Militer: Myanmar dalam Status Kondisi Darurat Selama Setahun
Dengan alasan menjaga stabilitas negara, militer Myanmar mengambil alih kekuasaan dan menyatakan negara dalam situasi darurat selama satu tahun.
Oleh
Luki Aulia
·4 menit baca
NAYPYIDAW, SENIN — Dengan alasan menjaga stabilitas negara, militer Myanmar mengambil alih kekuasaan dan menyatakan negara dalam situasi darurat selama satu tahun. Kekuasaan diambil alih militer setelah para pemimpin sipil, seperti Aung San Suu Kyi dan sejumlah tokoh pimpinan Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), termasuk Presiden Myanmar Win Myint, ditahan pada Senin pagi.
Kini, kekuasaan diserahkan kepada Wakil Presiden Myanmar, Myint Swe. Mantan jenderal itu kini menjabat sebagai presiden sementara.
Pernyataan tertulis militer itu diumumkan di stasiun televisi milik militer, Myawaddy TV, Senin (1/2/2021). Pengambilalihan kekuasaan ini harus dilakukan karena komite pemilu Myanmar dituding gagal menangani kecurangan yang terjadi saat pemilu 8 November lalu.
Militer juga menuding organisasi-organisasi partai ikut andil mengganggu stabilitas negara. ”Situasi ini harus ditangani sesuai dengan hukum. Untuk itu, dinyatakan negara dalam status kondisi darurat,” kata pernyataan itu.
Karena sedang dalam kondisi darurat, seluruh tanggung jawab legislasi, administrasi, dan penegakan hukum diserahkan kepada Panglima Tertinggi Militer Min Aung Hlaing.
Dari Yangon dikabarkan, situasi kota tampak lebih sepi. Perkantoran dan bank tutup, tetapi sektor informal tetap beroperasi seperti biasa. Saat ini, sambungan telepon dan televisi putus. Bandara pun dikabarkan untuk sementara ditutup. Namun, jaringan Wi-Fi untuk sementara masih aktif.
”Ada kabar, jaringan internet akan diputus,” kata seorang sumber yang dihubungi Kompas dari Jakarta.
Kecaman PBB
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (Sekjen PBB) Antonio Guterres mengecam kudeta di Myanmar dan penahanam para pemimpin Myanmar, termasuk Penasihat Negara Aung San Suu Kyi, Presiden Win Myint, dan para pemimpin politik lainnya, tepat di hari ketika seharusnya parlemen baru mulai bersidang.
”Peristiwa ini jelas mengganggu upaya reformasi demokrasi di Myanmar,” kata juru bicara PBB, Stephane Dujarric.
Padahal, hasil pemilu Myanmar yang dimenangi NLD jelas menunjukkan aspirasi rakyat Myanmar yang menginginkan reformasi demokrasi terus berlanjut. Pernyataan tertulis PBB menyebutkan, militer harus menghormati keinginan rakyat dan menghargai norma-norma demokrasi. Apa pun persoalan yang ada harus diselesaikan melalui jalur dialog yang damai.
Dewan Keamanan PBB sebelumnya mengagendakan rapat membahas isu Myanmar ini dengan utusan khusus PBB untuk Myanmar, Christine Schraner Burgener, Kamis mendatang. Namun, dengan perkembangan terbaru ini, agenda rapat akan dipercepat.
Kecurangan
Dinamika politik Myanmar saat ini tidak bisa dilepaskan dari hasrat militer negara itu untuk berkuasa. Militer yakin ada kecurangan dalam pemilu. Militer menemukan lebih dari 10 juta nama pemilih yang dobel dan tiba-tiba muncul.
Dengan dalih itu, militer menuntut komite pemilu merilis daftar nama pemilih untuk bisa diperiksa kembali. Karena kasus pemilu ini, belakangan hubungan antara pemerintah sipil dan militer kian tegang. Pemimpin militer Myanmar, Jenderal Min Aung Hlaing, pernah memperingatkan konstitusi Myanmar akan bisa dicabut jika tidak dihargai.
Myanmar pernah dikuasai oleh rezim junta militer setelah merdeka dari Inggris tahun 1948. Pemimpin militer, Jenderal Ne Win, mengudeta pemerintahan sipil pada 1962 karena dianggap tidak kompeten memimpin. Ne Win lalu berkuasa selama 26 tahun, tetapi kemudian mengundurkan diri pada 1988 setelah unjuk rasa besar-besaran gara-gara kondisi perekonomian yang stagnan dan kekuasaan yang otoriter.
Generasi baru pimpinan militer kemudian mengambil alih kekuasaan beberapa pekan kemudian dengan alasan penegakan hukum dan ketertiban harus dipulihkan. Pemimpin junta militer Jenderal Than Shwe kemudian mundur pada 2011 dan menyerahkan kekuasaan kepada para pensiunan jenderal setelah mengadopai konstitusi yang kini berlaku di Myanmar.
Konstitusi tahun 2008 meneguhkan peran politik militer dengan memberikan militer kendali yang kuat atas pemerintahan. Militer mendapat jatah memegang kementerian dalam negeri, perbatasan, dan pertahanan. Perubahan apa pun masih harus membutuhkan dukungan dari anggota parlemen dari militer yang menguasai seperempat jumlah kursi di parlemen.
Menurut pengamat politik di Yangon, Khin Zaw Win, jaminan kekuasaan pada militer yang diatur dalam konstitusi itu yang membuat militer tidak populer. Suu Kyi dan pemerintahannya berusaha mengubah konstitusi itu sejak menang pemilu 2015, tetapi tetap tidak berhasil. Yang terjadi malah Suu Kyi diberi peran sebagai penasihat negara supaya ia tidak bisa menjadi presiden. (REUTERS/AFP/AP)