Bom Waktu di Nagorno-Karabakh
Wilayah Nagorno-Karabakh bak api dalam sekam. Ketidakpastian penyelesaian sengketa wilayah itu, sejak tiga dekade terakhir, berbuah pertempuran baru.
Hanya dalam waktu kurang dari sepekan, pertempuran anyar antara pasukan Azerbaijan dan kelompok separatis dukungan Armenia di Nagorno-Karabakh menelan korban sedikitnya 100 orang, termasuk di antaranya warga sipil. Belum lagi kerugian material dan ongkos perang dengan dikerahkannya peralatan tempur, mulai dari tank hingga pesawat nirawak, yang ditaksir senilai puluhan juta dollar AS.
Desakan kepada kedua pihak yang bertempur agar meletakkan senjata dan kembali ke meja perundingan bermunculan. Para pemimpin negara-negara Eropa, termasuk Kanselir Jerman Angela Merkel, mendesak penghentian pertempuran. Jerman bersama Perancis dan Belgia meminta Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk bersikap.
Baca juga : Kekerasan Bersenjata Ancam Stabilitas di Kaukasus Selatan
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres menyatakan prihatin terhadap pecahnya kembali pertempuran di Nagorno-Karabakh. Stephane Dujarric, Juru Bicara Sekjen PBB, menyatakan bahwa Sekjen PBB mengecam keras penggunaan kekuatan militer dalam konflik ini. Ia juga menyesalkan tindakan yang berakibat jatuhnya korban jiwa warga sipil.
Guterres, menurut Dujarric, mendesak pihak bertikai untuk bekerja sama untuk memulai kembali dialog damai tanpa syarat apapun.
Kompleksitas konflik
Konflik di Nagorno-Karabakh merupakan konflik yang kompleks karena terkait dengan sejarah masa lampau ketika Azerbaijan dan Armenia masih berada dalam kekuasaan Uni Soviet. Svante E Cornell, dalam jurnal Studi Asia Selatan dan Timur Tengah Nomor 4 Tahun 1997 menyebutkan, pada Desember 1920, wilayah Nagorno-Karabakh pernah diserahkan pengelolaanya kepada Armenia.
Namun, pendulum berubah beberapa bulan kemudian. Joseph Stalin, penguasa Uni Soviet saat itu, menyerahkan pengelolaan kawasan yang secara literal berarti ”taman hitam bergunung-gunung”—sesuai dengan desksripsi wilayah geografisnya—kepada Azerbaijani Soviet Socialist Republic (ASSR).
Akan tetapi, Robert Fisk, jurnalis media Inggris, The Independent, dalam artikelnya 9 April 2016 menilai, terlalu jauh untuk mengaitkan masalah pembagian kue geografis itu dengan konflik kekinian. Fisk terjun langsung meliput perang di wilayah tersebut tahun 1990-an.
Ia mengatakan bahwa saat perang itu dimulai, salah satu alasan Pemerintah Armenia ingin menarik Nagorno-Karabakh ke dalam wilayahnya adalah karena di dalamnya terdapat beberapa gereja tua peninggalan bersejarah bangsa Armenia. Namun, menurut Fisk, di wilayah yang sama juga banyak akar sejarah Turki.
Menurut Fisk, reruntuhan bangunan kuno yang menjadi peninggalan sebuah bangsa adalah alasan yang cerdik untuk memulai perang.
Baca juga : Abaikan Gencatan Senjata, Kontak Senjata Berlanjut di Nagorno-Karabakh
Upaya melepaskan diri oleh sejumlah entitas Armenia di wilayah yang disengketakan menjadi pilihan melalui referendum. Pada tahun 1988, menjelang bubarnya Uni Soviet, sejumlah entitas Armenia mengadakan referendum untuk lepas dari Azerbaijan dan bergabung dengan Armenia.
Tahun 1991, wilayah itu mendeklarasikan kemerdekaannya dengan nama Republik Artsakh. Namun, tak ada satu pun negara anggota PBB yang mengakui keberadaannya. Bahkan, Pemerintah Armenia yang semula diharapkan mendukung penuh juga tidak mengakui keberadaan Artsakh.
Status quo terhadap keberadaan wilayah ini membuat entitas Armenia di wilayah itu bergerak sendiri. Melalui jaringan diaspora di banyak negara, termasuk Amerika Serikat, mereka menggalang dukungan untuk membantu pengembangan wilayah serta pengembangan hunian.
Berdasarkan data Crisis Group, lembaga pemantau konflik yang berbasis di Amerika Serikat, semula entitas pengelola wilayah berencana untuk membangun empat kawasan permukiman di wilayah ini. Namun, pada tahun 1995, rencana itu berkembang, dari empat kawasan permukiman menjadi 12 kawasan permukiman.
Selama hampir 10 tahun, kawasan itu terus berkembang dan dihuni sekitar 13.500 keluarga. Pada akhir Desember 2019, saat laporan itu keluar, jumlah warga Armenia di kawasan ini telah berjumlah 17.000 kepala keluarga.
Tahun 2005, Organisasi Keamanan dan Kerja Sama Eropa (OSCE) pernah mengirim tim pencari fakta ke Nagorno-Karabakh setelah Pemerintah Azerbaijan menyatakan keberatan atas pengembangan permukiman warga Armenia. Baku keberatan karena permukiman itu dibangun di atas reruntuhan bangunan rumah dan gedung milik warga Azerbaijan yang meninggalkan lokasi saat perang.
Hasil tim pencari fakta pun menguatkan keberatan Azerbaijan dan mendesak pengelola wilayah untuk menghentikan pembangunan kawasan permukiman. Desakan yang sama pun berulang di tahun 2010. Tim pencari fakta OSCE mendesak semua pihak bertikai untuk menghindari aktivitas yang mengubah karakter wilayah, termasuk di dalamnya adalah pengembangan permukiman.
Olesya Vartanyan, analis senior pada lembaga International Crisis Group, yang dikutip The New York Times mengatakan, negara-negara dinilainya terlambat mengantisipasi eskalasi konflik kedua negara. Gejala meningkatnya konflik sebenarnya sudah bisa dilihat sejak awal tahun 2020 meski hanya letupan-letupan kecil dan sedikit membesar pada bulan Juli lalu.
”Semua sinyal sudah ada. Semuanya memberi tahu bahwa eskalasi akan datang, Tetapi, ada keheningan diplomatik,” kata Vartanyan.
Jalan tengah
Sengkarut penyelesaian sengketa wilayah Nagorno-Karabakh mau tidak mau harus diselesaikan dengan cara damai. Dmitri S Peskov, Juru Bicara Kremlin, Senin (28/9/2020), menyatakan, Rusia tak membicarakan opsi militer untuk menyelesaikan konflik saat ini. Pemerintahan Vladimir Putin memilih mencari jalan tengah untuk menyelesaikan konflik itu.
Para pihak yang bertikai dan negara-negara yang mendukung proses perdamaian, menurut catatan Crisis Group, bisa melirik kondisi pada awal tahun 2019 saat kedua pemerintahan, Azerbaijan maupun Armenia, sama-sama siap mencari solusi damai masalah Nagorno-Karabakh. Kerja sama proyek kemanusiaan di antara dua negara di wilayah konflik bisa menjadi pintu masuk perundingan damai di antara para pihak bertikai.
Setidaknya ada tiga hal yang harus disepakati penyelesaiannya oleh para pihak bertikai, yaitu nasib tujuh wilayah Azerbaijan yang telah dikuasai oleh Armenia dan entitas pengelola Nagorno-Karabakh yang telah dihuni oleh warga Armenia; mandat penjaga perdamaian atau entitas sipil untuk mengawasi pelaksanaan kesepakatan politik para pihak bertikai; dan terakhir, yang paling utama, adalah status final wilayah yang disengketakan, yaitu Nagorno-Karabakh.
Baca juga : Merkel Desak Penghentian Pertempuran, DK PBB Gelar Pertemuan Darurat
Yang paling memusingkan banyak pihak adalah soal status final Nagorno-Karabakh. Muncul usulan setiap pihak yang bertikai, mulai dari republik otonomi, otonomi luas, ataupun pemerintahan interim sebagai jalan tengah. Namun, tidak pernah ada yang disepakati. Kecurigaan bahwa satu pihak menginginkan sesuatu yang lebih di balik proposal itu, menjadi ganjalan perundingan damai, termasuk pemerintahan bersama antara wakil warga Azerbaijan dan Armenia untuk mengelola Nagorno-Karabakh.
Menurut Crisis Group, para pihak yang bertikai bisa mengadopsi beberapa contoh penyelesaian konflik yang pernah terjadi di wilayah Eropa, seperti Kepulauan Alan di Finlandia, Irlandia Utara ataupun South Tyrol di Italia Selatan.
Kepulauan Alan di Finlandia, misalnya, didominasi oleh warga yang bisa berbahasa Swedia. Namun, kepulauan itu merupakan wilayah otonomi khusus di Finlandia, memiliki struktur kepolisian sendiri, dan beberapa keistimewaan. Termasuk di dalamnya adalah ratifikasi aturan nasional berdasarkan hak otonomi, khususnya sebelum peraturan perundangan Finlandia berlaku di wilayah tersebut.
Irlandia Utara memiliki pengalaman serupa dengan Nagorno-Karabakh melalui peperangan untuk melepaskan diri dan menuntut kemerdekaan. Kini, meski tidak sepenuhnya merdeka, mereka memiliki kewenangan besar atas wilayahnya. Mereka memiliki parlemen sendiri dan memiliki perwakilan di parlemen Inggris dan pemerintahan di London. Mereka juga memiliki sistem peradilan sendiri, meski jika ingin melakukan kasasi, warga Irlandia Utara memasukkan memori kasasinya ke Mahkamah Agung Inggris.
Model-model tersebut boleh jadi tidak sama persis seperti yang diinginkan para pihak bertikai di Nagorno-Karabakh. Namun, berbagai opsi tawaran dari para pihak bertikai harus digelar dan dibicarakan di atas meja perundingan untuk mendapatkan model penyelesaian konflik yang sesuai bagi para pihak bertikai dan bermanfaat bagi warga.