Dua Jenderal Sudan di Balik Normalisasi Hubungan dengan Israel
Di balik perubahan angin politik luar negeri Sudan, yang berujung pada terjalinnya normalisasi hubungan dengan Israel, ada dua jenderal yang berperan besar dalam menentukan arah angin politik di negara itu.
Oleh
MUSTHAFA ABD RAHMAN, DARI KAIRO, MESIR
·3 menit baca
Sesungguhnya sangat tidak mudah proses tercapainya kesepakatan normalisasi hubungan antara Sudan dan Israel atau masuknya Sudan ke dalam forum Kesepakatan Ibrahim (Abraham Accord) yang diumumkan Presiden AS Donald Trump, Jumat (23/10/2020) lalu.
Pemerintahan transisi Sudan, yang dibentuk pada Juli 2019 dengan masa bakti selama 39 bulan saja, hanya memiliki mandat melakukan proses dan pematangan demokrasi di negara itu. Hal ini sesuai dengan amanat rakyat Sudan yang menggelar unjuk rasa dan berhasil menumbangkan rezim diktator Presiden Omar Hassan al-Bashir pada 11 April 2019.
Akan tetapi, arah angin politik luar negeri Sudan berubah sangat drastis setelah Ketua Dewan Transisi Sudan Jenderal Abdel Fattah al-Burhan pada September lalu memimpin delegasi Sudan berkunjung ke Abu Dhabi, Uni Emirat Arab (UEA). Kunjungan itu dilakukan untuk berunding dengan delegasi AS dan pejabat tinggi UEA tentang kesediaan Sudan segera menjalin hubungan diplomatik dengan Israel.
Burhan saat itu memberi syarat kesediaan Sudan segera membuka hubungan diplomatik dengan Israel dengan imbalan mendapat bantuan dana 3,2 miliar dollar AS untuk membantu mengatasi ekonomi Sudan yang sangat terpuruk. Selain itu, ia juga menetapkan syarat dicabutnya nama Sudan dari daftar AS sebagai negara pendukung teroris .
Hanya sekitar sebulan setelah kunjungan Burhan ke UEA itu, pada hari Jumat lalu Presiden Trump mengumumkan dibukanya hubungan resmi Sudan-Israel. Di balik perubahan arah angin politik luar negeri Sudan itu terdapat dua jenderal yang kariernya sedang cemerlang dan kini memegang pucuk pimpinan Dewan Transisi Sudan.
Keduanya adalah Jenderal Abdel Fattah al-Burhan (60), yang menjabat ketua Dewan Transisi Sudan, dan Jenderal Mohamed Hamdan Dagalo, yang populer dengan panggilan Hemedti (46) dan kini menjabat Wakil Ketua Dewan Transisi.
Duet Burhan dan Hemedti memiliki segala kekuatan di Sudan saat ini. Burhan masih memimpin militer Sudan yang dalam tradisi sosial dan politik di dunia Arab adalah pemegang kunci stabilitas sosial, politik, dan keamanan negara.
Adapun Hemedti adalah komandan pasukan elite pendukung cepat (RSF/The Rapid Support Force) yang merupakan satuan paramiliter. Nama Hemedti, yang membawahi sekitar 40.000 personel RSF, sangat populer dalam perang Darfur dan dalam melindungi para pengunjuk rasa dari kalangan rakyat Sudan dalam upaya menumbangkan rezim Presiden Bashir. Hemedti termasuk salah satu jenderal yang memaksa Bashir lengser.
Dalam struktur militer Sudan kini ada dua badan atau kekuatan, yaitu militer reguler dan paramiliter (RSF).
Duet Burhan-Hemedti adalah duet militer reguler-RSF yang merupakan dua kekuatan militer besar di Sudan. Duet dua kekuatan militer besar itu menyuntikkan keberanian untuk melakukan terobosan besar pada politik dalam dan luar negeri Sudan saat ini.
Terobosan besar itu menunjukkan bahwa Burhan dan Hemedti sebagai pemimpin Sudan dalam masa transisi ini memiliki visi besar untuk membebaskan Sudan dari keterpurukan akibat kebijakan rezim diktator Presiden Bashir.
Burhan dan Hemedti segera menyadari perimbangan kekuatan regional dan internasional sehingga keduanya mengambil kesimpulan bahwa Khartoum harus lewat jalur Tel Aviv menuju bebasnya Sudan dari keterpurukan sosial, ekonomi, dan politik saat ini.
Kesimpulan tersebut ternyata benar. AS memberi syarat Sudan harus membuka hubungan resmi dengan Israel dengan imbalan AS mencabut nama Sudan dari daftar negara pendukung teroris.
Tercabut nama Sudan dari daftar negara pendukung teroris adalah jalan menuju terbukanya bantuan ekonomi dari AS dan lembaga-lembaga kekuangan internasional kepada Sudan untuk bisa bebas dari keterpurukan ekonomi negara itu.
Kesimpulan tersebut pun menjadi kenyataan. Presiden Trump pada hari Jumat lalu mengumumkan dicabutnya nama Sudan dari negara pendukung teroris dan sekaligus mengumumkan dibukanya hubungan resmi Sudan-Israel.