belakang dengan asumsi trade-off. Data memperlihatkan bahwa negara yang mengalami kontraksi ekonomi termasuk negara yang memiliki angka kematian yang juga tinggi. Contohnya, Peru (867 kematian per 1 juta penduduk), Spanyol (620 kematian per 1 juta), dan Inggris (611 kematian per 1 juta penduduk).
Respons efektif
Begitupun sebaliknya, negara dengan dampak ekonomi yang ringan berhasil menjaga angka kematian akibat Covid-19 yang rendah, contohnya Taiwan (0,29 kematian per 1 juta penduduk), Korea Selatan (6 kematian per 1 juta), dan Lituania (31 kematian per 1 juta). Pada akhirnya, respons terhadap pandemi yang efektif menjadi bagian tak terpisahkan dari langkah memulihkan atau setidaknya menjaga ekonomi tidak terperosok lebih dalam.
OECD menggarisbawahi bahwa kesuksesan ekonomi berjalan seiring dengan keberhasilan negara-negara dalam meredam pandemi. Korea Selatan sejauh ini dapat dijadikan acuan. Saat Amerika Serikat (AS) masih berjuang menangani pandemi dan pelambatan ekonomi, Korsel tampaknya telah menemukan resep untuk berhasil di kedua sisi itu. Syarat lebih lanjutnya adalah asal Korsel mampu menahan peningkatan jumlah kasus Covid-19 akhir tahun ini.
Korsel dan AS sama-sama mencatat kasus pertama virus korona, yakni pada awal tahun ini. Jumlah kasus di Korsel mencapai puncaknya dengan 851 kasus harian baru pada Maret, sebelum mendatar menjadi satu digit. Adapun di AS penambahan kasus positif Covid-19 tidak pernah benar-benar stabil hingga pertengahan Juli. Puncaknya adalah 74.818 infeksi dalam satu hari.
Jurnalis lepas yang berbasis di Korsel, Morten Soendergaard Larsen, dalam tulisannya di Foreign Policy menyatakan, penanganan wabah yang efektif membuat penguncian nasional yang ketat, seperti yang dilakukan negara-negara di Eropa, tak diperlukan di sebagian besar wilayah di Korsel. Dengan cara yang efektif, dislokasi ekonomi dari pabrik yang tutup, restoran yang tutup, tidak terjadi.
Baca juga: Pembatasan Ketat Korsel Berhasil Tekan Penambahan Kasus Baru Covid-19
”Alasan utamanya adalah mereka mampu mengatasi epidemi jauh lebih baik daripada yang lain. Jadi gangguan terhadap aktivitas menjadi lebih terbatas,” kata Christophe André, ekonom senior OECD untuk Korsel.
Ketika kluster baru penularan Covid-19 bermunculan di metropolitan Seoul dan mencapai puncaknya 27 Agustus dengan 441 kasus sehari, otoritas Korsel kembali menerapkan pembatasan sosial yang ketat. Hasilnya, laju infeksi kembali turun hingga di bawah 130 kasus sehari.
Strategi ”gas-rem”
Setelah relatif terkendali, kebijakan pembatasan kembali dilonggarkan sampai akhir September ini saat libur hari raya Chuseok. Saat itulah pembatasan ketat akan diterapkan lagi. Strategi ”gas-rem” Korsel ini sejalan dengan studi pemodelan matematika oleh ilmuwan Harvard University yang dipublikasikan pada jurnal Science, 14 April 2020. Hasil riset itu menyatakan, pembatasan sosial yang hanya dilakukan sekali tak akan mampu menghambat penyebaran Covid-19. Pembatasan sosial perlu dilakukan berulang atau selang-seling dengan didukung oleh tes yang luas, terapi yang efektif, dan kapasitas layanan kesehatan yang baik.
Baca juga: Korsel Longgarkan Pembatasan Sebelum Pengetatan Lagi Jelang Libur Nasional
Di luar intervensi kesehatan, Pemerintah Korsel juga dengan cepat meluncurkan respons fiskal yang cukup agresif. Seoul mengalirkan anggaran senilai 12,2 miliar dollar AS, atau sekitar 0,7 persen dari PDB-nya, ke dalam kantung bisnis dan warga negara di awal musim semi. Jumlahnya tidak sebesar negara-negara, seperti Jerman, yang meluncurkan paket stimulus senilai sekitar 4 persen dari PDB. Namun, karena Seoul menyalurkannya dengan cepat, dana itu membantu menjaga konsumsi tetap tinggi. Korsel juga terus memberikan dukungan dalam bentuk pinjaman dan jaminan bagi warga senilai total 230 miliar dollar AS.
Keran fiskal Korsel juga terus dibuka. Pekan lalu, pemerintah negara itu mengumumkan putaran keempat stimulusnya senilai 6,5 miliar dollar AS. Otoritas Korsel mengatakan bahwa pendekatan ekspansif kemungkinan akan berlanjut hingga tahun depan untuk memerangi dampak ekonomi yang berkepanjangan akibat pandemi.
Pada 13 April 2020, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pernah memperingatkan negara-negara bahwa melonggarkan kebijakan pembatasan sosial, karantina wilayah, penutupan wilayah, atau apa pun namanya tidak bisa dilakukan sekaligus. Setiap negara harus tetap waspada akan munculnya lonjakan kasus dan menerapkan protokol kesehatan di semua aspek.
”Tidak membuka sekaligus karantina wilayah sangat penting agar orang-orang bisa kembali bekerja dan ekonomi kembali bergerak secepatnya,” kata Ketua Gugus Tugas Penanganan Covid-19 WHO Maria van Kerkhove.
Namun, perlu diingat bahwa dalam menetapkan waktu pelonggaran atau strategi ”gas-rem” seperti Korsel harus didasarkan pada data epidemiologi, bukan sekadar kemauan pemimpin negara. (REUTERS)