Sudan menyatakan siap menjalin hubungan diplomatik dengan Israel, menyusul Uni Emirat Arab dan Bahrain, jika Amerika Serikat dan UEA bersedia memenuhi semua permintaannya.
Oleh
MUSTHAFA ABD RAHMAN, DARI KAIRO, MESIR
·3 menit baca
KAIRO, KOMPAS — Ketua Dewan Transisi Sudan Abdel Fattah al-Burhan, Senin (21/9/2020), di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, seperti dilansir kantor berita Sudan, SUNA; televisi Al Jazeera; dan harian Al-Quds al-Arabi; menggelar perundingan intensif dengan delegasi Amerika Serikat dan sejumlah pejabat Uni Emirat Arab. Mereka membahas kemungkinan membuka hubungan diplomatik Sudan-Israel secepat mungkin.
Burhan, didampingi Menteri Peradilan Sudan Nasreldin Abdelbari, dan sejumlah pejabat tinggi Sudan lainnya tiba di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab (UEA), Minggu (20/9/2020), untuk menemui dan berunding dengan pejabat AS-UEA soal isu pembukaan hubungan resmi Sudan-Israel.
Turut terlibat dalam perundingan tersebut Direktur Urusan Kawasan Arab Teluk Dewan Keamanan Nasional Gedung Putih Miguel Correa dan Penasihat Keamanan Nasional UEA Sheikh Tahnoun bin Zayed. Burhan juga telah bertemu empat mata dengan Putra Mahkota Abu Dhabi Sheikh Muhammad bin Zayed.
Burhan menyampaikan kesiapan Sudan membuka hubungan diplomatik resmi dengan Israel sesegera mungkin, bahkan dalam beberapa hari mendatang, jika AS memenuhi syarat yang diajukan Sudan.
Burhan mengajukan beberapa syarat kepada AS dan UEA terkait pembukaan hubungan resmi Sudan-Israel. Pertama, AS segera memproses pencabutan Sudan sebagai negara pendukung teroris. Kedua, AS segera mencairkan paket bantuan 3,2 miliar dollar AS kepada Sudan. Paket bantuan itu dengan rincian 1,2 miliar dollar AS untuk bantuan logistik darurat yang akan disalurkan kepada korban banjir akibat meluapnya Sungai Nil di Sudan dan 2 miliar dollar AS berupa kredit lunak. Ketiga, komitmen AS dan UEA menyalurkan bantuan rutin kepada Sudan selama tiga tahun mendatang.
Diberitakan, AS secara prinsip sudah menyampaikan kesediaannya memproses pencabutan Sudan sebagai negara teroris, yang akan dimulai pada akhir Oktober. Menurut media massa di Sudan, Burhan telah mendapat undangan dari Presiden AS Donald Trump untuk mengunjungi Washington DC pada 5 Oktober. Kunjungan Burhan ke Washington DC itu akan menandai berakhirnya hubungan tegang Sudan-AS yang berlangsung selama 30 tahun terakhir ini.
PM Israel Benjamin Netanyahu, ketika berada di Washington DC, pekan lalu, untuk menghadiri acara penandatanganan hubungan resmi Israel dengan UEA dan Bahrain turut melobi AS agar segera memenuhi aspirasi Sudan guna bisa membuka hubungan resmi dengan Israel.
Perubahan besar
Para pejabat Sudan di Dewan Transisi Sudan mulai menyadari bahwa dibukanya hubungan resmi Sudan-Israel akan membawa kemaslahatan terhadap Sudan yang saat ini dililit krisis ekonomi akut.
PM Sudan Abdalla Hamdok mendukung Ketua Dewan Transisi Sudan Abdel Fattah al-Burhan untuk mengambil keputusan membuka hubungan diplomatik dengan Israel jika AS memenuhi semua persyaratan yang diminta Sudan.
Sebelumnya, pada 25 Agustus, PM Hamdok telah bertemu dengan Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo di Khartum, membahas soal isu kemungkinan Sudan membuka hubungan diplomatik dengan Israel. AS saat ini sangat mendorong Sudan mengikuti jejak UEA dan Bahrain yang telah membuka hubungan resmi dengan Israel.
Salah seorang pemimpin Gerakan Kebebasan dan Perubahan (FFC) di Sudan, Khaled Omar Yusuf, kepada harian Al-Quds al-Arabi, mengatakan, Sudan tidak bisa lepas dari perkembangan regional di Timur Tengah. Menurut dia,
isu hubungan resmi Sudan-Israel masih terus menjadi bahan diskusi pimpinan Dewan Transisi Sudan. FFC adalah mitra militer Sudan dalam dewan transisi yang dibentuk setelah rezim Presiden Omar Hassan Bashir tumbang pada tahun 2019.
Sejak Dewan Transisi Sudan pimpinan Abdel Fattah al-Burhan terbentuk, hubungan internasional Sudan mengalami perubahan luar biasa. Puncak perubahan haluan kebijakan luar negeri Sudan itu terjadi ketika Burhan secara mengejutkan bertemu dengan PM Israel Benjamin Netanyahu di Entebbe, Uganda, 3 Februari. UEA disinyalir ikut berperan dalam mengatur pertemuan Burhan-Netanyahu itu.
Pertemuan tersebut dikecam keras oleh para pengunjuk rasa di Sudan. Burhan setelah itu sempat menyatakan keraguan mengenai normalisasi hubungan yang terlalu cepat dengan Israel meskipun pesawat maskapai Israel tidak lama lagi memulai penerbangan melewati wilayah udara Sudan.