Pandemi Sadarkan Eksekutif Perusahaan Akan Makin Pentingnya Hidup Seimbang
Pandemi Covid-19 menyadarkan para eksekutif sejumlah perusahaan papan atas dunia soal kesehatan mental mereka. Para eksekutif merasa perlu ada evaluasi dan keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan di luar pekerjaan.
Oleh
Luki Aulia
·4 menit baca
Krisis pandemi Covid-19 yang muncul sejak awal tahun ini menyebabkan 8 dari 10 orang yang berada di pucuk pimpinan perusahaan ternama di Perancis, Mesir, Uni Emirat Arab, Amerika Serikat, dan Inggris mengalami masalah kesehatan mental. Menyadari ada masalah kesehatan mental ini, mereka lalu berencana mengevaluasi ulang dan memperbaiki keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan di luar pekerjaan.
Hasil survei asuransi kesehatan Bupa Global terhadap sekitar 2.000 petinggi perusahaan, Senin (28/9/2020), menunjukkan bahwa banyak petinggi perusahaan ternama di lima negara itu merasa harus menata ulang hidupnya setelah mengalami kemuraman hidup akibat pandemi.
Krisis Covid-19 memaksa banyak orang di seluruh dunia, termasuk petinggi atau pejabat eksekutif perusahaan, untuk bekerja di luar kantor setelah pemerintah memberlakukan karantina atau pembatasan untuk mencegah meluasnya pandemi Covid-19. Kebijakan tinggal di rumah saja dan segala aktivitas luar yang harus dibatasi inilah yang menyebabkan munculnya persoalan kesehatan fisik dan mental.
Para petinggi eksekutif yang disurvei itu menyatakan berencana untuk memperbaiki hidup mereka dengan berolahraga secara rutin, mengonsumsi makanan yang lebih sehat, meluangkan waktu untuk meditasi, dan menghabiskan waktu yang lebih banyak bersama keluarga.
”Masalah kesehatan mental ini dampak serius dari pandemi sehingga sangat penting bagi para pemimpin perusahaan itu untuk menangani masalah pribadi dan perusahaan mereka,” kata Direktur Kesehatan Bupa Global Luke James.
Bekerja di rumah
Hasil survei tersebut juga menunjukkan, sekitar sepertiga dari partisipan—meski merasa ada masalah mental—tetap berniat bekerja dari rumah saja. Seperempat partisipan lainnya berencana mengurangi jam kerja mereka. Partisipan perempuan lebih banyak memilih tetap bekerja dari rumah, tetapi perempuan yang mempunyai anak cenderung lebih memilih agar tetap bisa bekerja di kantor seperti semula.
”Siapa pun yang bekerja di rumah dengan anak-anak di sekitar mereka atau berusaha bekerja di rumah sambil mengajari anaknya di rumah akan merasa kesulitan selama pandemi ini,” kata Direktur Operasional Bupa Global, Sheldon Kenton.
Karena batas antara bekerja dan ruang pribadi kini semakin kabur, sekitar seperlima dari pejabat tinggi perusahaan yang disurvei mengatakan bahwa mereka akan bekerja jauh dari kantor, terutama bekerja dari rumah berlibur mereka. Mereka juga sudah enggan melakukan perjalanan keluar kota demi menghadiri pertemuan, apalagi pertemuan tatap muka.
Merasa terisolasi
Survei serupa yang dilakukan oleh University of Chicago untuk Yayasan Data, awal Mei lalu, menunjukkan bahwa warga Amerika Serikat kini merasa terisolasi dan gelisah akibat pandemi Covid-19. Selain khawatir diri dan anggota keluarganya akan tertular Covid-19, ada pula kekhawatiran akan nasib pekerjaan mereka. Survei itu menunjukkan, mayoritas warga AS merasa takut, stres, depresi, gelisah, kesepian, dan tidak mempunyai harapan.
Mereka merasa ada yang tidak beres dengan kondisi mental mereka karena selalu berkeringat, susah bernapas, dan selalu takut ketika memikirkan Covid-19. Untuk mengatasi ketakutan dan segala masalah itu, mereka kemudian menjadi lebih sering mengirimkan pesan atau menelepon saudara dan teman.
Untuk mengatasi ketakutan dan segala masalah itu, mereka kemudian menjadi lebih sering mengirimkan pesan atau menelepon saudara dan teman.
Jo Ellen Meyers Sharp, warga Indianapolis, AS, yang bekerja sebagai perancang kebun merasa ketidakpastian ekonomi membuatnya selalu dalam kondisi khawatir. Namun, yang lebih membuatnya menderita adalah isolasi sosial. Ia mengontak dokternya ketika selama satu pekan ia hanya bisa tiduran di tempat tidur dan sofa.
”Saya orang yang suka bersosialisasi, dan sekarang saya tidak bisa begitu. Setiap orang pasti butuh dipeluk sesekali,” ujar Sharp.
Survei itu menemukan bahwa perempuan dan anak muda cenderung lebih mudah merasa stres selama pandemi. Guru Besar Epidemiologi Psikiatris di Harvard School of Public Health Karestan Koenen mengatakan bahwa menjaga jarak fisik, kondisi ketidakpastian, dan masalah ekonomi memicu berbagai masalah kesehatan mental. ”Orang tidak bisa lagi melakukan banyak hal seperti biasa. Timbul perasaan semakin sendirian,” ujarnya.
Koenen melanjutkan, tingkat stres pada orangtua juga tinggi karena semua hal yang sudah diatur dan dipersiapkan dalam menjalani kehidupan sehari-hari seakan dirampas dari mereka. Ia menyarankan agar sebisa mungkin atau sesulit apa pun masalah hidup, orang tetap bisa menjalankan rencana kehidupannya seperti sebelum pandemi Covid-19.
Jika tidak mampu mengatasi berbagai persoalan ini, orang dikhawatirkan akan menjadi semakin mudah marah. Ini akan bisa semakin parah karena orang lalu kesulitan untuk tidur atau istirahat cukup. Survei itu menunjukkan, karena ada dampak emosi akibat menjaga jarak fisik dan sosial, banyak warga AS yang kemudian menjadi lebih sering menghubungi teman dan saudara ketimbang sebelum pandemi Covid-19.
Barbara Hanc (69) di Dudley, Massachusetts, yang tinggal sendiri mengaku beruntung karena memiliki tetangga dan teman-teman yang baik yang memberinya dukungan emosional meski melalui virtual selama masa karantina. ”Kita tidak merasa sendiri hanya dengan mengobrol dengan orang lain meski tidak bisa ketemu. Masih banyak orang yang perhatian dan sayang kita. Kondisi seperti ini hanya sementara. Saya masih punya harapan pada masa depan,” ujarnya. (REUTERS/AP)